Kede Buku Obelia, Tempat Nongkrong dan Diskusi Pegiat Sastra di Medan

Aktif helat diskusi buku dan isu seputar sastra

Medan, IDN Times - Berbicara soal penerbit indie, terjadi perbedaan yang sangat kontras antara Medan dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Bukan hanya dalam segi kualitas dan terobosan yang visioner, pada segi kuantitas pun di Medan masih kalah jauh. 

Perbedaan yang kontras antar dua kota ini memantik Alda Muhsi mendirikan penerbit indie yang progresif. Tak hanya menyediakan layanan penerbitan, namun dirinya ingin menciptakan iklim bersastra dan melahirkan aktivitas intelektual terkait animo membaca.

Semua gagasan itu Alda rangkum dan wujudkan dalam sebuah penerbitan yang ia beri nama Kede Buku Obelia. Terletak di Jalan Amaliun, Alda mendirikan sebuah penerbit indie yang diharapkannya bisa menjangkau banyak kalangan, termasuk para pegiat sastra yang berada di Kota Medan.

 

1. Perbedaan yang kontras antara Medan dan Jogja jadi alasan Alda dirikan Obelia

Kede Buku Obelia, Tempat Nongkrong dan Diskusi Pegiat Sastra di MedanPenerbit indie Kede Buku Obelia yang berada di Jalan Amaliun (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Tahun 2016 memberi kesan berharga sendiri bagi sosok Alda Muhsi. Sebab di tahun tersebut dirinya bersama salah seorang sastrawan perempuan Sumut, Sartika Sari, menggagas suatu penerbitan indie. Gagasan mereka diakui Alda berangkat dari keresahan melihat sedikitnya penerbit indie yang ada di Kota Medan.

"Berbekal pengalaman di Jogja tentang produksi, biaya, dan ilmu seputar penerbitan lainnya, kami berpikir kenapa kami gak mulai membuat penerbitan indie di Medan? Mengingat di kota ini sedikit sekali ada penerbit indie apalagi yang khusus sastra," kata Alda.

Bermodal keinginan yang kuat, dirinya bersama Sartika Sari mengurus segala persiapan untuk melegalkan penerbitan. Mulai dari izin mendirikan penerbitan, mengurus ISBN dan mendaftar di perpusnas, sampai pada akhirnya akta mereka jadi. 

"Tujuan Kede Buku Obelia saya rasa jelas, ya. Di mana kami ingin memudahkan teman-teman untuk membaca buku, menerbitkan, atau membeli buku di Medan saja. Tanpa repot-repot lagi mencari buku yang diinginkan yang ada di Joga. Logikanya pasti kita lebih nyaman datang ke penerbit yang dekat, kan? Kenapa kita gak buat di Medan saja?" tuturnya.

2. Sudah terbitkan lebih dari 200 buku, dari karya Sastrawan Sumut sampai Penyair muda

Kede Buku Obelia, Tempat Nongkrong dan Diskusi Pegiat Sastra di MedanObelia telah terbitkan 200 lebih buku (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Banyak buku yang sudah dilahirkan di Kede buku ini, bahkan tak hanya penulis muda, sastrawan Sumut juga menjejakan namanya di list buku terbitan Obelia. Alda mengatakan jika Kede Buku Obelia ingin memiliki identitas sendiri untuk dikenal masyarakat kota Medan sebagai penerbit indie yang menyediakan banyak buku sastra.

Buku-buku seperti "Malim Pesong", "Celakalah Orang-orang yang Jatuh Cinta", "Kopi dan Kepo", "Mewariskan Lalat", dan "Bandiet Bandiet van Siantar" beberapa kali nangkring sebagai buku paling populer di Obelia berdasarkan pemasarannya.

"Penerbit indie punya lini penjualannya. Apalagi buku dari penerbit indie sangat jarang atau bahkan tidak bisa kita temukan di Gramedia. Kalau kita orang Medan mau baca buku-buku di penerbit indie yang bagus, biasanya mengeluarkan ongkir. Namun kami menggagas Kede Buku Obelia untuk mewadahi kebutuhan-kebutuhan bahan bacaan yang diinginkan itu," kata Alda.

Komitmen Kede Buku Obelia ingin mengambil peran mewadahi kebutuhan bahan bacaan sekaligus menjangkau buku-buku sastra berkualitas yang terbit di Yogyakarta. 

"Sampai sekarang, kami sudah menerbitkan sekitar 200 buku lebih, dan insyaAllah akan terus bertambah," bebernya.

 

3. Rutin helat diskusi dan bedah buku yang melibatkan sastrawan

Kede Buku Obelia, Tempat Nongkrong dan Diskusi Pegiat Sastra di Medanprogram Cakap Asyik yang sering dihelat di Kede Buku Obelia, dipimpin langsung oleh sastrawan Sumut Hasan Al Banna (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Kede Buku Obelia uniknya tidak hanya sebatas penerbitan atau kedai yang menjual buku saja. Namun di sini setiap bulannya aktif melakukan diskusi bedah buku. Salah satu yang tersohor adalah program "Ngobrol Buku" dan "Cakap Asyik" yang sering dihelat di Obelia.

Sastrawan Sumut dan pegiat sastra kota Medan seperti Hasan Al Banna, Bunda Jibril, Juhendri, Eka Dalanta, Titan Sadewo kerap nongkrong dan menghelat diskusi di tempat ini. Gairah-gairah kesastraan dan minat membaca ingin mereka timbulkan lewat kelompok diskusi itu.

"Salah satu yang mendorong saya menggagas kedai buku adalah Ngobrol Buku. Ini, kan, istilahnya untuk memantik para pembaca agar tertarik dengan buku apa yang tengah dibahas. Yang mana untuk bisa mendapatkan buku itu pasti harus membelinya," ujar Alda.

Selain sebagai penerbit, Obelia merupakan book launching organizer. Di mana mereka sebagai EO menawarkan jasa penyelenggara bedah buku, launching, dan aktivitas lain yang bersangkutan.

"Di sini kita membicarakan apapun yang memantik perhatian masyarakat. Kita sering mengundang kritikus yang benar-benar menguasai di bidangnya. Selain itu kita mengundang akademisi juga," tuturnya.

Bagi Alda membaca merupakan suatu hal yang asyik, enak, dan seru. Apalagi ketika selesai membaca langsung melakukan diskusi kecil-kecilan dengan orang yang juga memiliki hasrat jiwa yang sama.

"Dialektika dan diskusi seperti ini lah yang ingin kami timbulkan. Bagaimana kita menimbulkan tafsir, sudut pandang yang unik, dan pemahaman lain. Kami ingin mengumpulkan orang-orang yang memiliki hobi dan gairah membaca yang sama. Dapat menciptakan ruang diskusi yang komprehensif merupakan suatu kepuasan tersendiri bagi kami," pungkasnya.

Baca Juga: Pasar Murah Digeber untuk Tekan Harga Beras di Sumut

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya