Cerita Mbah Marsinah, Setiap Tahun Jalankan Tradisi Lebaran Ketupat

Dimaknai sebagai bentuk permintaan maaf dan penolak bala

Deli Serdang, IDN Times - Persebaran suku Jawa di wilayah Sumatra Utara (Sumut) sangat masif. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2020, suku Jawa menjadi suku kedua yang memiliki populasi terbanyak di Sumut, bahkan mencapai 32,63 persen.

Lewat peristiwa "kuli kontrak", persebaran suku Jawa di Sumut khususnya di wilayah Deli Serdang semakin kencang. Mereka ramai bermigrasi menjadi tenaga kerja di perusahaan Tembakau Deli yang masa kejayaannya kerap mengekspor komoditas tembakau sampai ke Bremen, Jerman.

Ada banyak corak kebudayaan dan adat istiadat Jawa yang juga dibawa ke Sumatra Utara. Baik itu berbentuk kesenian daerah atau bahkan tradisi yang unik, salah satunya adalah merayakan Lebaran Ketupat.

1. Tradisi Lebaran Ketupat diwariskan Mbah Marsinah dari orang tua dan kakek neneknya

Cerita Mbah Marsinah, Setiap Tahun Jalankan Tradisi Lebaran KetupatKetupat yang dibuat Mbah Marsinah dan anaknya untuk menyambut Lebaran Ketupat (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Tradisi Lebaran Ketupat dewasa ini jarang dilakukan oleh masyarakat suku Jawa Deli. Bahkan tradisi unik yang dilakukan setelah seminggu bulan Syawal ini kerap dilupakan, karena iklim heterogen di Sumatra Utara berpotensi menyebabkan terjadinya silang budaya dan tergerusnya tradisi, termasuk momen Lebaran Ketupat.

Saat ditemui di kediamannya, Mbah Marsinah telah membagikan puluhan ketupat ke anak dan cucunya. Tradisi Lebaran Ketupat selalu dirinya lakukan setiap tahun tanpa pernah ketinggalan.

"Dari orang tua hingga kakek nenek saya dulu selalu merayakan lebaran ketupat. Tradisi ini sampai sekarang masih saya wariskan ke anak, cucu, bahkan cicit saya," kata Mbah Marsinah.

Saat membuat ketupat, dirinya dibantu anak-anaknya. Mulai dari menganyam janur kuning, memasukkan pulut atau beras, hingga proses merebus sampai matang. Spirit ini ingin ia tularkan agar kelak anak-anaknya juga melakukan tradisi yang sama.

"Biasanya kami buat skala besar. Tapi tahun ini rezekinya cuma bisa buat secukupnya untuk anak-anak kecil," ujarnya.

Baca Juga: Puncak Arus Balik Lebaran, Kereta Api Sumut Tembus 11 Ribu Penumpang

2. Lebaran Ketupat memiliki makna mengakui kesalahan dan bentuk penyucian diri

Cerita Mbah Marsinah, Setiap Tahun Jalankan Tradisi Lebaran KetupatMbah Marsinah rutin rayakan Lebaran Ketupat dan membagikannya kepada anak cucu (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Di Pulau Jawa, Lebaran Ketupat juga dikenal dengan sebutan Kenduri Ketupat. Dilansir dari beberapa sumber, konon tradisi ini diperkenalkan langsung oleh Sunan Kalijaga sebagai upaya slametan. Sebagian masyarakat Jawa juga memercayai bahwa hal tersebut dilakukan Sunan Kalijaga sebagai sarana memperkenalkan agama Islam.

Ketupat yang berasal dari istilah "kupat" atau "ngaku lepat" memiliki arti "mengakui kesalahan". Hal ini tak lupa didasari permintaan maaf kepada Allah SWT. dan sanak saudara yang dekat dengan kita.

"Lewat ketupat ini lah wujud permintaan maaf kita. Bahwa sesama saudara harus saling memaafkan dan melupakan berbagai kesalahan yang telah dilakukan, baik yang disengaja atau gak disengaja," kata Mbah Marsinah.

Perempuan yang telah memiliki cicit itu memaknai Lebaran Ketupat sangat erat kaitannya dengan nilai spiritual habluminallah (hubungan manusia dengan Tuhannya) dan habluminannas (hubungan manusia dengan manusia).

"Saya juga percaya kalau Lebaran Ketupat dapat membawa kita kepada kesucian diri setelah bermaaf-maafan. Selain itu dengan membagikan ketupat juga dimaknai sebagai bentuk bagi-bagi rezeki," ujarnya.

3. Ketupat dikalungkan ke leher anak-anak sebagai penolak bala

Cerita Mbah Marsinah, Setiap Tahun Jalankan Tradisi Lebaran KetupatKetupat dipercaya sebagai penolak bala (IDN Times/Eko Agus Herianto)

Mbah Marsinah pagi-pagi sekali sudah mengetuk rumah anak-anak hingga cucunya. Saat itu pula dirinya merayakan Lebaran Ketupat dengan memberi ketupat yang telah dibuat.

"Ketupat saya kasih ke cucu dan cicit. Terus saya kalungkan ke leher mereka sembari menunggu sayur yang dimasak orang tua mereka matang. Barulah ketupat bisa dimakan," kata perempuan yang usianya sudah mendekati 80 tahun itu.

Marsinah memercayai jika nilai magis ketupat bisa dimaknai sebagai penolak bala. Hal ini dipercaya dapat melindungi seseorang dari berbagai penyakit dan ancaman yang datang. Bahkan, beberapa ketupat juga sengaja digantungkan di pintu rumah sampai mengering. Agar seisi rumah dilindungi dari hal-hal yang tak diinginkan.

"Semoga kepercayaan ini dapat diteruskan, khususnya oleh anak-anak dan cucu saya sendiri. Agar tradisi ini tidak hilang begitu saja," pungkasnya.

Baca Juga: 27.025 Napi di Sumut Dapat Remisi Khusus Hari Raya Idul Fitri

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya