Band Roll With The Punch saat manggung. (dok. Roll With The Punch)
Sukatani, Filsafatian, Roll With The Punch, hanya segelintir dari banyak band underground yang bersuara. Mereka lahir dari gerakan kolektif untuk menghadirkan panggung-panggung musik. Tanpa sponsor dan independen. Sehingga mereka bebas menyuarakan pesan yang mereka ingin sampaikan tanpa terikat.
Skena ini tumbuh besar di hampir seluruh daerah Indonesia baik kota besar maupun kecil. Band-band seperti Marjinal, Bunga Hitam (Jakarta) Homicide, Jeruji, Burgerkill (Bandung), Navicula (Bali) dan banyak lainnya yang eksis dari skena underground dengan lirik-lirik yang kritis.
Lalu apa sebenarnya musik underground? dan bagaimana sejarahnya di Indonesia?
Musik underground sering kali dikaitkan dengan kebebasan berekspresi dan kritik sosial. Genre ini mencakup berbagai subgenre seperti punk, metal, rock, dan hardcore yang umumnya memiliki nuansa musik keras dengan penggunaan drum cepat dan distorsi gitar yang dominan.
Tidak hanya sebatas gaya bermusik, underground juga merupakan sebuah gerakan budaya yang menolak komersialisasi dan tetap mempertahankan orisinalitas dalam berkarya.Selain itu, lirik dalam musik underground kerap mengangkat isu-isu sosial, politik, dan ekonomi yang jarang dibahas dalam musik arus utama. Hal ini menjadikan musik underground sebagai wadah bagi mereka yang ingin menyuarakan opini dan perlawanan terhadap ketidakadilan.
Dalam artikel jurnal dengan judul Underground Rock Music and Democratization in Indonesia yang ditulis Jeremy Wallach, peneliti antropolog dari Bowling Green State University pada 2005, skena musik underground memberikan pengaruh terhadap lahirnya demokrasi di Indonesia khususnya pada 90-a awal hingga pasca reformasi 1998.
Saat itu musik rock Indonesia di arus utama melahirkan band-band seperti Godbless, AKA, Duo Kribo, SAS Group. Saat itu era orde baru itu mereka belum mengeluarkan lirik-lirik kritis. Masih seputar kenakalan remaja, pesta dan fenomena sosial lainnya. Pada tahun 80-an awal, lahir band-band seperti Roxx, Power Metal, Rotor, Suckerhead yang mengusung musik thrash metal dan mulai bercerita tentang kritik sosial-politik.
Di luar arus utama muncul band-band di era awal 90-an seperti Antiseptic hingga Stupid yang semakin vulgar memasukkan lirik--lirik kritisnya. Dari situlah musik underground berkembang. Terutama di era reformasi.
Wallach dalam jurnalnya itu mengatakan, dirinya menemukan jaringan luas di seluruh negeri dari komunitas urban lokal yang didedikasikan untuk genre musik yang dikenal sebagai underground. "Adegan-adegan ini tidak hanya menyediakan tempat penjualan musik rock independen yang esoteris dari seluruh dunia, tetapi juga memproduksi kaset musik dan fanzine mereka sendiri, menyediakan tempat latihan dan studio rekaman, serta menyelenggarakan acara konser besar sepanjang hari yang menampilkan puluhan band lokal yang memainkan lagu-lagu dari grup Barat favorit mereka atau, semakin banyak, komposisi mereka sendiri yang dinyanyikan dalam bahasa Inggris atau Indonesia," tulis Wallach.
"Acara-acara ini—yang diadakan di kampus-kampus universitas, di klub malam, bahkan di lapangan sepak bola di bawah terik matahari—menarik ribuan penggemar dan entah bagaimana ditoleransi oleh rezim otoriter yang represif yang saat itu berkuasa di negara ini," lanjutnya.
Di era itu saat teknologi mulai bisa dijangkau, musik underground merebak ke berbagai kota-kota besar. Kiblatnya ada di Jakarta dan Bandung.
Di Jakarta band-band ini lahir di era Poster Cafe yang melahirkan band-band hardcore dan punk seperti The Idiots, Total Destroy, The End, Stepforward, Straight Answer, Dirty Edge, Cryptical Death dan lainnya. Mereka mulai berani menyuarakan kritik setelah era reformasi. Sebut saja lagu-lagu band The Idiots berjudul Song for Politican, No More Leader, Police Violence.
Kemudian juga ada komunitas Ujungberung Bandung yang melahirkan band-band hardcore seperti Jeruji, Burgerkill, Puppen, Jasad dan banyak lainnya.
Di Yogyakarta, tahun 1999, gigs-gigs seperti Molotov mengawali era underground di kota Gudeg. Band-band seperti Death Vomit, Mistis, Blackboots, Sabotage hingga Shaggy dog lahir dari skena ini
Sementara skena Bali dipelopori komunitas Metal seperti komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Tahun 1996, ada konser underground terbesar di Bali bertajuk Total Uyut di Gor Ngurah Rai menamplkan band-band Bali seperti SID, Eternal Madness, Lithium, Triple Punk hingga Death Chorus.
Sebagian besar band-band underground saat itu didominasi punk, genre yang dianut band seperti Sukatani, Marjinal, Bunga Hitam dan banyak lainnya. Dikutip dari penelitian Daniar Wikan Setyanto dari Universitas Dian Nuswantoro Semarang yang berjudul "Makna dan Ideologi Punk" pada tahun 2015, dijelaskan bahwa Punk pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1960-an sebagai bentuk pemberontakan di bidang musik.
Seiring waktu, punk berkembang menjadi lebih dari sekadar genre musik. Punk berubah menjadi subkultur yang menentang sistem sosial, politik, dan ekonomi yang dianggap menindas. Dengan slogan “Do It Yourself” (DIY), punk mendorong anggotanya untuk mandiri, baik dalam menciptakan musik, fashion, maupun gerakan sosial.
Fashion punk menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan. Gaya rambut mohawk, pakaian robek, sepatu boots, serta aksesori seperti rantai dan piercing bukan hanya sekadar tampilan, tetapi memiliki makna perlawanan terhadap struktur sosial yang ada.Inti ideologi punk adalah anti-kemapanan dan penolakan terhadap otoritas.
Band-band punk internasional seperti Sex Pistols dan Rancid menjadi inspirasi bagi musisi dan komunitas punk di Indonesia.Seiring berjalannya waktu, punk di Indonesia berkembang menjadi dua kelompok besar: mereka yang benar-benar menganut ideologi punk dan hidup di jalanan (street punk), serta mereka yang hanya mengadaptasi gaya punk tanpa memahami ideologinya (fashion punk).
Masih dalam jurnalnya, Wallach menggambarkan punk adalah kategori yang paling konservatif. Menurutnya Grup punk Indonesia umumnya bersikeras bernyanyi dalam bahasa Inggris dan meniru musik mereka dari suara grup punk klasik tahun 1970-an dan/atau grup pop-punk baru tahun 1990-an dan 2000-an.
"Di sisi lain, musik metal Indonesia terus berkembang sebagai respons terhadap perkembangan pesat dan fragmentasi gaya subgenre underground seperti death metal, black metal, dan grindcore di komunitas metal “ekstrem” internasional. Hardcore, yang awalnya berkembang dari punk AS pada tahun 1980-an, merupakan genre yang terpisah," tulisnya.
Jumppiro salah satu band lawas punk di Palembang, perjalanannya mengenalkan aliran musik ini cukup sulit bagi masyarakat umum. Kata sang vokalis Avir, genre punk lebih mengutamakan opini keras yang menyinggung sebagai bentuk protes.Sehingga, banyak orang yang kurang menyukai aliran punk.
"Punk ini menggambarkan lirik-lirik keras dalam musik dan lagu mengikuti eranya. Keras tapi mengena, menyentuh di hati," jelas Avir kepada IDN Times, Jumat (28/2/2025).
Mengikuti berbagai zaman, aliran punk yang ia suarakan konsisten menunjukan lirik yang sarat perlawanan, terutama terhadap pemerintah.
"Awal mengenal musik punk dari 1991-an. Lagi booming Nirvana, Green Day, dan Rancid. Nah, dari situ mulai tau musisi punk lainnya. Terus makin suka punk karena sudah mengenal musik rock dan trash metal, sejak festival rock di Solo," jelasnya.
Banyak menyukai musisi luar dengan aliran keras, Aviro mulai aktif dan komitmen bermusik punk tahun 1998 hingga membentuk band Jumppiro. Walau tak terlalu banyak soal kritik pemerintah, lirik band Jumppiro kental dengan sarat keras."Lirik lagu kami lebih becerita soal tongkrongan, soal hati, soal sosial, dan soal ketidakberdayaan," kata dia.
Avir mengaku miris melihat musisi saat ini yang mendapatkan tindak kurang baik dari aparat. Apalagi berkaca dari kasus musisi Sukatani dengan lirik lagu melibatkan aparat.
"Kalau di dunia underground, lagu Sukatani yang viral sudah lazim di underground movement. Ada istilah yang gak mati di dunia underground, soal perlawanan underground dengan polisi. Sebenarnya sejak lama, gerakan underground khususnya punk selalu dihadapkan dengan represivitas oleh mayoritas aparat," jelasnya.
Sementara Awan, vokalis Sindikat Sisa Semalam, sejatinya suatu karya seni termasuk lagu dibuat atau diciptakan dari sebuah keresahan. Penyampaian kritik terhadap lembaga pemerintahan atau pemangku kebijakan melalui karya lagu bukan baru kali ini, melainkan lumrah terjadi. "Saya yakin teman-teman Sukatani paham betul dengan apa yang mereka tulis dan ingin sampai melalui lagu tersebut," lanjutnya.
Oleh karenanya sebagai sesama pegiat musik, ia amat menyayangkan kejadian semacam ini, karena semestinya kritik bukan dimaknai sebagai masukan tapi malah direspons dengan tindakan-tindakan represi aparat.
Di Lampung, Awan mengatakan, belum pernah merasakan atau mendengar kejadian serupa pernah dialami rekan-rekan musisi lokal. Kendati demikian, ia berharap kejadian ini tak mengecilkan suara dalam berkarya, sekalipun bernarasikan kritik terhadap pemerintahan."Tetaplah berkarya sesuai dengan keresahan dan gaya menulis masing-masing. Kami juga meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam menangkap suatu karya seni yang memang banyak bentuk dan warnanya tersendiri," tambah dia.