Bisakah Diet Menyebabkan Gangguan Makan? Simak 5 Fakta Berikut!

Keinginan untuk memiliki tubuh ideal membuat banyak orang mencoba berbagai jenis diet. Meskipun diet sering dianggap sebagai cara untuk menjaga kesehatan, ada risiko yang sering diabaikan, yaitu berkembangnya gangguan makan. Tidak semua diet berbahaya, tetapi ketika dilakukan secara ekstrem atau tanpa pemahaman yang benar, diet bisa memicu pola makan yang tidak sehat.
Nah, ini dia 5 fakta yang perlu kamu ketahui tentang bagaimana diet dapat berkontribusi terhadap gangguan makan. Yuk simak selengkapnya!
1. Diet bisa memicu perilaku makan yang gak sehat
Diet yang terlalu ketat dapat mengarah pada kebiasaan makan yang berisiko, seperti menghitung kalori secara obsesif, melewatkan makan, atau makan berlebihan (binge eating). Pola diet yang terlalu ketat sering kali justru meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami gangguan makan, bukan menurunkan berat badan secara sehat. Tubuh yang kekurangan nutrisi akibat diet ekstrem bisa merespons dengan keinginan makan berlebihan, yang pada akhirnya membuat seseorang terjebak dalam siklus diet ketat dan makan kompulsif.
Selain itu, banyak orang yang terobsesi dengan diet mulai menghindari kelompok makanan tertentu, seperti karbohidrat atau lemak, tanpa memahami bahwa tubuh membutuhkan keseimbangan nutrisi. Jika pola ini terus berlanjut, seseorang bisa mengalami defisiensi gizi, yang tidak hanya mempengaruhi fisik, tetapi juga kesehatan mental mereka.
2. Media sosial memperkuat budaya diet
Saat ini, media sosial dipenuhi oleh influencer yang mempromosikan diet ekstrem dan metode penurunan berat badan instan. Dari diet ketat hingga tren detoks yang belum tentu sehat, banyak informasi yang tersebar tanpa dasar ilmiah yang jelas. Paparan konten semacam ini dapat memberi tekanan besar, terutama bagi remaja, untuk mengejar standar kecantikan yang tidak realistis.
Tekanan ini tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Misalnya, tren 'gym culture' yang banyak berkembang di media sosial sering kali mendorong remaja pria untuk mengejar tubuh berotot dengan cara yang tidak sehat. Banyak yang akhirnya menggunakan suplemen atau bahkan steroid tanpa pengawasan, yang bisa berujung pada gangguan makan seperti orthorexia (obsesi terhadap makanan sehat) atau bigorexia (gangguan yang membuat seseorang merasa tubuhnya tidak cukup berotot).
3. Penyalahgunaan obat penurun berat badan di kalangan remaja
Tren terbaru menunjukkan bahwa semakin banyak remaja yang menyalahgunakan obat penurun berat badan, seperti Ozempic, untuk mencapai hasil instan. Obat ini sebenarnya diperuntukkan bagi penderita diabetes, tetapi kini digunakan secara sembarangan oleh anak-anak sekolah untuk menurunkan berat badan dengan cepat. Penggunaan obat tanpa pengawasan medis bisa menyebabkan efek samping serius, termasuk gangguan pencernaan, ketidakseimbangan hormon, dan bahkan kerusakan organ.
Fenomena ini mencerminkan tekanan sosial yang semakin kuat terhadap citra tubuh. Remaja yang merasa tidak puas dengan bentuk tubuhnya cenderung mencari jalan pintas tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya. Jika kebiasaan ini tidak segera ditangani, mereka bisa mengalami gangguan makan yang lebih parah, seperti anoreksia atau bulimia.
4. Kurangnya keberagaman bentuk tubuh di media memengaruhi persepsi diri
Media, terutama acara realitas dan iklan, sering menampilkan standar kecantikan yang sangat terbatas. Hampir semua figur publik yang muncul memiliki bentuk tubuh yang seragam, langsing bagi perempuan dan berotot bagi laki-laki. Kurangnya representasi tubuh yang beragam ini membuat banyak orang merasa tidak puas dengan tubuh mereka sendiri, bahkan jika mereka sebenarnya sehat.
Ketika seseorang terus-menerus melihat satu jenis tubuh sebagai standar ideal, mereka bisa mulai merasa tidak cukup baik. Hal ini dapat menyebabkan rasa tidak percaya diri yang mendalam dan mendorong mereka untuk menjalani diet ekstrem demi menyesuaikan diri dengan standar yang sebenarnya tidak realistis. Akibatnya, banyak orang yang akhirnya mengalami gangguan makan karena merasa tidak pernah cukup sesuai dengan ekspektasi sosial.
5. Pengalaman negatif sejak dini bisa berdampak jangka panjang
Banyak orang tidak menyadari bahwa pengalaman masa kecil dapat memengaruhi pola makan mereka di masa depan. Misalnya, beberapa anak yang pernah dipermalukan karena berat badan mereka atau dipaksa mengikuti diet sejak kecil cenderung mengalami hubungan yang tidak sehat dengan makanan saat dewasa. Salah satu contoh yang sering terjadi adalah praktik menimbang berat badan siswa di depan kelas, yang bisa membuat anak merasa malu dan trauma.
Pengalaman semacam ini dapat menyebabkan kecemasan yang berlangsung lama terhadap makanan dan berat badan. Banyak orang yang mengalami hal ini tumbuh dengan pola pikir bahwa makanan adalah musuh, bukan sumber energi. Akibatnya, mereka bisa mengalami gangguan makan seperti binge eating disorder (BED) atau anoreksia tanpa menyadari akar masalahnya.
Diet bisa menjadi metode yang bermanfaat jika dilakukan dengan benar, tetapi juga bisa berbahaya jika dilakukan secara ekstrem atau tanpa pemahaman yang cukup. Media sosial, tekanan sosial, dan pengalaman negatif di masa kecil dapat memperparah risiko gangguan makan.
Penting bagi kita untuk memahami bahwa kesehatan tidak hanya tentang angka di timbangan, tetapi juga tentang kesejahteraan fisik dan mental secara keseluruhan. Jika kamu atau orang di sekitarmu menunjukkan tanda-tanda gangguan makan, jangan ragu untuk mencari bantuan dari tenaga profesional.
Membangun hubungan yang sehat dengan makanan dan tubuh adalah langkah penting untuk menjalani hidup yang lebih seimbang dan bahagia.