Mengenal Abdul Wahid, Tak Sekolah tetapi Dijuluki Profesor Kopi

Dari sopir truk banting setir jadi petani kopi

Bangku sekolah sangat asing baginya. Hanya sempat merasakan bangku SD. Namun kegigihannya mencoba berbagai hal dan tidak takut gagal, kini ia sukses menjadi petani Kopi Sipirok.

Ia adalah Abdul Wahid Harahap. Lahir dan besar di Desa Aek Sabaon, Kecamatan Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Berkat pengalaman dan pengetahuannya seputar bertani kopi, kini ia dijuluki Profesor Kopi. Dari pelajar SMK pertanian, Mahasiswa hingga aktivis konservasi dari luar negeri datang untuk PKL dan belajar kopi padanya.

Rumahnya, sekaligus kebun kopi dan juga kedai kopi bernama Tyyana di Aek Sabaon, Marancar, Tapanuli Selatan jadi laboratorium bagi siapa saja yang ingin belajar kopi. Wahid tak pernah pelit ilmu, siapa saja yang datang untuk belajar selalu ia terima dengan tangan terbuka.

"Karena saya dari dulu pegang prinsip jangan malu belajar pada siapapun. Jadi saya begitu juga, siapa yang datang gak akan pernah saya tolak, selalu saya ajari, tapi belajar sama saya harus sabar, gak bisa instan," ungkapnya saat disambangi IDN Times beberapa waktu lalu.

Setelah belajar di Tyyana Kopi, kini banyak anak-anak muda di Tapsel menjadi pengusaha coffee shop.

Namun, Wahid sampai di titik ini bukan sesuatu yang tiba-tiba dan instan. Jalan terjal berliku dilalui pria 53 tahun ini hingga akhirnya menjadi petani kopi yang andal di Tapanuli Selatan. Yuk simak kisah perjuangan Wahid menjadi petani kopi Sipirok.

Mengenal Abdul Wahid, Tak Sekolah tetapi Dijuluki Profesor KopiPetani kopi sipirok studi banding ke Brastagi dan Takengon (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

IDN Times pertama kali bertemu Wahid pada Februari 2019. Kala itu sekitar 30 petani kopi Sipirok mengikuti studi banding ke Brastagi dan Takengon. IDN Times hadir meliput kegiatan ini.

Penampilan Wahid sangat sederhana. Rambut seperti tak pernah disisir, kerap mengisap rokok, dan ramah senyum pada siapa saja. Jujur, tak begitu spesial sosoknya sehingga IDN Times mengabaikan wawancara dengannya kala itu.

Bak berjodoh! Desember 2021, kami bertemu lagi di acara yang tidak ada kaitannya dengan kopi. Yaitu di lokasi penangkaran penyu Muara Upu, Tapanuli Selatan. Pada akhir acara, saya berpamitan padanya. Dengan tulus, berulang kali Wahid mengundang saya untuk datang ke rumahnya, melihat Tyyana Kopi, dan kebun kopi sipirok yang ditanam dengan tangannya sendiri.

"Ku ajak kau nanti ngopi langsung di kebun kopiku," katanya.

Sejak saat itu, seperti ditanam janji di hati, kelak IDN Times harus mampir ke kedai kopinya. Namun janji itu baru bisa ditepati pada awal 2023. Kala itu bertepatan sedang melakukan peliputan di Tapanuli Selatan.

"Akhirnya sampai juga kau ya di sini, sudah lama sekali aku tunggu," sapa Wahid sangat gembira saat IDN Times tiba di rumahnya.

Begitu melihat Kedai Kopi Tyyana, saya langsung teringat film Filosofi Kopi saat Ben dan Jodi mencicipi kopi Tiwus langsung di kebunny. Seperti itulah suasana Kopi Tyyanna.

Saat itu kedai kopinya sedang ramai mahasiswa UMTS sedang Praktik Kerja Lapangan (PKL). Wahid mengajari para mahasiswa menjemur biji kopi, merawat pohon kopi, dan  cara menyeduh kopi. 

Usai mengurusi mahasiswa PKL, Wahid mengajak kami naik ke lantai 2 rumah kayu miliknya. "Ini bangunan baru. Lantai 1 tempat kami tinggal, lantai 2 ini mau ku buat kelas kopi dan balkonnya tempat menikmati kopi. Jadi kalau ada mahasiswa PKL yang jauh bisa menginap di sini, bisa belajar di kelas ini. Bisa juga santai-santai menikmati kopi sambil memandang ke kebun kopi," ujar ayah 4 anak ini.

Sambil bercerita, sigap tangannya menyeduhkan kopi V60 buat IDN Times. "Srrrrrrp." Seruputan pertama Kopi Sipirok seduhan Wahid tak bisa terlupakan. Gurih. Sangat seimbang aroma pekat dan buahnya. Tak sampai 15 menit 15, tiga loki V60 sudah diteguk.

"Ciri-ciri kopi enak itu, tidak ada tertinggal rasa pahit di leher," jelasnya. Sembari menyeruput kopi, cerita tentang Wahid terus mengalir secara teratur dari mulutnya.

Mengenal Abdul Wahid, Tak Sekolah tetapi Dijuluki Profesor KopiMahasiswa PKL menjemur biji Kopi di halaman Tyyana Coffe, Marancar, Kabupaten Tapanuli Selatan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Awalnya, kenang Wahid, ia hanyalah seorang sopir truk Medan - Jakarta. Sebagai pemuda tak bersekolah jelas bukan hal yang mudah mencari pekerjaan dan sopir adalah satu-satunya keahlian yang dimilikinya kala itu.

Namun pada tahun 2007, ia merasa sangat lelah dengan pekerjaannya yang seakan tak jelas masa depannya. Ia kemudian berhenti dan banting setir ja di petani. Mengingat sumber daya alam desanya dekat kaki Gunung Lubuk Raya sangat subur.

Mengandalkan sebidang tanah warisan kakek, Wahid menanam pohon karet secara otodidak. Namun karena dataran tinggi, karetnya gagal panen.

Belakangan Wahid mendapat ilmu tentang kopi mengikuti pelatihan dari Conservation International (CI) Indonesia sekitar 2016 dan terus berlanjut hingga 2021.

"Dari kegagalan tanam karet itu lah saya semakin tertantang serta belajar dan belajar (bersama CI) demi menyambung kehidupan. Dari CI selalu diajarkan petani itu bisa sejahtera," kata Wahid.

Seiring waktu, usaha kebun kopinya sudah semakin berkembang. Hasilnya sudah dia nikmati. Usahanya sudah dikenal dan terkenal hingga ke luar negeri dengan omzet penjualan hingga puluhan juta per bulan. 

"Sukses itu sederhana. Mau kerja keras, tulus dan mau merubah pola pikir atau mindset. Dimana ada kemauan pasti di situ ada jalan, dan jangan lupa bersyukur (berdoa)," ujarnya.

Dari kebun miliknya kini usahanya memproduksi bubuk kopi arabika, biji kopi atau grean been, biji kopi yang sudah roasting. Permintaan pasarnya merambah hingga sejumlah daerah dalam dan luar Pulau Sumatera seperti Pulau Jawa hingga luar negeri.

Kebun kopi miliknya kini menjadi penelitian mahasiswa pasca sarjana berbagai Universitas seperti dari IPB, USU, Polbangtan Medan, Unimed, UMTS, UGN dan lainnya.

Rahasianya, Wahid betul-betul ahli dalam hal struktur tanah, cara memilih bibit, menanam, merawat, memanen dan setelah panen, hingga sampai produksi dan pemasaran dia fahami dan ditangani secara mandiri.

Suami dari Nur Ainun Situmorang itu juga terkadang tampil membagikan ilmu pada seminar maupun diklat yang digelar pemerintah hingga mengisi kuliah umum beberapa perguruan tinggi seperti UMTS (Universitas Muhammdiyah Tapanuli Selatan) dan UGN Padang Sidempuan.

Mengenal Abdul Wahid, Tak Sekolah tetapi Dijuluki Profesor KopiAbdul Wahid (dua kiri) mendampingi Wabup Tapsel Rasyid Assaf Dongoran, M.Si, (tengah) memberikan penyuluhan pertanian di Desa Satail, Kecamatan Sipirok, Tapsel, Kamis (7/9/2023) (Dok. IDN Times)

Berbekal keahliannya yang didapat dari pelatihan CI serta dorongan Hamdan Nasution, mantan Kadis Peternakan Pemkab Tapsel, Wahid terobsesi memiliki sebuah pusat pelatihan pertanian masyarakat swadaya yang representatif untuk mentransfer ilmunya demi regenerasi.

"Saya ingin melihat sekaligus merubah pola pikir generasi muda anak bangsa Aek Sabaon Marancar tumbuh sebagai petani-petani muda yang berjiwa entrepreneur atau wirausahawan yang modern dan berdaya saing sehat," katanya.

Selain itu bercita-cita mengembalikan kejayaan kopi sipirok dari Aek Sabaon Marancar sebagaimana dirasakan leluhur ratusan tahun silam.

Wahid cukup optimis dapat menggapai cita-cita itu. Sebagaimana pola pikir yang dia tanamkan pada dirinya. Berhenti menjadi sopir setelah melirik bertani dan pada akhirnya bisa pengusaha.

"Impian saya bagaimana lahan-lahan tidur daerah Aek Sabaon yang cukup subur yang memiliki panorama indah berudara dingin di kaki Gunung Lubuk Raya itu tertanam jejeran hamparan kebun kopi nan berkualitas," katanya. 

"Sumber daya alam yang ada harus dikelola dengan baik demi peningkatan kesejahteraan ekonomi. Bila sudah sejahtera, sehat dan cerdas akan dapat semakin terpenuhi. Mari kita kembalikan kejayaan kopi Marancar ratusan tahun silam," pungkasnya.

Baca Juga: Bikin Pangling, 10 Potret Terbaru Kahiyang Ayu dengan Wajah Tirus

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya