6 Manga Shonen dengan Ending yang Mengecewakan, Apa Saja?

Manga shonen memiliki daya tarik khusus yang mampu memikat pembaca dari berbagai kalangan, mulai dari remaja hingga dewasa. Sebagai salah satu genre paling populer dan diterima di antara penggemar komik Jepang, shonen menawarkan petualangan seru, karakter yang kuat, dan nilai-nilai positif. Namun, sayangnya, genre ini juga dikenal memiliki satu kelemahan besar: ending yang kurang memuaskan.
Banyak serial shonen yang telah berjalan selama bertahun-tahun, bahkan hingga satu dekade, mengalami kesulitan dalam menyajikan akhir cerita yang sempurna, menyeimbangkan antara pengembangan karakter dan harapan akan masa depan.
Para penggemar tentu saja mengharapkan kepuasan dan kejelasan di bab terakhir serial favorit mereka. Namun, manga-manga shonen dalam daftar ini justru memiliki ending yang mengecewakan, bahkan dapat membuat penggemar merasa frustasi dan kecewa selama bertahun-tahun setelahnya. Apa saja? Yuk, langsung saja simak!
1. Naruto: Ketika plot armor menghancurkan ending

Bagi para penggemar Naruto, arc Perang Dunia Ninja Keempat tentu tidak asing lagi, terutama bagaimana arc ini dianggap gagal sebagai penutup serial yang epik, maupun sebagai kisah perang yang seharusnya menegangkan. Meski memiliki beberapa momen menyentuh (seperti reuni Asuma dengan Tim 10), narasi dalam arc ini dipenuhi dengan penggunaan plot armor yang berlebihan.
Karakter-karakter yang kurang berkembang secara ajaib selamat, sementara tokoh-tokoh yang seharusnya mendapatkan akhir bahagia justru harus kehilangan nyawa.
Sebagai arc penutup yang seharusnya menjadi klimaks dari petualangan Naruto, arc Perang Dunia Ninja Keempat sebelum Generations justru meninggalkan rasa kecewa dan bahkan kemarahan di kalangan penggemar. Alih-alih memberikan akhir yang memuaskan, arc ini justru menimbulkan banyak pertanyaan dan ketidakpuasan, membuat penggemar mempertanyakan keputusan kreatif sang kreator.
2. Demon Slayer: Ending yang antiklimaks dan kontroversial

Berbanding terbalik dengan Naruto, arc terakhir Demon Slayer berhasil menggambarkan dampak perang yang memilukan, dengan banyaknya kematian tragis yang menguras emosi para penggemar manga. Namun, arc Pertarungan Melawan Muzan terasa terlalu singkat dan memiliki beberapa kekurangan.
Masalah utama terletak pada perbedaan kualitas adegan pertarungan, terutama antara pertarungan melawan Kokushibo dan Muzan. Kokushibo, dengan latar belakang yang mendalam, menghadirkan salah satu pertempuran terbaik dalam seri ini. Sementara Muzan, sang Raja Iblis, justru terasa kurang mengancam dan gagal memenuhi ekspektasi sebagai musuh terakhir.
Ending cerita pun menimbulkan kekecewaan. Semua peristiwa ternyata hanyalah mimpi, sebuah kesalahan fatal dalam dunia penulisan, bahkan bagi penulis amatir. Lebih mengejutkan lagi, si pemimpi adalah keturunan Zenitsu dan Nezuko yang sangat mirip dengan Tanjiro.
Ditambah lagi, akhir cerita yang bergaya manga sekolah terasa janggal dan menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah ini merupakan petunjuk akan adanya manga Demon Slayer baru yang berlatar di zaman modern? Atau hanya sekadar fan service yang tidak perlu?
Apapun maksudnya, ending ini jelas membuat para penggemar merasa kecewa dan tidak puas.
3. The Seven Deadly Sins: Pacing lambat dan ending yang mengecewakan

Meskipun secara kualitas keseluruhan, akhir cerita The Seven Deadly Sins tidaklah buruk, namun banyaknya hal yang menggantung dan pertanyaan yang belum terjawab meninggalkan kesan kurang memuaskan bagi penggemar. Beberapa berspekulasi bahwa ini adalah strategi penulis untuk membuka peluang bagi serial sekuel.
Selain itu, ending ini juga menghadirkan arc perang yang kembali gagal, di mana dampak perang seolah-olah diabaikan dan adegan pertempuran terasa minim. Fokus cerita terlalu terpusat pada pertarungan utama antara Seven Deadly Sins melawan Raja Iblis, sehingga karakter-karakter lain seperti Gilthunder, yang memiliki potensi pengembangan yang menarik, terpinggirkan.
Masalah lain yang cukup mencolok adalah pacing cerita yang tidak seimbang. Arc terakhir terasa bertele-tele tanpa alasan yang jelas. Padahal, perang tersebut berlangsung hanya dalam hitungan hari, bukan bertahun-tahun, sehingga terasa tidak masuk akal jika arc ini menghabiskan begitu banyak chapter dalam manga.
Semua ini berkontribusi pada akhir cerita yang kurang memuaskan dan menimbulkan kekecewaan bagi sebagian penggemar.
4. Fairy Tail: Ending yang mengecewakan dengan kurangnya pengembangan karakter

Selama saga besar Zeref, Fairy Tail menunjukkan potensi besar untuk menjadi manga shonen fantasi gelap yang klasik, dengan plot yang mendalam dan gelap, serta petunjuk tentang asal-usul rahasia Dragon Slayer favorit penggemar, Natsu. Namun, yang mengecewakan para penggemar adalah bagaimana Perang melawan Zeref berakhir dengan antiklimaks dan penyelesaian yang buruk.
Pertarungan melawan para Penyihir Kegelapan terasa canggung dan kurang memuaskan. Meskipun semua karakter mengalami sedikit pertumbuhan dalam hal kedewasaan dan pengembangan karakter, arc terakhir ini hanya menampilkan pertempuran-pertempuran improvisasi melawan para Penyihir terkuat dalam sejarah yang seharusnya memiliki kekuatan luar biasa.
Bahkan Irene, seorang Enchantress kuno dan Dragon Slayer yang tangguh, dikalahkan dengan cara yang antiklimaks dan tidak masuk akal, membuat penggemar bertanya-tanya tentang arah cerita ini. Meskipun seri lanjutan 100-Year-Old Quest mungkin sudah direncanakan, banyak penggemar yang merasa sulit untuk menganggap arc terakhir tersebut sebagai akhir yang memuaskan bagi Fairy Tail.
5. The Promised Neverland: Ketika ending manis mengorbankan esensi cerita

Para penggemar The Promised Neverland pasti sepakat bahwa serial ini memiliki kualitas dan kedalaman karakter yang luar biasa. Arc awal dari seri yang menakjubkan ini, meski singkat, berjalan dengan sangat baik hingga mencapai arc Pertempuran Ibukota Kekaisaran. Di sinilah cerita mulai kehilangan arah.
Semuanya dimulai dengan penebusan Norman yang terlalu mudah setelah melakukan tindakan-tindakan keji. Emma dengan mudah meyakinkannya untuk kembali ke jalan yang benar seolah-olah semua perbuatannya bisa dilupakan begitu saja.
Setelah beberapa cerita yang kurang berkesan, ketakutan para penggemar pun menjadi kenyataan: manga ini perlahan-lahan menjadi terlalu manis dan kehilangan ketegangannya. Hal ini semakin jelas terlihat pada akhir cerita, di mana setiap karakter mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa harus melalui pengorbanan yang berarti. Padahal, konsep pertukaran setara merupakan salah satu elemen penting dalam serial ini.
Ending yang terkesan terburu-buru dan antiklimaks ini meninggalkan rasa kecewa bagi para penggemar. The Promised Neverland, dengan segala potensi dan kehebatannya, seharusnya mendapatkan penutup yang lebih memuaskan dan bermakna.
6. My Hero Academia: Ending yang paling tidak adil? Para penggemar setuju

Kisah My Hero Academia diawali dengan premis yang jelas: Ini adalah kisah tentang bagaimana saya menjadi pahlawan terhebat di dunia. Namun, akhir yang disajikan bagi Deku, sang protagonis, justru menjadi tamparan bagi para penggemar. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan yang pantas setelah perjuangan, pengembangan karakter, dan pengorbanan yang luar biasa, Deku kembali ke titik nol, tanpa hasil yang berarti.
Teman-temannya telah melanjutkan hidup, sementara Deku terjerumus dalam depresi yang ia coba sembunyikan di balik senyumannya. Ia memang seharusnya telah mencapai impiannya menjadi pahlawan, namun kenyataan tersebut terasa hampa dan paradoksal. Apakah ini sebuah metafora yang ingin disampaikan oleh penulis, bahwa Guru adalah pahlawan sejati di dunia?
Apapun maksudnya, ending ini meninggalkan rasa kecewa yang mendalam bagi para penggemar. Ketidakpuasan terhadap akhir cerita My Hero Academia bahkan mungkin melampaui kontroversi yang ditimbulkan oleh akhir cerita Attack on Titan dengan "Pigeon Eren"-nya.
Keenam manga shonen ini membuktikan bahwa popularitas dan kesuksesan sebuah seri tidak selalu menjamin akhir cerita yang memuaskan. Meskipun memiliki potensi yang besar, akhir cerita yang antiklimaks, terburu-buru, atau bahkan kontroversial dapat meninggalkan rasa kecewa yang mendalam bagi para penggemar.
Sebagai penutup, penting bagi para kreator untuk memberikan perhatian khusus pada penyelesaian cerita, terutama untuk serial-serial yang telah berjalan lama dan memiliki basis penggemar yang besar. Ending yang baik tidak hanya memberikan kepuasan bagi pembaca, tetapi juga menjadi warisan yang akan dikenang sepanjang masa.