“Aceh Gawat,”
Itu pesan singkat yang diterima Herriansyah pada saat bencana gempa bumi disusul tsunami di Aceh 17 tahun lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004. Herri bergidik. Lelahnya belum lagi hilang karena baru saja pulang setelah menjalani pelatihan di Cibubur mewakili bersama timnya mewakili kontingen Sumatra Utara.
Saat menerima pesan itu, Herri sedang berada di Kota Tebing Tinggi. Dia sedang mengisi pelatihan soal penanganan bencana di sana. Saat itu, Herri masih menjadi relawan di Palang merah Indonesia (PMI).
Baru saja membuka komputer jinjingnya (Laptop) untuk mengisi pelatihan, dia langsung menutupnya. Dia bergegas kembali ke Medan. Memang sebelum itu, dia sudah melihat pesawat militer berseliweran di langit.
Sebelum sampai di Kota Medan, dia sempat melakukan evakuasi jenazah nelayan di Serdang Bedagai. Saat tiba di pantai, dia melihat air laut surut. Saat itu ada rekannya sesama relawan, yang kembali menghubunginya supaya menjauh dari laut.
Setelah operasi pencarian nelayan itu usai, dia lantas bergegas ke Kota Medan. Sampai di Kota Medan, dia dipanggil oleh PMI untuk berangkat ke Aceh. Herri tidak banyak melakukan persiapan. Bahkan, dia hanya berbekal baju seragam PMI dan kaus ganti. Untuk logistik, dia hanya membawa biskuit kalengan dan dua botol air mineral.
Tanpa rasa ragu, Herri berangkat bersama enam anggota timnya. Mereka menumpang pesawat Hercules dari Medan dan diterbangkan ke Sibolga.
“Dari sana, kami kemudian menumpang kapal. Bersama personel TNI dan AL. Itu kapal juga bawa logistik untuk bencana. Saat itu kami tidak tahu, itu kapal mau berlabuh di mana,” kata Herri, Jumat (17/12/2021).