Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
cuplikan film Oppenheimer (dok. Universal Pictures/Oppenheimer)

Film fiksi sejarah menawarkan jendela unik untuk menengok masa lalu, memadukan fakta historis dengan imajinasi kreatif untuk menghidupkan kembali era, tokoh, dan peristiwa bersejarah. Genre ini mampu menghibur sekaligus memberikan wawasan berharga tentang perjalanan umat manusia, menjelajahi tema-tema universal seperti cinta, pengorbanan, kekuasaan, dan peperangan.

Dari kekaisaran yang megah hingga perjuangan kemerdekaan, film fiksi sejarah mengajak kita menyelami berbagai peristiwa penting yang telah membentuk dunia saat ini.

Ingin menjelajahi lorong waktu dan menyaksikan kisah-kisah epik yang menginspirasi? Berikut adalah 10 film fiksi sejarah terbaik sepanjang masa yang wajib ditonton, menawarkan kombinasi sinematografi yang memukau, alur cerita yang menawan, dan penampilan akting yang brilian. Bersiaplah untuk terhanyut dalam perjalanan menakjubkan melintasi ruang dan waktu!

1. Oppenheimer (2023)

cuplikan film Oppenheimer (dok. Universal Pictures/Oppenheimer)

Oppenheimer mahakarya Christopher Nolan, menyajikan potret yang mencengkeram tentang J. Robert Oppenheimer. Fisikawan yang karyanya yang groundbreaking dalam fisika menghasilkan pengembangan bom atom, sebuah senjata yang mengubah sejarah peperangan dan umat manusia. Berlatar belakang Perang Dunia II dan Proyek Manhattan, film ini menelaah beban etis dan emosional yang dipikul oleh sosok yang menciptakan senjata dengan kekuatan penghancur yang mampu melenyapkan spesies penciptanya sendiri.

Penampilan Cillian Murphy sebagai J. Robert Oppenheimer dengan brilian menangkap kompleksitas seorang pria yang terjebak dalam konflik batin antara kemurnian pencapaian ilmiahnya dan konsekuensi bencana yang ditimbulkannya. Arahan Nolan yang inspiratif dan perhatiannya terhadap detail sejarah berhasil membenamkan penonton dalam urgensi dan ketegangan pada masa itu. Mencerminkan beban berat dari sebuah era di mana keputusan-keputusan krusial dibuat, keputusan yang akan mengubah arah sejarah menuju bentuknya sekarang ini.

Film ini dengan cerdas menyandingkan kegembiraan penemuan ilmiah dengan realitas penerapannya yang menghantui, menggarisbawahi dilema moral yang dihadapi oleh Oppenheimer dan timnya, dilema yang terus diperdebatkan sejak bom atom pertama kali diciptakan. Sinematografi yang mengagumkan dan skor musik yang menggugah oleh Ludwig Göransson semakin meningkatkan intensitas narasi.

Sementara pemeran ansambel yang kuat termasuk Emily Blunt, Matt Damon, dan Robert Downey Jr. - menambah kedalaman konflik pribadi dan politik yang mewarnai kanvas geopolitik pada masa itu. Oppenheimer menjadi sebuah eksplorasi yang kuat tentang ambisi, tanggung jawab, dan dampak luas dari inovasi manusia.

2. Spotlight (2015)

cuplikan film Spotlight (dok. Open Road Films/Spotlight)

Spotlight disutradarai oleh Tom McCarthy, merupakan salah satu mahakarya dalam genre film jurnalisme. Film ini menceritakan kisah nyata tim investigasi "Spotlight" dari surat kabar Boston Globe yang berhasil memenangkan Hadiah Pulitzer atas pengungkapan skandal pelecehan dan korupsi yang meluas di dalam Gereja Katolik. Film ini mengikuti perjalanan tim Spotlight dalam mengungkap penyembunyian yang telah berlangsung selama beberapa dekade, menghadapi korupsi sistemik di tingkat tertinggi, dan memberikan suara bagi para korban yang tak terhitung jumlahnya.

Didukung oleh pemeran ansambel kelas atas yang menampilkan Michael Keaton, Mark Ruffalo, dan Rachel McAdams, Spotlight dengan apik menangkap tekad yang tak tergoyahkan dan tanggung jawab etis yang diperlihatkan oleh para jurnalis ini. Dengan ketegangan yang meningkat secara bertahap dan dialog yang tajam, Spotlight berhasil menangkap esensi dari proses pelaporan investigasi yang penuh tantangan, menampilkan rintangan hukum, kelembagaan, dan pribadi yang harus dihadapi oleh para jurnalis dalam mengungkap kebenaran.

Pendekatan film yang terkendali justru menekankan gravitasi dari subjek yang diangkat, mengandalkan keaslian penampilan para aktor dan alur cerita untuk menciptakan dampak emosional yang mendalam bagi penonton. Sebagai sebuah film prosedural yang mencekam dan sekaligus komentar sosial yang membuka mata, Spotlight tidak hanya menyoroti pentingnya jurnalisme investigasi. Tetapi juga menjadi sebuah testimoni atas keberanian yang dibutuhkan untuk menghadapi ketidakadilan yang telah mengakar kuat.

3. Barry Lyndon (1975)

cuplikan film Barry Lyndon (dok. Warner Bros./Barry Lyndon)

Barry Lyndon mahakarya Stanley Kubrick adalah sebuah kemenangan sinematik yang meng-chronic kehidupan Redmond Barry, seorang pemuda Irlandia yang menaiki tangga sosial melalui ambisi, oportunisme, dan manipulasi, hanya untuk menghadapi kejatuhan dramatis yang seolah ditakdirkan sejak awal. Diadaptasi dari novel karya William Makepeace Thackeray, film ini merupakan sebuah epik sejarah yang menggelegar sekaligus studi karakter yang tajam, mengulik tema-tema kelas sosial, kekuasaan, dan kerapuhan manusia dari berbagai sudut pandang seiring dengan perjalanan hidup Barry yang berubah dari miskin menjadi kaya.

Penonton diajak untuk menyaksikan transformasi karakter Barry dan menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Ryan O'Neal memberikan penampilan yang penuh nuansa sebagai Barry, seorang petualang miskin yang berubah menjadi peniru bangsawan. Secara visual, Barry Lyndon sangat memukau dan dibuat dengan ketelatenan yang tinggi sebagaimana karya-karya Kubrick lainnya. Film ini terkenal dengan sinematografinya yang inovatif dengan penekanan pada pencahayaan alami dan adegan-adegan bercahaya lilin yang menampilkan tekstur lukisan abad ke-18.

Arahan Kubrick yang presisi dalam mengarahkan adegan-adegan di berbagai lokasi yang terus berubah, dipadukan dengan penggunaan musik klasik, berhasil menangkap kemegahan dunia Barry dan sekaligus mengungkapkan kekosongan dari ambisinya. Ritme film yang sengaja dibuat lambat dan ironi yang tajam mengungkapkan sifat rapuh dari status sosial dan konsekuensi dari ambisi yang tidak terkendali. Barry Lyndon menjadi sebuah eksplorasi yang menyentuh tentang kapasitas manusia untuk menghancurkan diri sendiri di tengah-tengah perangkap keindahan dan kekuasaan.

4. All the President's Men (1976)

cuplikan film All the President's Men (dok. Warner Bros./All the President's Men)

All the President's Men adalah film yang mendefinisikan sebuah era dalam genre thriller politik dan drama jurnalisme. Film ini mencatat kisah nyata yang menentukan generasi dari dua wartawan Washington Post, Bob Woodward dan Carl Bernstein, saat mereka mengungkap skandal Watergate. Disutradarai oleh Alan J. Pakula, film ini dengan mahir mengikuti perjalanan Woodward (Robert Redford) dan Bernstein (Dustin Hoffman) dalam mengejar narasumber yang nyawanya mungkin terancam, menghadapi jalan buntu, dan mempertaruhkan reputasi mereka demi mengungkap jaringan korupsi yang mencapai jabatan pemerintahan tertinggi.

Perhatian cermat film ini terhadap proses jurnalistik yang seringkali penuh frustrasi dan dilema etika dalam pelaporan investigasi berhasil menangkap ketegangan dan signifikansi dari pekerjaan para reporter. Keaslian All the President's Men terletak pada dedikasinya untuk menampilkan akurasi prosedural, menggambarkan kerja keras dan tekanan yang dihadapi oleh Woodward dan Bernstein saat mereka menyusun kepingan-kepingan skandal bersejarah tersebut.

Sinematografi Gordon Willis yang redup dan arahan Pakula yang cermat semakin meningkatkan atmosfer film, dengan mahir menampilkan ketegangan yang muncul ke permukaan seiring dengan setiap penemuan baru sambil membenamkan penonton dalam lingkungan ruang berita yang klaustrofobik dan garasi parkir yang gelap. Lebih dari sekadar sebuah thriller politik, film ini berfungsi sebagai penghormatan abadi bagi peran pers bebas dalam menjaga akuntabilitas kekuasaan mewujudkan kewaspadaan yang selalu dibutuhkan untuk menjunjung tinggi kebenaran dan demokrasi.

5. The Bridge on the River Kwai (1957)

cuplikan film The Bridge on the River Kwai (dok. Columbia Pictures/The Bridge on the River Kwai)

The Bridge on the River Kwai karya David Lean berdiri kokoh sebagai salah satu pencapaian terbesar dalam dunia sinema. Film epik yang menggelegar ini menelaah interaksi kompleks antara tugas, kebanggaan, dan kesia-siaan perang. Berlatar di sebuah kamp tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II, kisah ini berpusat pada Kolonel Nicholson (Alec Guinness) seorang Kolonel Inggris yang komitmen obsesifnya untuk membangun jembatan yang diperintahkan oleh para penculiknya menjadi sebuah testimoni atas disiplin dan sekaligus sebuah dilema moral yang meresahkan.

Ketika jembatan tersebut berubah menjadi simbol perlawanan bagi Nicholson, konflik antara para tawanan dan penjaga semakin meningkat yang berpuncak pada sebuah klimaks yang tak terlupakan dan mengerikan. Arahan Lean yang brilian dan kemegahan visual film ini berhasil menghidupkan kondisi mengerikan dari penjara dan hutan di sekitarnya. Penampilan para aktor yang penuh nuansa—terutama interpretasi Guinness yang memenangkan Oscar sebagai Kolonel Nicholson—memberikan kedalaman psikologis pada narasi yang tetap menjadi inti cerita.

Eksplorasi film ini tentang konflik loyalitas, biaya perang yang harus dibayar manusia, dan garis kabur antara kepahlawanan yang berani dengan kebodohan yang sia-sia semakin diperkuat oleh skor musik ikonik karya Malcolm Arnold termasuk "Colonel Bogey March" yang dikenal dengan siulannya. Dengan skala yang ambisius dan wawasan yang mendalam, The Bridge on the River Kwai tetap menjadi sebuah renungan abadi tentang badai perang yang paradoks dan ketahanan jiwa manusia yang berada di pusat konflik.

6. Lawrence of Arabia (1962)

cuplikan film Lawrence of Arabia (dok. Columbia Pictures/Lawrence of Arabia)

Lawrence of Arabia karya David Lean adalah sebuah mahakarya sejati yang mencatat perjalanan luar biasa T.E. Lawrence, seorang perwira Inggris yang kepemimpinannya yang berani berhasil menyatukan berbagai suku Arab selama Perang Dunia I. Diperankan dengan intensitas yang menawan dan ikonik oleh Peter O'Toole, Lawrence muncul sebagai seorang figur yang penuh dengan kontradiksi—berani dan misterius, idealis namun juga dilanda konflik batin.

Film ini menyelami transformasi dirinya dari seorang outsider yang eksentrik menjadi seorang pemimpin yang dihormati dan dimitoskan seraya mengungkap kompleksitas yang melekat pada bentuk kepemimpinan tersebut; mengenai identitas, kesetiaan, dan konsekuensi jauh jangkau dari tindakan yang diambil di panggung global yang semakin meluas. Dikenal karena sinematografinya yang indah, Lawrence of Arabia berhasil menangkap keindahan gurun yang luas dan sifatnya yang tak kenal ampun, menggunakan lanskap tersebut sebagai latar belakang dan sekaligus sebagai karakter tersendiri dalam narasi ini.

Skor musik gubahan Maurice Jarre yang menggelegar semakin meningkatkan kemegahan film, sementara arahan Lean dengan cermat menyeimbangkan aspek intim dan epik dalam sebuah kisah yang berskala besar namun tetap personal. Eksplorasi film ini mengenai ambisi, konflik budaya, dan beban warisan telah memperkuat statusnya sebagai salah satu karya paling abadi dan berpengaruh dalam sejarah perfilman, sebuah karya yang idealnya ditonton dalam format 70 mm sesuai dengan visi awal pembuatnya.

7. Saving Private Ryan (1998)

cuplikan film Saving Private Ryan (dok. DreamWorks Pictures, Paramount Pictures/Saving Private Ryan)

Saving Private Ryan karya Steven Spielberg telah merevolusi genre film perang dengan penggambaran Perang Dunia II yang begitu nyata dan mendalam, membenamkan penonton dalam realitas mengerikan yang dihadapi oleh para prajurit di garis depan salah satu peristiwa paling mematikan dalam sejarah manusia. Dibuka dengan adegan serangan tanpa henti di Pantai Omaha selama D-Day, film ini mengikuti sebuah unit kecil yang dipimpin oleh Kapten John Miller (Tom Hanks) dalam misi berbahaya untuk menemukan dan membawa pulang Prajurit James Ryan (Matt Damon).

Narasi film mengeksplorasi beban moral dan emosional dari tugas mereka, mempertanyakan hakikat kewajiban, kemanusiaan, dan biaya perang yang sangat besar.

Intensitas film yang mentah diimbangi dengan kecemerlangan teknis yang luar biasa. Sinematografi Janusz Kamiński yang brilian dan arahan Spielberg menghasilkan rangkaian adegan dengan realisme yang mengejutkan dan kekuatan emosional yang tak tertandingi dalam genre film perang hingga saat ini.

Penampilan para aktor, terutama penggambaran dramatis Hanks sebagai seorang pria biasa yang berubah menjadi pemimpin tangguh yang berjuang melawan beban komando, menjadikan kisah ini lebih manusiawi di tengah kekacauan yang tak terbayangkan.

Skor musik karya John Williams yang mengharukan semakin menambah kedalaman eksplorasi film tentang perang dan pengorbanan. Meskipun secara mengejutkan gagal memenangkan penghargaan Oscar untuk Film Terbaik pada tahun itu, Saving Private Ryan tetap menjadi tolok ukur pencapaian sinematik, sebuah penghormatan bagi keberanian dan ketahanan mereka yang bertugas dalam salah satu babak paling kelam dalam sejarah.

8. Portrait of a Lady on Fire (2019)

cuplikan film Portrait of a Lady on Fire (dok. Pyramide Films/Portrait of a Lady on Fire)

Portrait of a Lady on Fire karya Céline Sciamma adalah sebuah eksplorasi yang sangat menyentuh tentang cinta terlarang dan kekuatan ingatan yang bisu. Berlatar di Prancis abad ke-18, kisah ini mengikuti Marianne (Noémie Merlant), seorang pelukis yang ditugaskan untuk membuat potret Héloïse (Adèle Haenel), seorang calon pengantin yang enggan.

Saat Marianne mengamati Héloïse secara rahasia untuk menangkap kemiripannya, muncul sebuah koneksi romantis yang tak terduga di antara keduanya, menjalin ikatan emosional yang sangat mendalam namun juga ditakdirkan untuk hancur.

Film ini dengan mahir menenun narasinya dengan kehalusan yang menyayat hati, mengeksplorasi tema-tema kerinduan, otonomi, dan gema cinta yang abadi. Dengan komposisi visual yang menyerupai lukisan, sinematografi film ini menyelimuti para karakter dalam cahaya dan tekstur, mencerminkan seni yang menjadi inti dari hubungan mereka.

Ketiadaan skor musik tradisional justru semakin meningkatkan keintiman film, sementara momen-momen musik yang hadir terutama bagian paduan suara yang menghantui di adegan api unggun sangat mengharukan. Arahan Sciamma yang terkendali dan penampilan Merlant dan Haenel yang menakjubkan menghidupkan kisah ini dengan keaslian dan emosi yang mentah, yang berpuncak pada adegan terakhir yang tak terlupakan menjadikan Portrait of a Lady on Fire sebagai salah satu film terbaik abad ke-21.

9. Paths of Glory (1957)

cuplikan film Paths of Glory (dok. United Artists/Paths of Glory)

Paths of Glory karya Stanley Kubrick adalah sebuah kecaman yang tajam terhadap mesin perang yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan, dengan fokus khusus pada ketidakadilan brutal yang dialami oleh para prajurit selama Perang Dunia I. Dalam puncak karirnya sebagai seorang aktor, Kirk Douglas memperlihatkan penampilan yang mengesankan sebagai Kolonel Dax, seorang perwira yang berprinsip yang membela tiga anak buahnya yang dituduh pengecut setelah gagal menyerang posisi Jerman yang tak tertembus.

Film ini bergantian antara kengerian medan perang yang visceral dan birokrasi pengadilan militer yang dingin dan terpisah, mengungkapkan ketidakpedulian penguasa dan institusi terhadap kehidupan serta martabat manusia. Arahan Kubrick yang khas dan terstruktur dengan rapi menangkap kontras yang mencolok antara penderitaan para prajurit dengan kemewahan yang dinikmati oleh para atasan mereka, menggambarkan kemunafikan mereka yang memberikan perintah dari kejauhan.

Penggambaran film yang teguh tentang kesia-siaan perang dan rusaknya nilai-nilai keadilan ketika mencoba merasionalisasi sesuatu yang tidak manusiawi seperti perang terasa begitu kuat melalui adegan-adegan ruang sidang yang mencekam dan kesimpulan yang suram. Dengan sinematografi yang fantastis dan pesan moral tentang perang yang disampaikan secara terus menerus, Paths of Glory melampaui standar drama sejarah dan film thriller militer, menjadi sebuah kritik abadi terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh otoritas dan pengorbanan yang dituntut dari mereka yang tidak berdaya.

10. Schindler's List (1993)

cuplikan Schindler's List (dok. Universal Pictures/Schindler's List)

Schindler's List karya Steven Spielberg adalah sebuah pencapaian sinematik yang luar biasa dan dinobatkan sebagai film fiksi sejarah terbaik sepanjang masa. Film yang secara luas dianggap sebagai karya terbaik Spielberg ini menggambarkan realitas Holocaust yang mengerikan melalui kisah Oskar Schindler, seorang pengusaha Jerman yang berhasil menyelamatkan lebih dari seribu nyawa orang Yahudi selama periode tersebut.

Liam Neeson memberikan penampilan yang menentukan karirnya sebagai Schindler, seorang tokoh yang memiliki kekurangan namun penuh belas kasih yang bertransformasi dari seorang pencari keuntungan yang mengeksploitasi perang menjadi seorang penyelamat yang mempertaruhkan segalanya demi melindungi orang lain. Film ini menangkap baik kengerian genosida maupun kemurnian yang mendasari jiwa manusia, menerangi kapasitas untuk keberanian di masa-masa tergelap, sebuah tema yang sering muncul dalam karya-karya Spielberg.

Direkam dalam format hitam-putih yang mencolok, Schindler's List mencapai kedekatan dan viseralitas yang menghantui, menghidupkan narasi sejarahnya. Sinematografi Janusz Kamiński dengan cerdas mengkontraskan momen-momen kehancuran yang brutal dengan kemanusiaan yang lembut, sementara skor emosional John Williams menggarisbawahi gravitasi emosional dari cerita tersebut.

Dengan penampilan para aktor yang tak terlupakan, termasuk Ralph Fiennes sebagai Amon Göth yang kejam dan mengerikan. Film ini berfungsi sebagai penghormatan bagi mereka yang tewas dalam peristiwa tersebut dan sekaligus sebuah testimoni bagi mereka yang berani menentang kejahatan di salah satu masa tergelap dalam sejarah manusia.

Kesepuluh film di atas hanyalah sebagian kecil dari banyaknya karya fiksi sejarah yang luar biasa. Setiap film menawarkan perspektif unik tentang masa lalu, mengajak kita merenungkan peristiwa, tokoh, dan nilai-nilai yang telah membentuk dunia kita saat ini.

Melalui kekuatan visual, narasi, dan akting yang memukau, film-film ini mampu menghidupkan kembali sejarah dengan cara yang tak terlupakan.

Editorial Team