4 Tantangan yang Sering Dihadapi Anak Kedua dalam Keluarga

Bagi banyak orang, menjadi anak kedua dalam keluarga sering kali dianggap sebagai posisi yang unik, bahkan penuh dinamika. Anak kedua sering dijuluki sebagai anak tengah yang berada di antara kakak yang lebih dewasa dan adik yang dianggap lebih muda atau membutuhkan perhatian khusus. Posisi ini tidak jarang menempatkan anak kedua dalam situasi yang cukup kompleks.
Walaupun tidak semua pengalaman anak kedua sama, banyak yang merasakan bahwa peran mereka sering kali luput dari perhatian, bahkan dalam keluarga sendiri. Fenomena ini sering disebut dengan istilah middle child syndrome.
Artikel ini akan membahas empat tantangan utama yang sering dihadapi oleh anak kedua, sekaligus memberikan gambaran mengapa posisi ini penuh warna tetapi juga menantang.
1. Kurangnya perhatian karena berada di tengah

Sebagai anak kedua, posisi di tengah sering membuat perhatian orang tua terpecah. Kakak biasanya mendapatkan perhatian lebih karena dianggap sebagai anak sulung yang membawa tanggung jawab besar, sementara adik sering dipandang sebagai si kecil yang perlu dilindungi. Akibatnya, anak kedua kerap merasa terabaikan dalam dinamika keluarga.
Kurangnya perhatian ini tidak jarang memicu rasa kesepian atau bahkan perasaan kurang dihargai. Anak kedua mungkin harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan pengakuan dari orang tua atau keluarga. Dalam beberapa kasus, hal ini justru menjadi motivasi bagi anak kedua untuk mandiri sejak dini.
Namun, di sisi lain, situasi ini juga membuat anak kedua lebih kreatif dalam mengekspresikan diri. Mereka cenderung mencari cara sendiri untuk menunjukkan keberadaan mereka, baik melalui prestasi maupun hobi yang unik.
2. Tuntutan menjadi penengah dalam konflik keluarga

Sebagai jembatan antara kakak dan adik, anak kedua sering kali harus berperan sebagai penengah dalam konflik keluarga. Mereka dianggap cukup dewasa untuk memahami situasi, tetapi juga tidak sepenuhnya bebas dari pengaruh kedua belah pihak.
Peran ini bisa menjadi beban tersendiri karena mereka harus memastikan semua pihak merasa didengarkan. Anak kedua sering merasa terjepit di antara kebutuhan kakak dan adik, bahkan kadang-kadang mengorbankan keinginan pribadi demi menjaga kedamaian keluarga.
Di sisi positifnya, anak kedua biasanya memiliki kemampuan diplomasi yang baik. Mereka belajar untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang dan mengembangkan empati yang tinggi. Keterampilan ini sering menjadi bekal berharga di masa depan, baik dalam hubungan sosial maupun profesional.
3. Harapan tinggi tetapi tidak sebanding dengan perhatian

Meskipun kurang mendapatkan perhatian, anak kedua sering kali menghadapi ekspektasi tinggi dari orang tua. Harapan ini biasanya muncul karena mereka dianggap harus mencontoh kakak sekaligus menjaga adik. Situasi ini bisa membingungkan karena tidak ada pedoman yang jelas tentang apa yang diinginkan.
Harapan yang tinggi tetapi tidak diiringi dengan dukungan emosional dapat menimbulkan tekanan bagi anak kedua. Mereka merasa dituntut untuk sempurna, tetapi tanpa arahan yang jelas. Hal ini sering membuat anak kedua merasa kurang percaya diri.
Namun, bagi sebagian anak kedua, tekanan ini justru menjadi dorongan untuk membuktikan kemampuan mereka. Mereka belajar mengatasi ekspektasi dengan cara mereka sendiri, bahkan menciptakan jalan hidup yang berbeda dari apa yang diharapkan.
4. Identitas yang sering dibandingkan dengan kakak atau adik

Anak kedua kerap berada dalam bayang-bayang kakak atau adik mereka. Jika kakak berprestasi di sekolah, orang tua cenderung berharap anak kedua memiliki kemampuan yang sama. Sebaliknya, jika adik memiliki sifat manis dan penurut, anak kedua mungkin dianggap kurang ideal jika bersikap lebih mandiri.
Perbandingan ini bisa memengaruhi perkembangan kepribadian anak kedua. Mereka mungkin merasa kehilangan identitas karena selalu dibandingkan dengan saudara lain. Akibatnya, anak kedua sering kali mencari cara untuk menonjolkan keunikan mereka.
Namun, pengalaman ini juga membuat anak kedua lebih tangguh. Mereka belajar untuk menerima diri apa adanya dan fokus pada kekuatan pribadi, bukan pada apa yang diinginkan orang lain.
Menjadi anak kedua memang tidak mudah, tetapi juga penuh pembelajaran. Posisi ini mengajarkan banyak hal tentang kemandirian, kreativitas, dan empati. Semua pengalaman ini menjadi bagian dari perjalanan hidup yang membentuk mereka menjadi sosok yang istimewa.