Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi bermain puzzle dengan anak (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Merapikan mainan setelah bermain anak

  • Memperkenalkan konsep kerja keras yang berbuah hasil

  • Menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ringan

Resiliensi atau daya lenting bukan cuma kemampuan bertahan saat menghadapi kesulitan, tapi juga kemampuan untuk bangkit, belajar, dan tumbuh dari pengalaman sulit. Banyak orang tua mengira resiliensi harus diajarkan lewat pelatihan khusus atau kegiatan ekstrakurikuler yang terstruktur. Padahal, anak bisa mengembangkan daya lenting ini dari aktivitas sederhana yang dilakukan setiap hari, bahkan tanpa mereka sadari.

Aktivitas harian yang tampak biasa ternyata menyimpan potensi besar untuk membentuk karakter tangguh. Kuncinya terletak pada konsistensi, keterlibatan emosional, dan ruang untuk belajar dari kegagalan. Anak-anak yang terbiasa mengalami proses, mencoba ulang, dan merasakan konsekuensi dari tindakannya akan jauh lebih siap menghadapi tekanan di masa depan. Berikut lima aktivitas sehari-hari yang diam-diam melatih resiliensi anak.

1. Merapikan mainan setelah bermain

ilustrasi anak merapikan mainan (freepik.com/freepik)

Tugas sederhana seperti merapikan mainan ternyata punya efek besar dalam membentuk rasa tanggung jawab dan konsistensi. Saat anak diminta merapikan mainan sendiri, mereka belajar menyelesaikan sesuatu dari awal hingga akhir. Proses ini melatih ketekunan meski dalam skala kecil, sekaligus mengajarkan pentingnya menjaga keteraturan. Anak juga belajar menerima konsekuensi bila lalai, misalnya kehilangan mainan favorit karena disimpan sembarangan.

Selain itu, kegiatan ini memperkenalkan konsep kerja keras yang berbuah hasil. Mereka menyadari bahwa ruang yang rapi membuat suasana lebih nyaman dan mainan lebih mudah ditemukan. Anak-anak juga akan lebih menghargai usaha yang telah dilakukan untuk menjaga lingkungan tetap teratur. Tanpa disadari, mereka sedang belajar menghadapi tanggung jawab kecil sebelum siap menangani tanggung jawab yang lebih besar.

2. Menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ringan

ilustrasi merapikan tempat tidur dengan anak (freepik.com/freepik)

Pekerjaan rumah seperti menyapu atau menyiram tanaman bisa melatih ketekunan dan ketahanan mental anak. Mereka belajar bahwa sesuatu gak selalu menyenangkan, tapi tetap harus dilakukan. Saat anak menyelesaikan tugas meskipun sedang gak mood, itu berarti mereka sedang membentuk kemampuan mengatur emosi. Dalam jangka panjang, kemampuan ini sangat berguna untuk menghadapi tekanan kehidupan nyata.

Selain itu, pekerjaan rumah tangga memperkenalkan ritme harian yang stabil. Anak jadi terbiasa dengan rutinitas dan disiplin waktu, dua hal yang penting untuk mengembangkan ketangguhan. Mereka juga belajar bekerja sama, terutama kalau pekerjaan rumah dilakukan bersama anggota keluarga lain. Aktivitas ini mengasah kemampuan sosial dan komunikasi yang mendukung ketahanan psikologis anak.

3. Bermain permainan yang melibatkan tantangan

ilustrasi bermain puzzle dengan anak (freepik.com/freepik)

Permainan seperti puzzle, permainan strategi, atau permainan papan mengajarkan anak untuk berpikir kritis dan menyusun strategi. Saat menghadapi kekalahan atau kesulitan, mereka belajar menerima kegagalan sebagai bagian dari proses. Aktivitas ini mengajarkan bahwa hasil gak selalu sesuai harapan, tapi usaha dan proses tetap penting. Permainan juga memberi kesempatan untuk bangkit setelah gagal, yang merupakan inti dari resiliensi.

Selain itu, saat bermain dengan teman atau keluarga, anak belajar mengenali dan mengelola emosinya. Mereka belajar bagaimana menanggapi kekalahan tanpa marah berlebihan atau merasa rendah diri. Anak juga mulai terbiasa menghadapi konflik kecil dan menyelesaikannya secara sehat. Semua itu menjadi pondasi kuat dalam membentuk pribadi yang tahan banting dan terbuka terhadap tantangan.

4. Menghadapi antrian atau menunggu giliran

ilustrasi anak menunggu makanan (freepik.com/freepik)

Menunggu bukan hal yang mudah bagi anak-anak, tapi justru di situlah daya lenting terbentuk. Saat diminta menunggu giliran main, giliran bicara, atau bahkan menunggu makanan datang di restoran, anak sedang belajar mengelola emosi dan kesabaran. Aktivitas ini melatih mereka untuk menerima kenyataan bahwa gak semua hal bisa didapatkan secara instan. Menunda kepuasan adalah pelajaran penting dalam hidup yang gak semua orang dewasa pun mampu kuasai.

Lebih dari sekadar menunggu, anak belajar membaca situasi dan memahami hak orang lain. Mereka jadi terbiasa menghargai proses dan gak egois dalam interaksi sosial. Kegiatan ini membantu anak memahami bahwa dunia gak selalu berputar di sekitarnya, dan bahwa ada nilai dalam berbagi dan menahan diri. Dari hal kecil seperti ini, tumbuh karakter yang tahan uji dan empatik.

5. Membuat keputusan sendiri dalam hal sederhana

ilustrasi anak berpikir (freepik.com/jcomp)

Memberikan ruang bagi anak untuk membuat keputusan, seperti memilih baju sendiri atau menentukan menu sarapan, adalah cara melatih kemandirian. Mereka belajar mempertanggungjawabkan pilihan mereka, meskipun hasilnya gak selalu menyenangkan. Saat pilihan mereka ternyata membuat tidak nyaman, seperti memakai baju yang kepanasan, anak belajar dari pengalaman tersebut. Proses ini melatih mereka untuk berpikir ke depan dan gak hanya fokus pada keinginan sesaat.

Selain itu, membuat keputusan sendiri juga membangun rasa percaya diri. Anak yang terbiasa mengambil keputusan sejak kecil akan lebih siap menghadapi pilihan sulit di masa remaja dan dewasa. Mereka juga lebih tahan terhadap tekanan sosial karena terbiasa dengan pertimbangan dan evaluasi. Dari keputusan kecil hari ini, lahir pribadi yang lebih tangguh dan reflektif di kemudian hari.

Melatih resiliensi anak gak harus lewat metode yang kaku atau rumit. Justru lewat aktivitas sederhana yang dilakukan setiap hari, anak bisa tumbuh jadi pribadi yang kuat secara emosional. Hal terpenting adalah memberikan ruang belajar dari proses dan bukan hanya hasil. Dengan konsistensi dan dukungan emosional, anak-anak akan terbiasa menghadapi tantangan dengan kepala tegak.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team