Pelajar Sampoerna Academy dengan salah satu jenis permainan (dok.Samperna Academy)
Dalam praktiknya, perjalanan akademik anak tidak selalu berjalan mulus. Setiap fase perkembangan menghadirkan tantangan yang berbeda, mulai dari perubahan emosional, dinamika sosial, hingga tekanan akademik yang dapat memengaruhi motivasi dan performa belajar.
Psikolog Pendidikan Cynthia Vivian Purwanto, M.Psi, menjelaskan bahwa kebutuhan pendampingan anak harus disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Menurutnya, sejak usia dini hingga remaja, anak menghadapi tantangan yang unik dan membutuhkan pendekatan yang berbeda dari orang tua maupun sekolah.
Fase Balita atau Taman Kanak-Kanak (TK)
Pada tahap awal ini, anak membangun fondasi kebiasaan belajar seumur hidup, mencakup perkembangan motorik, bahasa, kognitif, serta pengelolaan diri dan emosi. Kematangan pengelolaan diri akan membantu anak memahami pelajaran dan beradaptasi dengan lingkungan belajar.
Fase Anak-anak atau Sekolah Dasar (SD)
Memasuki SD, tuntutan akademik meningkat dan anak mulai membandingkan kemampuannya dengan teman sebaya. Hal ini memengaruhi keterlibatan di kelas, ketekunan dalam menghadapi kesulitan, serta kepercayaan diri akademik.
Fase Remaja Awal atau Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Pada fase ini, tantangan semakin kompleks. Anak menghadapi perubahan hormonal, tuntutan akademik yang lebih tinggi, dinamika relasi sosial, hingga pencarian identitas diri yang dapat memengaruhi motivasi belajar.
Fase Remaja Akhir atau Sekolah Menengah Atas (SMA)
Tahap ini menjadi periode penentuan masa depan. Anak yang memahami minat, potensi, dan tujuan jangka panjangnya cenderung lebih matang dalam mengambil keputusan dan memiliki motivasi belajar yang lebih kuat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Cynthia menegaskan, jika tantangan-tantangan tersebut tidak ditangani secara tepat, dampaknya bisa meluas hingga menurunnya motivasi belajar, prestasi akademik yang kurang optimal, bahkan gangguan kesehatan mental. “Kolaborasi orang tua dan sekolah memerlukan sinergi nyata, di mana kedua pihak perlu saling mendengarkan dan bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan akademik anak secara positif. Dengan demikian, anak dapat mengembangkan kebiasaan belajar yang sehat, resiliensi diri, motivasi intrinsik, rasa percaya diri, kemampuan sosial adaptif, dan kesehatan mental yang baik untuk menghadapi tantangan hidup, baik pendidikan lanjutan maupun dunia kerja ketika beranjak dewasa,” jelasnya.