Jembatan Trikora Batangtoru tahun 1915 sudah dibuat beratap (Dok commons.wikimedia.org)
Jika ekspedisi Junghuhn masuk dari teluk Tapanuli di Sibolga menuju Tapanuli Selatan, maka Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan justru datang dari arah Natal tahun 1833.
Pada waktu itu di Tapanuli masih suasana Perang Paderi (1825-1838). Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan untuk menyatakan keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam Bonjol di daerah Pasaman.
Setahun kemudian, Belanda memulai pemerintahan sipil di Tapanuli yang dipimpin Asistent Resident berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis.
Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri dari berbagai luhat--dimana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri secara otonom dan belum pernah berada dibawah pengaruh siapapun.
Luhat-luhat yang dimaksud adalah Sipirok, Angkola, Marancar, Padang Bolak, Barumun, Mandailing, Batang Natal, Natal, Sipiongot dan Pakantan. Kemudian pada tahun 1884 Tapanuli ditingkatkan menjadi keresidenan dan mengangkat seorang Resident di Padang Sidempuan.
Pada tahap selanjutnya ibukota Tapanuli dipindahkan dari Padang Sidempuan ke Sibolga tahun 1906 sehubungan dengan kebijakan pemerintahan Belanda membagi wilayah Tapanuli menjadi tiga afdeeling, yaitu: Padang Sidempuan, Sibolga dan Tarutung. Setiap afdeeling dipecah menjadi onderafdeling.
Jembatan yang dulu terbuat dari rotan/kabel kawat telegraf kemudian dibangun jembatan besi yang lebih permanen. Dalam perkembangannya jembatan ini kemudian ditingkatkan mutunya dengan jembatan yang lebih kuat yang pengerjaannya dilakukan pada tahun 1915. Jembatan baru ini dibuat beratap. Jembatan beratap semacam ini di Eropa dan Amerika biasanya dibangun pada abad ke-19.