Peta letak terusan Riau (Tanjung Pinang) (Istimewa)
Rendra Setyadiharja, yang merupakan pengurus Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau (LAMKR) Kota Tanjung Pinang dan Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Raja Haji telah berhasil membedah Tuhfat al - Nafis (penyerahan berharga) dari tiga manuskrip.
Manuskrip yang pertama adalah Tuhfat al - Nafis koleksi KITLV Or. 69, dilanjutkan dengan manuskrip Tuhfat al - Nafis koleksi Royal Asiatic Society 'Maxwell 2', dan terakhir manuskrip Tuhfat al - Nafis edisi Winstedt yang terbit di JMBRAS 1932.
Hasil pembedahan manuskrip Tuhfat al - Nafis itu dituangkan ke dalam buku berjudul 'Perang Riau dalam Tuhfat al - Nafis'. Buku ini dirangkai bersama dua rekan penulisnya, Priyo Joko Purnomo dan Yoan Sutrisna Nugraha.
Ditemui di Kota Tanjung Pinang, 17 Juli 2024, Rendra menyampaikan sejumlah peristiwa yang diketahuinya dari tiga manuskrip Tuhfat al - Nafis ini. Salah satunya terkait pemicu pecahnya perang Kerajaan Riau Lingga pertama melawan Belanda di tahun 1782-1784.
"Memang saat itu pemicu terjadinya perang pertama tersebut adalah Candu (Opium). Namun, sebelum hari besar itu terjadi, jauh sebelumnya telah terdapat beberapa permasalahan lainnya antara Kerajaan Riau Lingga dengan Belanda," kata Rendra.
Dimulainya, terdapat upaya untuk menjalin hubungan baik antara Belanda (Holanda) dan Riau pada tahun 1780-1781. Namun, Belanda kembali mendesak Riau untuk mematuhi perjanjian yang pernah di buat, sebelum Raja Haji Fi Sabilillah menjadi Yang Dipertuan Muda, yaitu Perjanjian 'Port Filipina Linggi' pada 1 Januari 1758.
Perjanjian ini, yang dikenal sebagai perjanjian persahabatan, perdamaian, dan teman serikat, ditandatangani oleh Daeng Kamboja atas nama Riau, Raja Tua atas nama Klang, dan Raja Adil atas nama Rembau dengan Belanda.
Sebagaimana dijelaskan oleh Natscher (1870) dan Winstedt (1982), perjanjian ini dibuat pada akhir perang Linggi karena Daeng Kamboja dan sekutunya kalah melawan Belanda.
Rendra menjelaskan, selanjutnya Raja Haji Fi Sabilillah mengirimkan utusan dengan membawa surat kepada Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn. Dalam surat itu Raja Haji memperkenalkan diri sebagai raja muda di Kerajaan Riau Lingga, dan menegaskan akan menaati segala perjanjian yang telah dilakukan oleh pendahulu.
"Saat itu Raja Haji Fi Sabilillah juga memohon untuk diberikan kebebasan dalam berdagang bagi utusannya. Hal itu disetujui Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn, pada 10 Juni 1782," lanjut Rendra.
Selanjutnya pada awal abad ke-18, situasi global sangat kacau dengan pecahnya peperangan di Eropa, yang melibatkan Belanda dan Inggris. Perairan Hindia Belanda (Indonesia) juga tidak terlepas dari kekacauan ini, dengan kapal-kapal Prancis yang merompak kapal-kapal Inggris.
Dominasi pergerakan armada Prancis pada masa itu membawa kapal Prancis, La Sainte Therese yang dipimpin oleh Kapten Mathurin Barbaron kepada Gubernur VOC Belanda di Malaka, Pieter Gerardus de Bruijn.
"Saat itu Prancis meminta agar Pieter Gerardus de Bruijn membantu perlawanan Prancis terhadap kapal-kapal perdagangan Inggris yang saat itu sering berlalu-lalang dari India menuju China membawa muatan Candu (Opium). Karena melalui kawasan Kerajaan Riau Lingga, maka disepakati setengah hasil rampasan turut menjadi bagian dari Kerajaan Riau Lingga," ujar Rendra.
16 Februari 1782, kapal Prancis, La Sainte Therese, yang dipimpin oleh Kapten Mathurin Barbaron menawan kapal Inggris Betsy yang bermuatan Opium di Teluk Riau (Teluk perairan Kota Tanjung Pinang).
"Kapal ini bermuatan 1.154 peti Candu (Opium) dari India yang akan menuju Cina, ini merupakan hasil tangkapan terbesar pada masa itu. Sebelum dibawa ke Malaka, Kapten Mathurin Barbaron mendapati persetujuan membawa hasil rampasan tersebut dari masyarakat lokal yang mengatasnamakan Raja Haji, saat ini kita sebut orang tersebut dengan istilah calo, dan rupanya orang tersebut memberikan pernyataan palsu dan tidak diketahui oleh Raja Haji Fi Sabilillah," lanjut Rendra.
Mendengar kabar kapal bermuatan penuh opium tersebut telah bergeser menuju Malaka, hal itu membuat Raja Haji Fi Sabilillah menjadi murka, mengingat Kerajaan Riau Lingga tidak mendapati bagian hasil rampasan, seperti yang telah disepakati sebelumnya.
"Hal itu memicu kemurkaan Raja Haji. Pada saat itu Raja Haji Fi Sabilillah menyurati Gubernur VOC Belanda di Malaka dan menentang perampasan atas kapal Betsy, tetapi tidak ditanggapi. Selanjutnya atas kemurkaan itu, Raja Haji Fi Sabilillah merobek surat perjanjian persahabatan, perdamaian, dan teman serikat antara Kerajaan Riau Lingga dengan Belanda. Kabar kemurkaan Raja Haji Fi Sabilillah ini sampai hingga ke telinga Gubernur VOC Belanda di Malaka," lanjutnya.
Tidak berhenti di situ, kemurkaan Raja Haji Fi Sabilillah juga sampai di telinga seantero Malaka. Seiring berjalannya waktu, cerita kemurkaan ini menjadi tebar-tebar fitnah rencana penyerangan Kerajaan Riau kepada Malaka. Fitnah ini akhirnya tersiar luas dan diketahui Gubernur VOC Belanda di Malaka.
"Raja Haji mau pukul Malaka, maka kita pukul dahulu," kata Rendra menirukan perkataan Pieter Gerardus de Bruijn.