Tengku Amir Hamzah (Dok. IDN Times)
Selama di Solo (Surakarta), Amir Hamzah bergabung dengan gerakan nasionalis. Disana ia bertemu dengan sesama perantauan asal Sumatera untuk mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Pada tahun 1930, Amir Hamzah dipercaya untuk menjadi kepala cabang Indonesia Muda di Surakarta.
Ketika Amir Hamzah kembali ke Batavia pada tahun 1932 untuk melanjutkan sekolah Hakim Tinggi, ia pun mulai menulis dua puisi pertamanya yang berjudul “Soenji” dan “Maboek”. Kedua puisinya tersebut diterbitkan di Majalan Timboel.
Masih di tahun yang sama, delapan karya lainnya juga dipublikasikan, termasuk sebuah syair yang ternama hingga saat ini berjudul “Hikayat Hang Tuah”.
Pada bulan September 1932, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, Armiyn Pane mengajak Amir untuk membantu mendirikan majalah sastra independen. Setelah melakukan berbagai persiapan selama beberapa bulan, akhirnya pada Juli 1933, edisi awal majalah Sastra yang berjudul “Poedjangga Baroe” berhasil diterbitkan.
Sepeninggal ayahnya, studi Amir Hamzah ditopang oleh Sultan Langkat dengan syarat Amir tetap menjadi siswa yang rajin serta meninggalkan gerakan kemerdekaan. Namun, pada kenyataannya Amir Hamzah justru semakin terlibat pada gerakan nasionalis yang membuatnya semakin diawasi dengan ketat oleh pemerintah kolonial.
Meski demikian, Amir Hamzah terus menerbitkan karya-karyanya melalui majalah Poedjangga Baroe, termasuk diantaranya artikel tentang sastra timur dan terjemahan Bhagawad Gita.
Belanda yang khawatir akan sikap nasionalistik Amir Hamzah berhasil meyakinkan Sultan Langkat untuk memanggil kembali Amir Hamzah ke Langkat dan menikahkannya dengan putrinya. Setelah menikah dan menjadi Pangeran Langkat, Amir Hamzah lebih banyak menangani masalah administrasi dan hukum.
Amir juga tetap melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa. Demikian pula karya-karyanya tetap diterbitkan di Majalan Poedjangga Baroe.
Pada tahun 1940, Belanda yang mempersiapkan kemungkinan invasi Jepang membentuk divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen diberi tanggung jawab atas angkatan garda tersebut.
Pada awal tahun 1942, Jepang yang mulai menginvasi sehingga Amir Hamzah diutus menjadi salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Amir Hamzah kemudian tertangkap dan dijadikan tawanan perang sampai tahun 1943. Setelah dibebaskan dari tahanan, Amir Hamzah dalam posisinya sebagai pangeran, mendapat tugas untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.
Dalam dunia kesastraan Indonesia, Amir Hamzah menjadi salah seorang sastrawan yang sangat penting. Melalui tangannya, lahir puisi-puisi yang indah dan menarik dengan rangkaian kata yang khas Melayu.
Dalam bukunya Kesusastraan Indonesia (1975), Nursinah Supardo mengatakan bahwa Amir Hamzah berbeda dengan tokoh-tokoh Pujangga Baru lainnya. Alih-alih mencontoh ke Barat untuk memodernkan kesusastraan Indonesia, ia justru membongkar pustaka lama kesusastraan Melayu lama.
Kuatnya basis pendidikan Islam yang didapatnya dari keluarganya, membuat ia juga menjadi seorang seorang penyair Islam seperti Aoh K. Hadimaja, Bangrum Rangkuti dan lain-lainnya.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, dibentuklah pemerintahan baru termasuk di Sumatera. Pada tanggal 29 Oktober 1945. Teuku Muhammad Hasan yang kala itu diangkat menjadi gubernur Sumatera menunjuk Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI di Langkat dan berkantor di Binjai.