Dokumentasi surat kabar asing tentang masuknya tentara Jepang ke Pulau Rempang (Dok:Istimewa)
Sejarah kerap berulang, kadang dengan cara yang lebih kejam. Bobi Bani, seorang warga asli Pulau Rempang menemukan potongan-potongan kisah lama dalam arsip di surat kabar asing. Dari lembaran tua itu, ia mengungkap kisah pahit yang nyaris terlupakan, eksodus paksa warga Melayu dan Tionghoa Rempang—akibat kedatangan tentara Jepang yang menunggu kepulangan mereka ke negeri asal.
Oktober 1945, Pulau Rempang bukan lagi milik warganya. Sekitar 400 warga Melayu dan 600 warga Tionghoa dipaksa meninggalkan rumah-rumah mereka. Mereka diungsikan ke Pulau Kepala Jeri, yang kini berada dalam administrasi Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Batam.
Tentara Inggris mengumumkan bahwa Pulau Rempang harus dikosongkan dalam empat hari. Alasannya? Pulau itu akan menjadi tempat penampungan sementara bagi ribuan serdadu Jepang sebelum mereka dipulangkan ke negaranya.
Beck Swee Hoon, seorang wartawan The Straits Times, menulis dalam laporannya pada 7 Oktober 1946 bahwa ia ditugaskan menyebarkan informasi ini ke berbagai kampung—Sungai Raya, Selat Tiong, Dapor Anam, Goba, Sembulang, Pasir Panjang, Rempang, Monggak, Seranggong, dan Telok Dalam. Warga dijanjikan kompensasi berupa makanan, obat-obatan, serta pembayaran atas ternak dan kebun yang mereka tinggalkan.
"Tapi bagaimana mungkin hati tidak hancur?" tulis Beck. Warga dipaksa meninggalkan tanah yang telah mereka diami selama berabad-abad.
Pada 8 Oktober 1945, mereka diangkut dengan kapal cepat ke Pulau Kepala Jeri. Sesampainya di sana, mereka diberikan pil malaria dan layanan kesehatan. Setiap bulan, mereka menerima kompensasi dari Inggris. Mereka dijanjikan bahwa ini hanya sementara—hingga seluruh tentara Jepang dipulangkan.
Surat kabar Indian Daily Mail, terbit 18 Februari 1946, mencatat bahwa warga dari 18 kampung di Rempang berhak menerima kompensasi. Kampung-kampung itu termasuk Seranggong, Tioeng, Goba, Sembulang, Rempang, hingga Sungai Atih dan Klingking.
Namun, janji sementara itu tidak bisa menghapus trauma. Pulau Rempang tidak lagi sama setelah mereka kembali. Dan kini, lebih dari 80 tahun kemudian, sejarah kembali mengetuk pintu rumah warga Rempang.
Kini, bukan tentara Inggris yang mengusir mereka, melainkan pemerintahnya sendiri. Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City mengancam keberadaan kampung-kampung tua Melayu yang telah berdiri sejak ratusan tahun lalu.
Pemerintah berjanji akan merelokasi warga dengan imbalan rumah dan kompensasi. Namun bagi masyarakat Rempang, ini bukan sekadar soal rumah—melainkan tentang akar dan identitas yang tidak bisa dibeli dengan angka.