ilustrasi sekolah (freepik.com/Gpointstudio)
Highlands School Kabanjahe berlokasi tak jauh dari kantor pos dan gereja. Di dekatnya juga ada berdiri hotel, sehingga orang tua yang datang mengunjungi anaknya tak khawatir mencari penginapan. Sekolah ini berdiri di atas lahan seluas 15 acre (enam hektare).
Highlands School murid-muridnya adalah bahagian besar dari keluarga Inggris di Sumatra dan Jawa. Sebagian besar lagi datang dari Malaka, Bangkok, Rangoon.
Tapi tidak hanya anak-anak Inggris yang pergi ke Highlands School. Ada juga orang Amerika, anak-anak yang orang tuanya berasal dari Skandinavia. Ada juga anak-anak Swiss di sekolah ini dan anak-anak Belanda ikut di sekolah ini hingga diperlukan membuat penunjukan seorang guru Belanda.
Highlands School ini sangat unik di seantero Hindia Belanda. Sekolah ini kian dikenal di seluruh “Timur Jauh,” di mana orang tua Inggris yang bekerja, bisa mengirim anak-anak mereka ke pantai timur Sumatra untuk bersekolah. Kemudian, mereka dapat pulang kembali ke tempat orang tuanya 2 kali setahun : pada libur dari 15 Desember – 15 Januari dan pada libur dari 15 Juni – 15 Juli. Mereka pulang ke rumah, sebagian besar dengan pesawat terbang, dan sebagian kecil dengan kapal laut.
Aktivitas kegiatan harian di Highlands School Kabanjahe ini berakhir di penghujung Desember 1941. Tak ada lagi siswa-siswinya yang kerap terlihat berolah raga seperti menunggang kuda di akhir pekan. Kegiatan di sekolah ini berakhir dengan pecahnya Perang Dunia II yang diawali Perang Pasifik pada 7 Desember 1941.
Eron Damanik juga mengatakan ada 2 sekolah yang terkenal, satunya di daerah Gundaling, tepatnya di Jalan Lau Gumba, Sempajaya, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo.
“Sekolah itu dulu dibakar tahun 1947, karena itu dijadikan markas tentara Jepang saat itu dan itu ketika revolusi pasca kemerdekaan di Karo. Di situ dijadikan markas dan sekutu. Tapi 2 sekolah ini melegenda. Karena di Sumut sampai tahun 1946 hanya di Karo,” jelasnya.
Kedua sekolah internasional ini dikategorikan untuk Sekolah Dasar atau Primary School.
Menurutnya, para Pribumi tidak ada yang sekolah disitu, sebab didominasi dengan bahasa Inggris.