Gen Z di Medan Jadikan Pelajaran Psikoanalisis sebagai Jurus Berhemat

Medan, IDN Times - Banyak cara yang dilakukan Gen Z untuk dapat hidup hemat (frugal living). Mulai dari menyusun skala prioritas, memangkas kebutuhan, sampai mengurangi interaksi dengan circle pertemanan yang "banyak borosnya".
Namun bagi Clarissa Turnip (21) selaku mahasiswa yang duduk di bangku semester 8 ini, berdinamika dengan psikologi menjadi hal fundamental untuk dapat berhemat. Salah satunya bagaimana dirinya menerapkan psikoanalisis Sigmund Freud dalam kehidupan sehari-hari.
Studi ilmu psikoanalisis ala Sigmund Freud memang kurang populer bagi sebagian Gen Z. Namun pertengkaran batin lewat id, ego, dan superego menjadi solusi frugal living yang diterapkan Clarissa sehari-hari.
1. Agar dapat berhemat, Gen Z lakoni banyak pekerjaan yang sifatnya freelance sambil berkuliah
Clarissa adalah mahasiswa semester 8 di salah satu universitas negeri yang ada di Kota Medan. Sebagai mahasiswa yang rumahnya sangat jauh dari kampus, membuatnya harus dapat memanajemen pengeluaran sebijak mungkin.
Frugal living baginya bukan sekadar tren, namun kewajiban. Sebagai mahasiswa yang tidak diongkosi beasiswa bidikmisi, membuatnya berkomitmen untuk senantiasa berhemat dalam kondisi apapun. Sehingga tak ayal ia memutuskan bekerja di samping jadwal kuliah yang luar biasa padat untuk bisa membayar tagihan akademik tiap semesternya.
"Di samping saya berkuliah, saya juga bekerja part time sebagai waiters, freelance fotografer, internship editor dan desain grafis, guru di SD, sampai penari," aku Clarissa.
Dari bekerja part time sebagai waiters, ia biasa mendapat upah Rp85 ribu perhari. Biasanya Clarissa bekerja saat ada hari atau event besar. Ia mengaku total bisa mendapatkan upah Rp300 ribu sampai Rp600 ribu.
Sama halnya dengan freelance fotografer yang juga ia lakoni, Clarissa meraup untung lumayan besar saat ada event wisuda yang diselenggarakan kampusnya. Dari bidikan kameranya, ia bisa mendapat laba sekitar Rp350 ribu dari tiap pelanggan yang menyewa jasanya.
"Beda halnya internship editor dan jasa desain grafis yang saya lakoni. Ini selalu jalan minimal sebulan bisa dapat Rp400 ribu. Begitu juga kerjaan saya sebagai guru SD yang dapat gaji tiap bulan," ungkapnya.
Bagi Clarissa, meskipun ia bekerja, namun usaha untuk berhemat harus ditekadkan bulat-bulat. Ia punya prinsip meskipun dapat banyak pekerjaan namun gaya hidup jangan ikut ditingkatkan.
"Uang hasil job dipakai untuk biaya kuliah atau kebutuhan kaya beli beras, minyak, lauk pauk, obat, serta kebutuhan sehari-hari seperti kuota, ongkos, dan makan. Uangnya juga digunakan untuk kebutuhan lain seperti servis sepeda motor," tutur perempuan kelahiran tahun 2003 ini.
2. Salah satu jurus hemat Clarissa adalah bijak memahami pergolakan batin lewat pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud
Meskipun sudah mendapatkan uang sendiri, namun berhemat merupakan hal yang dianggap Clarissa harus dilakukan. Selain bisa memenuhi kebutuhan yang dianggap penting, dengan cara itu juga dirinya menjadi bisa menabung.
Clarissa tak urung menjelaskan bahwa dalam berhemat, tak jarang ia melewati proses pertengkaran batin. Terlebih tidak sedikit Gen Z dengan tren dan gaya hidupnya berpotensi mengeluarkan banyak uang untuk hal yang tidak perlu.
Clarissa mengaku salah satu jurus frugal living yang sering ia lakukan adalah dapat memahami psikoanalisis. Di mana dalam praktiknya, kehadiran id, ego, dan superego harus dipertimbangkan dengan matang sebelum ia mengambil keputusan.
"Saya kepincut setelah membaca tentang psikoanalisis Sigmund Freud terkait id, ego, dan superego. Secara sederhana, id adalah keinginan dasar manusia yang sifatnya itu masih mentah. Sementara ego adalah tindakan dari manusia yang menuntunnya pada hal-hal yang realistis, untuk mempertimbangkan apakah id itu baik untuk diwujudkan atau tidak berdasarkan keadaannya. Sementara superego berkaitan dengan moral dan etik," jelas Clarissa.
Ia memberi contoh penerapan id, ego, dan superego dalam proses menghemat. Clarissa mengaku sering punya id atau keinginan dasar seperti membeli sepatu kekinian. Namun ego hadir sebagai prinsip yang mengantarnya ke hal yang realistis.
Ego Clarissa sering menentang id-nya karena ia takut tidak bisa membayar uang kuliah dan tidak bisa makan hanya karena membeli sepatu kekinian. Clarissa takut hal itu terjadi hanya karena kebutuhan mentah saja (id).
Sementara superego disebut Clarissa hadir dan cenderung mendukung ego. Superego yang berkaitan dengan moral dan etik, mengingatkannya pada pesan ibunya yang meminta Clarissa berhemat, karena mereka juga bukanlah golongan masyarakat kaya.
Alhasil karena memahami prinsip id, ego, dan superego, Clarissa bisa menahan diri untuk berperilaku frugal living. Terlebih dalam mengambil keputusan, ia tidak gelap mata mengikuti id-nya.
"Termasuk dengan lingkungan pertemanan. Karena lingkungan pertemanan bagi saya sangat berpengaruh ke gaya hidup. Carilah lingkungan pertemanan yang bisa support kita. Jangan sungkan untuk cut off teman kalau kita sudah merasa tidak sejalan. Jangan mengikuti gaya hidup orang dan be yourself," tutur Clarissa.
3. Gaya hidup yang tinggi dianggap membuat siapapun menjadi boros
Tak dapat dipungkiri oleh Clarissa bahwa di dunia yang serba digital ini banyak menimbulkan perilaku negatif Gen Z. Salah satunya yang biasa disebut dengan "standard medsos".
"Saya rasa banyak anak muda yang jadi gengsian akibat sering main medsos (media sosial). Dia jadi melihat seseorang semakin iri atas semua pencapaian dan hal-hal yang dimiliki. Termasuk dalam hal ini standard medsos bisa membuat kita sok menaikkan gaya hidup dan jadi boros. Makanya saya sekarang mencoba tidak menjadikan sosial media sebagai patokan dan tidak terlalu bergantung penuh terhadapnya," ujar Clarissa.
Perilaku konsumtif dalam praktiknya sering membuat Gen Z menjadi gelap mata. Banyak hal yang sedang tren dan dianggap "gaul banget" alih-alih membuat Gen Z menjadi lepas kendali mengelola kebutuhan dan keuangannya.
"Kalau saya jarang ke Coffeeshop karena mikir harga kopi itu sama dengan harga makanan. Jadi mendingan langsung makan yang berat daripada harus nongkrong. Untuk makanan juga selagi kita bisa masak sendiri itu lebih bagus karena lebih sehat, kenyang, dan hemat. Saya juga selalu catat pengeluaran dan pemasukan berapa pun itu bahkan sampai biaya parkir. Jadi saya bisa evaluasi pengeluaran selama sebulan. Dalam proses ini saya turut mengurangi kegiatan di luar atau hangout bareng teman," pungkasnya.