Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

5 Alasan Banyak Murid Sekolah Tidak Terbuka dengan Gurunya

murid sekolah (pixabay.com/ Surprising_SnapShots)

Dalam sistem pendidikan, idealnya ada hubungan yang sehat antara murid dan guru, di mana keduanya bisa saling berkomunikasi dan terbuka. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian.

Banyak murid merasa enggan untuk terbuka kepada gurunya tentang masalah pribadi, akademik, atau bahkan perasaan mereka terhadap pelajaran di sekolah.

Salah satu penyebab utama bisa jadi karena adanya pola hubungan yang masih terkesan feodal, di mana guru dilihat sebagai otoritas yang tak bisa dilawan atau dipertanyakan. Akibatnya, murid merasa takut atau enggan berbicara jujur dan terbuka. Berikut adalah lima alasan mengapa banyak murid sekolah tidak terbuka dengan gurunya.

1. Takut mendapat hukuman atau penilaian negatif

ilustrasi guru (pexels.com/fauxels)

Salah satu alasan utama mengapa murid enggan terbuka kepada gurunya adalah karena mereka takut dihukum atau diberi penilaian negatif. Sistem pendidikan yang masih menerapkan pendekatan otoriter atau feodal sering kali membuat murid merasa bahwa setiap kesalahan akan berujung pada hukuman fisik atau psikologis.

Misalnya, ketika murid gagal dalam ujian atau tidak memahami pelajaran, mereka lebih memilih untuk diam daripada mengakui ketidaktahuan mereka karena khawatir dianggap tidak kompeten atau bahkan dihukum. Sikap ini menghambat komunikasi yang sehat antara murid dan guru, sehingga masalah yang seharusnya bisa diselesaikan bersama malah terabaikan.

 

2. Adanya hierarki yang kaku dan formal

ilustrasi guru (pexels.com/fauxels)

Di beberapa sekolah, hubungan antara guru dan murid masih terkesan sangat formal dan hierarkis. Guru dilihat sebagai sosok yang jauh lebih berkuasa dan sulit didekati. Hal ini menyebabkan murid merasa canggung untuk berbicara dengan gurunya secara langsung, apalagi untuk membahas masalah-masalah pribadi atau akademik yang lebih mendalam.

Sistem yang feodal ini menciptakan jarak emosional yang sulit ditembus oleh murid, terutama bagi mereka yang masih muda dan membutuhkan bimbingan. Alhasil, murid lebih memilih berbicara dengan teman sebaya atau bahkan diam saja daripada harus menghadapi formalitas yang kaku saat berhadapan dengan guru.

3. Minimnya ruang untuk berbicara secara jujur

ilustrasi murid sekolah(pexels.com/周 康)

Salah satu masalah dalam sistem pendidikan yang masih memiliki pola feodal adalah minimnya ruang bagi murid untuk berbicara jujur. Guru sering kali dianggap sebagai sosok yang "selalu benar," sehingga murid merasa pendapat atau perasaannya tidak dihargai.

Di banyak kasus, ketika murid mencoba mengemukakan pendapat yang berbeda dari gurunya, mereka justru ditanggapi dengan sikap defensif atau bahkan diremehkan.

Akibatnya, murid merasa tidak ada gunanya berbicara jujur atau mengemukakan perasaan mereka karena takut tidak didengar atau bahkan dihakimi. Lingkungan seperti ini tidak kondusif untuk menciptakan komunikasi yang terbuka antara murid dan guru.

4. Kurangnya rasa empati dari guru

ilustrasi guru (pexels.com/fauxels)

Empati adalah kunci dalam hubungan yang baik antara guru dan murid. Namun, di beberapa sekolah, masih banyak guru yang tidak menunjukkan empati terhadap perasaan dan situasi murid. Mereka cenderung fokus pada pencapaian akademik dan disiplin tanpa memedulikan kebutuhan emosional murid.

Ketika murid merasa gurunya tidak peduli dengan perasaan mereka, maka mereka juga tidak akan merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi. Guru yang kurang menunjukkan empati akan membuat murid merasa semakin terisolasi dan tidak termotivasi untuk berbagi perasaan atau kesulitan yang mereka alami.

5. Budaya malu dan takut membantah

ilustrasi guru (pexels.com/fauxels)

Budaya malu dan takut membantah yang ditanamkan sejak kecil juga menjadi faktor mengapa murid tidak terbuka kepada gurunya. Di banyak lingkungan, murid diajarkan untuk "patuh" dan "tidak membantah" kepada orang yang lebih tua, termasuk guru. Akibatnya, mereka tumbuh dengan perasaan takut untuk menyuarakan pendapat atau menunjukkan perasaan yang berbeda dari gurunya.

Rasa malu dan takut untuk berbicara terus-menerus ditanamkan, sehingga murid lebih memilih untuk diam daripada mengungkapkan perasaan atau pendapat mereka yang sebenarnya. Budaya ini semakin memperkuat sistem feodal di dalam kelas, di mana guru dilihat sebagai otoritas mutlak yang tidak boleh ditentang.

Sistem pendidikan yang masih menerapkan pendekatan feodal dan otoriter dapat menghambat komunikasi yang sehat antara guru dan murid. Ketakutan akan hukuman, hierarki yang kaku, minimnya ruang untuk berbicara jujur, kurangnya empati dari guru, serta budaya malu dan takut membantah, semuanya berkontribusi pada ketidakmampuan murid untuk terbuka kepada gurunya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
febi wahyudi
Editorfebi wahyudi
Follow Us