Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid Istiqlal

Friedrich Silaban juga mengarsiteki Monas dan Stadion GBK

Bagi warga Bogor tentu sudah familiar dengan nama Jalan F Silaban. Berada di kawasan Pabaton, Bogor Tengah, Kota Bogor.

Dulu namanya adalah Jalan Gedong Sawah. Namun sejak diresmikannya Rumah Arsitek Silaban, nama jalannya pun diubah menjadi Jalan F Silaban.

Siapa sih F Silaban ini? Kok sampai ada nama jalannya di Bogor, tetapi di Medan tidak ada? Padahal ia adalah orang Batak kelahiran Samosir (dulu Tapanuli Utara).

Berikut IDN Times menyajikan beberapa fakta seputar F Silaban yang jarang diketahui banyak orang:

1. Lahir di Bonan Dolok, Samosir dari keluarga seorang Pastor

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalFriedrich Silaban (Dokumentasi Keluarga F Silaban)

Friedrich Silaban lahir di Desa Bonan Dolok, Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Dulunya adalah Kabupaten Tapanuli Utara, namun dimekarkan menjadi Kabupaten Toba Samosir, dan dimekarkan lagi menjadi Kabupaten Samosir.

Ia lahir pada 16 Desember 1912 dari keluarga Kristen Protestan dan ayahnya seorang Pendeta. Ia adalah seorang opzichter/arsitek generasi awal di negeri Indonesia.

Semasa hidup ia menimba pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun 1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, ia kemudian bekerja menjadi pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937) dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.

Seiring perjalanan waktu, ia terkenal dengan berbagai karya besarnya di dunia arsitektur dan rancang bangun. Beberapa hasil karyanya menjadi simbol kebanggaan bagi daerah tersebut.

Berkat karyanya, Friedrich menjadi dekat dengan Presiden Soekarno. Saking dekatnya, Soekarno bahkan pernah bertamu ke rumah Friedrich di Bogor, Jawa Barat.

Baca Juga: Mengenal Mitos Tentang  Naga Padoha di Tanah Batak

2. Ikut sayembara arsitek Masjid Istiqlal pakai nama samaran

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalMasjid Istiqlal (instagram.com/wikan_d)

Membahas Masjid Istiqlal tak bisa lepas dari nama Friedrich Silaban, seorang Kristen Protestan yang dipercaya Presiden Soekarno sebagai perancang Masjid Istiqlal.

Namun demikian, kedekatan itu tak lantas memuluskan jalan Friedrich sebagai perancang desain Masjid Istiqlal. Ia ditunjuk sebagai arsitek masjid tersebut setelah memenangkan sayembara. Karya Friedrich berjudul "Ketuhanan" berhasil memenangi hati para dewan juri, termasuk Soekarno.

Dikisahkan putra Friedrich, Panogu Silaban, sebelum mengikuti sayembara, ayahnya meminta izin ke Soekarno. Dari situlah Soekarno mengusulkan agar Freidrich memakai nama samaran. "Dia (Friedrich) pernah bertanya kepada Soekarno langsung, 'Ini mau ngadain sayembara Istiqlal loh, saya ikut enggak ya?' Mereka memang dekat ya," kata Panogu dalam wawancara yang ditayangkan Singkap Kompas TV, akhir Februari 2018.

"Lalu (Soekarno menjawab), 'tapi kalau ikut harus pakai nama samaran. Kalau enggak, enggak ada yang mau milih'," tuturnya.

Menurut Panogu, ayahnya memang kerap mengikuti sayembara dengan nama samaran berupa moto.

"Setiap kali sayembara itu pakai nama-nama samaran, moto istilahnya. Pernah ada satu sayembara, (Friedrich) pakai (nama) 'Bhinneka Tunggal Ika', motonya. Juga pernah pakai 'Kemakmuran'. Lalu, untuk Istiqlal ini motonya 'Ketuhanan'," kata dia.

Setelah memenangkan sayembara dan dibangun, Istiqlal diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978. Hingga kini tempat ibadah yang berlokasi di Jakarta Pusat ini masih berdiri megah sebagai masjid terbesar di Asia Tenggara.

3. Terjadi pergolakan batin saat merancang Istiqlal

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalMasjid Istiqlal (instagram.com/alivikry)

Sebagai seorang Kristiani, Friedrich mengalami pergolakan batin ketika hendak mengikuti sayembara arsitek Masjid Istiqlal. Bagaimana tidak, Friedrich merupakan seorang Kristen Protestan, berdarah Batak. Ayahnya pendeta.

Sebelum mengikuti sayembara, Friedrich bahkan sempat berkonsultasi dengan Uskup Bogor, Monsieur Geise, perihal konflik batin ini.

Dia juga berdoa, memohon persetujuan dan bimbingan Tuhan soal niatnya mengikuti sayembara merancang sebuah masjid, rumah ibadah yang "tidak akrab" dengannya.

"Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya," ujar Poltak Silaban, putra ketiga Friedrich, menirukan doa ayahnya, melansir Historia.id.

Namun yang terjadi, Friedrich memenangi sayembara. Di tengah proses menyelesaikan gambar-gambar rancangannya, Friedrich sempat sakit. Dia harus menggunakan papan gambar yang diposisikan sedemikian rupa agar tetap bisa menggambar tanpa beranjak dari tempat tidur.

Gairah dan semangat nasionalisme Friedrich yang tinggi membuatnya mampu menjawab tantangan Soekarno. Status keagamaan rupanya tidak menjadi ganjalan Friedrich untuk terlibat dalam perancangan salah satu proyek besar bangsa.

4. Monas, GBK, hingga Kampus HKBP Nommensen Medan adalah karyanya

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalStadion Utama Gelora Bung Karno (IDN Times/Herka Yanis)

Selain Masjid Iqtiqlal, F Silaban juga mengarsiteki beberapa bangunan ikonik dan bersejarah di negeri ini. Di antaranya: Rumah Dinas Wali kota - Bogor (1935), Tugu Khatulistiwa - Pontianak (1938), Kantor Dinas Perikanan - Bogor (1951), Gerbang Taman Makam Pahlawan Kalibata - Jakarta (1953), Kampus Cibalagung, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP)/Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) - Bogor (1953), Gedung Bentol - Jawa Barat (1954).

Kemudian Kantor Pusat Bank Indonesia, Jalan Thamrin - Jakarta (1958), Gedung BLLD, Bank Indonesia, Jalan Kebon Sirih - Jakarta (1960), Menara Bung Karno - Jakarta 1960-1965 (tidak terbangun), Monumen Nasional / Tugu Monas - Jakarta (1960), Gedung BNI 1946 - Jakarta (1960), Markas TNI Angkatan Udara - Jakarta (1962), Gedung Pola - Jakarta (1962).

Selain itu Stadion Utama Gelora Bung Karno - Jakarta (1962), Monumen Pembebasan Irian Barat - Jakarta (1963), dan Rumah A Lie Hong - Bogor (1968).

Sedangkan di Kota Medan peninggalan karya F Silaban adalah Gedung BNI 1946 - Medan (1962) dan Gedung Universitas HKBP Nommensen - Medan (1982).

Baca Juga: Sejarah Batak Mission, Misi Kristen untuk Orang Batak 

5. Berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid Istiqlalistockphoto

Friedrich Silaban telah menerima anugerah Tanda Kehormatan Bintang Jasa Sipil berupa Bintang Jasa Utama dari pemerintah atas prestasinya dalam merancang pembangunan Masjid Istiqlal.

Friedrich Silaban juga merupakan salah satu penandatangan Konsepsi Kebudayaan yang dimuat di Lentera dan lembaran kebudayaan harian Bintang Timur mulai tanggal 16 Maret 1962 yakni sebuah konsepsi kebudayaan untuk mendukung upaya pemerintah untuk memajukan kebudayaan nasional termasuk musik yang diprakarsai oleh Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat, onderbouw Partai Komunis Indonesia) dan didukung oleh Lembaga Kebudayaan Nasional (onderbouw Partai Nasional Indonesia) dan Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi) milik Pesindo.

Selain itu, Friedrich Silaban juga berperan besar dalam pembentukan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Pada April 1959, Ir. Soehartono Soesilo yang mewakili biro arsitektur PT Budaya dan Ars. F. Silaban merasa tidak puas atas hasil yang dicapai pada Konferensi Nasional di Jakarta, yakni pembentukan Gabungan Perusahaan Perencanaan dan Pelaksanaan Nasional (GAPERNAS) di mana keduanya berpendapat bahwa kedudukan "perencana dan perancangan" tidaklah sama dan tidak juga setara dengan "pelaksana".

Mereka berpendapat pekerjaan perancangan berada di dalam lingkup kegiatan profesional (konsultan), yang mencakupi tanggung jawab moral dan kehormatan perorangan yang terlibat, karena itu tidak semata-mata berorientasi sebagai usaha yang mengejar laba (profit oriented). Sebaliknya pekerjaan pelaksanaan (kontraktor) cenderung bersifat bisnis komersial, yang keberhasilannya diukur dengan besarnya laba dan tanggung jawabnya secara yuridis/formal bersifat kelembagaan atau badan hukum, bukan perorangan serta terbatas pada sisi finansial.

Akhir kerja keras dua pelopor ini bermuara pada pertemuan besar pertama para arsitek dua generasi di Bandung pada tanggal 16 dan 17 September 1959. Pertemuan ini dihadiri 21 orang, tiga orang arsitek senior, yaitu: Ars. Friedrich Silaban, Ars. Mohammad Soesilo, Ars. Liem Bwan Tjie dan 18 orang arsitek muda lulusan pertama Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung tahun 1958 dan 1959.

Dalam pertemuan tersebut dirumuskan tujuan, cita-cita, konsep Anggaran Dasar dan dasar-dasar pendirian persatuan arsitek murni, sebagai yang tertuang dalam dokumen pendiriannya, “Menuju dunia Arsitektur Indonesia yang sehat”.

Pada malam yang bersejarah itu resmi berdiri satu-satunya lembaga tertinggi dalam dunia arsitektur profesional Indonesia dengan nama Ikatan Arsitek Indonesia disingkat IAI.

6. Terpinggirkan di masa Soeharto

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalPresiden ke-2 RI Soeharto. (Dok. Arsip Nasional RI)

Ketika era Orde Baru dimulai, Soeharto mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Soekarno, termasuk Friedrich, seseorang yang diasosiasikan dengan Soekarno. Kedekatan Friedrich dengan Soekarno menyebabkan kariernya jatuh pada rezim Soeharto.

"Dalam fase hidup terakhirnya, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya," tulis buku Rumah Silaban.

Upah pensiunan yang diterima Friedrich tidak cukup untuk menghidupi dirinya serta kesepuluh anaknya. Tawaran proyek pembangunan yang biasanya Friedrich terima pun tak kunjung berdatangan. Alhasil, pada tahun 1967, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam surat lamaran yang Friedrich kirim, dia menceritakan kesulitannya menghadapi krisis ekonomi. Gayung tak bersambut, lamaran Friedrich tak mengantarkannya pada pekerjaan apa pun.

Dalam sebuah surat balasan, Alvaro Ortega, Kepala Penasihan Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perancanaan PBB menyatakan, belum ada lowongan yang sesuai bagi Friedrich.

7. Tutup usia pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta

Mengenal Friedrich Silaban, Orang Batak yang Arsiteki Masjid IstiqlalSelasar rumah Friedrich Silaban (Foto Dok. Lex)

P Simamora dan kawan-kawan, dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang arsitektur Masjid Istiqlal menuturkan bahwa Friedrich baru mendapat tawaran proyek mulai pertengahan tahun 1977.

Kala itu, Gubernur Sulawesi Tengah memintanya merancang Masjid Agung Kota Palu.

Meski tak sebesar proyek yang ia garap di sekitar tahun 1960-an, beberapa proyek mulai dikerjakan Friedrich pada tahun 1978. Sejumlah rumah tinggal pribadi di Bogor dan Jakarta sempat menjadi garapannya.

Namun, memasuki pertengahan 1983, Friedrich mengalami kemunduran kondisi kesehatan. Ia pun tutup usia pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, pada usia 72 tahun.

Pada 29 Oktober 2008, Presiden Yudhoyono meresmikan Pameran Konstruksi Indonesia 2008 di Jakarta. Pada acara ini, Menteri PU akan menyerahkan penghargaan kepada para perancang konstruksi Indonesia, di antaranya kepada Prof DR Ir Sutami, arsitek jembatan Semanggi dan Gedung DPR/MPR, F Silaban yang merancang Masjid Istiqlal dan Monumen Nasional, dan Prof DR Ir Wiratman Wangsadinata yang memimpin proyek Jalan Tol Jagorawi dan Gedung Wisma Nusantara, Jakarta.

Kini Jalan Gedong Sawah II di Kota Bogor yang merupakan tempat tinggal Friedrich Silaban diubah menjadi Jalan F Silaban untuk mengenang jasa-jasanya.

Baca Juga: Mengenal Pabuat Boru Marhabuatan, Upacara Adat Kawin Batak Angkola

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya