Kisah Yuli Dirikan Sekolah Anak Difabel, Dulu Pe-Bully Kini Peduli

Berawal dari sanggar kecil kini jadi sekolah dengan 6 guru

Medan, IDN Times – “Dulu waktu masih sekolah saya tukang bully anak-anak difabel. Tapi setelah dewasa saya sadar, difabel butuh didampingi bukan di-bully.”

Kalimat itu terlontar dari mulut Yuli Yanika saat ditanyakan IDN Times tentang alasan mendirikan Rumah Ceria Medan.

Perempuan yang akrab disana Uye ini adalah pendiri Rumah Ceria Medan di Jalan Bunga Teratai, Medan Selayang, Kota Medan. Kini RCM jadi satu-satunya sekolah di Sumut yang menggunakan bahasa isyarat dan lisan di seluruh kelas. Karena RCM menggabungkan antara siswa normal difabel dalam satu kelas.

Dari PAUD, TK hingga SD total ada 16 siswa difable. Kondisinya beragam, ada yang tuna rungu, gangguan intelektual, tuna grahita, delay speech hingga down syndrome. Guru harus menggunakan bahasa isyarat dan lisan secara bergantian selama mengajar.

Yuli ingin masyarakat tidak mendiskriminasi anak-anak berkebutuhan khusus. Tidak beranggapan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus tidak layak berada satu kelompok dengan anak normal dan tidak di-bully.

“Lewat Rumah Ceria Medan saya ingin memutus diskriminasi lewat literasi difabel,”ujarnya, 24 Juli 2023.

Kisah Yuli Dirikan Sekolah Anak Difabel, Dulu Pe-Bully Kini PeduliYuli Yanika pendiri sekaligus kepala sekolah Rumah Ceria Medan (RCM). (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Perempuan yang tengah menempuh kuliah Pendidikan Agama Islam di kampus UIN Sumut ini bercerita pada 2013 ia pernah mengajar murid SD di satu sekolah swasta. Ternyata pada satu kelas ada seorang murid difabel rungu sudah 6 kali tinggal kelas dan usianya sudah 15 tahun.

Guru-guru di sekolah memeringatkan Uye bahwa murid tersebut sulit ditangani, sering buat onar, dan sulit memahami yang diajarkan guru. Uye merasa tertantang. Iapun belajar bahasa isyarat lewat youtube dan lewat bantuan temannya.

Menurutnya murid difabel rungu itu kerap membuat onar karena ia tidak memahami apa yang disampaikan guru. Setelah Uye mempraktikkan mengajar menggunakan bahasa isyarat dan Bahasa lisan bergantian, murid tersebut ternyata bisa memahami pelajaran yang dibawakan Uye.

Dari situ hati Uye tergerak. Anak didik difabel harus dipahami, diajar menggunakan bahasa dan cara yang dipahaminya tidak bisa disamaratakan dengan murid normal.

“Saya jadi teringat saat masih anak-anak dulu sering mem-bully anak difabel karena mereka selalu tertinggal pelajaran bahkan sering tinggal kelas. Sekarang saya sadar dan akan berjuang untuk kesetaraan Pendidikan anak difabel,” terangnya.

Setelah makin lancar berbahasa isyarat, tahun 2015 Uye mendirikan Sanggar Ceria dengan konsep sekolah alam khusus anak-anak difabel. Fungsi sanggar ini untuk mengajar anak-anak difabel baca tulis dan berhitung dan tidak dikutip biaya. Sehingga kelak akan bisa bersekolah dengan anak-anak normal.

Sanggar ini ternyata banyak peminat. Tak hanya anak berkebutuhan khusus, tapi anak-anak normal di sekitaran sanggar juga. Mereka saling berbaur, berteman, dan bermain bersama sambil belajar.

Sanggar ini meyakinkan Uye bahwa anak-anak normal bisa belajar bersama di dalam satu kelas. Dengan catatan guru yang mengajar harus bisa Bahasa isyarat dan lisan.

Uye kemudian merencanakan untuk mendirikan sekolah. Ia menyewa satu lahan warga seluas 50x40 meter di Jalan Bunga Teratai, Medan dengan harga murah. Kemudian mengurus izin operasional sekolah dan administrasi lainnya.

"Pertama kali kita buka kelas PAUD atahun 2019, bukan hanya kelas reguler, kita juga ada kelas menjahit di sore hari," jelasnya.

Dengan bertambahnya murid, Uye pun mulai merekrut guru dengan syarat bisa mengajar bahasa isyarat dan lisan. Gak mudah, tapi Uye berhasil menemukannya. Guru pertama yang direkrut Uye adalah Suri Dwi Utami.

Kisah Yuli Dirikan Sekolah Anak Difabel, Dulu Pe-Bully Kini PeduliSuri Dwi Utami saat mengajar di Rumah Ceria Medan (RCM) di Jalan Bunga Teratai, Kelurahan Padang Bulan Selayang, Kecamatan Medan Selayang, Kota Medan, 24 Juli 2023. (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Suri mengaku sebelumnya tak pernah terpikir untuk menjadi guru bagi anak-anak difabel. Namun saat tamat SMA ia coba-coba mengajar anak difabel. Kini setelah empat tahun mengajar, Suri tak pernah memikirkan pekerjaan lain selain mengajar di RCM.

“Ada momen dimana mereka bikin saya terharu. Bagaimanapun kondisi anak-anak ini, saya sayang dan bahagia bisa mendampingi mereka. Saya masih tetap bertahan karena rasa nyaman saat bersama anak-anak meskipun upah atau gaji yang didapat belum bisa menutupi kebutuhan,” ungkap lulusan Sarjana Ekonomi berusia 26 tahun ini.

Kini Rumah Ceria Medan sudah memiliki 6 guru dan satu psikolog anak yang mengajar di kelas PAUD, TK hingga SD dengan total sekitar 40-an siswa. Sebanyak 16 di antaranya adalah siswa difable. Metode pembelajaran yang diberikan tetap mengikuti kurikulum dari pemerintah. Selain itu ada juga kurikulum dibuat sendiri untuk menyesuaikan kebutuhan anak difabel.

Untuk biaya operasional di RCM, Uye menerapkan pola subsidi silang. Bagi anak dari keluarga yang mampu akan membayar SPP. Sedangkan anak dari keluarga kurang mampu akan digratiskan.

Di luar jam sekolah, anak-anak berkebutuhan khusus juga mendapatkan program terapi sesuai kebutuhan masing-masing anak. Ada juga yang mendapat pelatihan kesenian menari untuk melatih saraf motorik. Sehingga perkembangan mereka bisa lebih maksimal.

“Ada juga kelas fotografi anak. Banyak anak-anak yang tertarik berlajar fotografi,” kata Uye.

Meski begitu, Uye mengakui fasilitas RCM belum memadai untuk menerima semua jenis difabel. Saat ini RCM hanya bisa menerima anak-anak dengan autis, down syndrom, mental, attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), disleksia, dan tuli. Untuk jenis difabel daksa, netra, dan mental kejiwaan, RCM belum bisa menanganinya.

Uye berharap dapat terus meningkatkan fasilitas sekolah regulernya agar dapat menerima banyak anak-anak disabilitas yang membutuhkan sekolah.

Target Uye, RCM akan membuka kelas untuk murid SMP. Agar anak-anak difabel tamatan dari SMP RCM bisa berbaur di sekolah umum untuk tingkat SMA.

“Uye berpikir, anak dengan masalah intelektual ketika tidak disesuaikan dengan jenjang kelasnya mereka akan tetap tertinggal sampai kapanpun. Ia berharao anak didiknya yang akan masuk SMA bisa belajar di sekolah umum yang menerima anak difabel untuk mengikuti kesetaraan disabilitas,” terangnya.

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya