Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Sepasang pengantin menampilkan Tortor tradisional Mandailing, dalam rangkaian acara pernikahan adat di Mandailing Natal, Sumatera Utara. (tiktok.com/yudosuhendri)
Sepasang pengantin menampilkan Tortor tradisional Mandailing, dalam rangkaian acara pernikahan adat di Mandailing Natal, Sumatera Utara. (tiktok.com/yudosuhendri)

tinggal maon pancurda baya paridian on..."

(Tinggallah sudah pancuran tempat mandi ini...)

Lantunan lirih itu bukan sekadar kata, melainkan suara hati seorang ibu, perasaan campur aduk yang mendalam, menghadapi perpisahan dengan anak tersayang.

Di tengah kemeriahan pesta adat perkawinan Mandailing yang megah, terselip sebuah ungkapan perpisahan yang lembut dan mengharukan. Itulah salah satu wajah Onang-onang, sebuah tradisi lisan yang sering disalahpahami hanya sebagai nyanyian sukacita. Padahal, di dalam nadanya yang syahdu, tersimpan kisah-kisah perpisahan, kenangan, isak tangis orang tua, dan pengorbanan yang menyentuh.

Tak heran jika banyak orang keliru menangkap makna sebenarnya. Saat mendengar kata Onang-onang, banyak yang membayangkan alunan musik Gordang Sambilan dan gerak tari tor-tor yang penuh semangat. Namun, tradisi ini, pada akarnya adalah sebuah wadah untuk perasaan yang jauh lebih kompleks. Ia adalah bukti bahwa perayaan terbesar dalam hidup sering kali beriringan dengan momen pelepasan dan keikhlasan yang emosional.

IDN Times akan mengajak kamu menyelami sisi lain dari Onang-onang, sebuah tradisi yang mampu merangkai kesedihan dan sukacita dalam waktu bersamaan. Mari kita lihat lebih dalam, mengabaikan gemerlap pesta, untuk menemukan jawaban kenapa tradisi ini penuh haru dalam adat Mandailing.

1. Berawal dari Ratapan Rindu untuk Ibu

Kedua mempelai yang mengenakan busana adat merah dengan hiasan keemasan bersujud dan memeluk orang tua mereka sebagai simbol penghormatan, permohonan doa restu, dan permohonan maaf.(tiktok.com/rinisiregarr1)

Fakta paling mendasar yang mengungkap sisi melankolis Onang-onang adalah asal-usulnya. Secara etimologis, istilah Onang-onang berasal dari kata onang atau inang, yang dalam bahasa Mandailing berarti "ibu". Menurut kisahnya, tradisi ini bermula sebagai ungkapan kerinduan mendalam seorang anak yang memanggil-manggil ibunya sambil bernyanyi.

Pada mulanya, Onang-onang adalah sebuah hata andung, yang secara harfiah berarti "kata-kata ratapan" atau narasi kesedihan. Onang-onang adalah medium untuk meluapkan perasaan kehilangan dan kekecewaan.

Meskipun fungsinya telah berevolusi menjadi ungkapan syukur dan kegembiraan dalam pesta adat, akar emosionalnya yang berupa ratapan ini tidak pernah hilang. Ia memberi kedalaman pada setiap lirik yang dinyanyikan, bahkan di tengah suasana paling meriah sekalipun.

2. Lirik Perpisahan: Kesedihan Ibu Melepas Anaknya Menikah

pengantin wanita mengenakan bulang-bulang dan busana adat bersimpuh serta memeluk kerabat perempuan untuk meminta doa restu. Tradisi ini menjadi simbol bakti, penghormatan, serta permohonan izin memulai rumah tangga baru.(tiktok.com/sasiah_22)

Dalam konteks pernikahan, Onang-onang menjadi sarana bagi orang tua untuk mengungkapkan perasaan mereka. Di satu sisi, ada kebahagiaan melihat anaknya memulai hidup baru. Namun di sisi lain, ada kesedihan karena harus berpisah dengan anak yang telah mereka besarkan. Momen haru ini sering kali tertuang dalam liriknya.

Salah satu contoh lirik yang sangat menyentuh menggambarkan ucapan seorang ibu kepada anaknya yang akan pergi ke rumah mertuanya, "tinggal maon pancurda baya paridian on" yang artinya "Tinggallah sudah pancuran tempat mandi ini". Kalimat sederhana ini sarat akan metafora dan makna perpisahan. Sang ibu mengenang tempat-tempat biasa di sekitar rumah yang akan ditinggalkan anaknya, sebuah simbol dari kenangan masa kecil yang kini harus dilepaskan.

3. Kilas Balik Perjuangan: Mengingat Susah Payah Membesarkan Anak

Dengan balutan busana adat Mandailing yang penuh makna, Bobby Nasution dan Kahiyang Ayu bersanding di pelaminan.(Youtube.com/KementerianSekretariatNegaraRI)

Lirik Onang-onang yang diciptakan secara spontan oleh paronang-onang sering kali menceritakan kembali riwayat hidup pengantin, dari sudut pandang orang tua. Bagian ini bisa menjadi sangat emosional, karena mengingatkan kembali pada perjuangan dan pengorbanan di masa lalu.

Misalnya, ada lirik yang mengisahkan kembali masa-masa seorang ibu mengandung selama sembilan bulan, diiringi doa-doa agar anaknya lahir dengan selamat. Contohnya: "Sambilan bulan mada ho inang nadi kandungan i... Sorang maho ningku inang naidatu dunia on" (Sembilan bulan lamanya engkau di dalam kandungan... lahirlah engkau, nak, ke dunia ini).

Ini bukan sekadar cerita, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang cinta, harapan, dan pengorbanan yang telah dilalui, yang membuat suasana menjadi khidmat dan penuh haru.

4. Melodi Sederhana yang Menghanyutkan: Musik yang Membuka Pintu Hati

Suara khas paronang-onang menggema di tengah pesta pernikahan adat Mandailing, menyampaikan doa restu dan nasihat dalam syair-syair penuh makna(youtube.com/zaky ulhaq videography)

Sisi melankolis Onang-onang tidak hanya datang dari liriknya, tetapi juga dari musiknya. Melodi Onang-onang sengaja dibuat sederhana, dengan tempo yang cenderung lambat dan alur nada yang terus diulang-ulang (strofik). Pola melodinya sering kali menurun, dibangun hanya dari beberapa nada utama.

Kesederhanaan ini bukanlah sebuah kekurangan, melainkan kekuatan terbesarnya. Musik yang repetitif dan bertempo lambat ini menciptakan suasana yang khidmat, kontemplatif, dan nyaris hipnotik. Ia berfungsi seperti kanvas kosong yang memungkinkan lirik-lirik puitis yang spontan menjadi pusat perhatian.

Musiknya tidak mendominasi, tetapi justru membuka ruang agar setiap kata yang berisi nasihat, kenangan, dan doa dapat meresap jauh ke dalam hati para pendengarnya, membuat mereka ikut terhanyut dalam arus emosi yang dalam.

5. Jejak 'Andung': Akar yang Sama dengan Ratapan Duka

Rumah Bolon, rumah adat tradisional suku Batak Toba. (pexels.com/Nabihah Bazli)

Konsep andung atau meratap dalam bentuk nyanyian tidak hanya ada di Mandailing. Dalam tradisi Batak Toba, Andung adalah ratapan ritual yang spesifik dilantunkan saat upacara kematian untuk mengungkapkan rasa duka yang mendalam. Sementara itu, di Simalungun, ada tradisi Tangis-tangis yang bisa digunakan untuk meratapi orang yang meninggal atau saat seorang anak perempuan akan menikah dan meninggalkan rumah orang tuanya.

Fakta bahwa Onang-onang berakar dari konsep andung yang sama menunjukkan bahwa ia berasal dari tradisi kultural yang lebih luas untuk memproses emosi-emosi mendalam seperti kesedihan dan kehilangan melalui seni suara. Meskipun Onang-onang telah berkembang menjadi ekspresi sukacita, jejak asal usulnya sebagai sebuah ratapan tetap terasa, menjadikannya sebuah tradisi yang kaya dan kompleks secara emosional.

Memandang Onang-onang hanya sebagai lagu pesta adalah melewatkan separuh jiwanya. Tradisi ini sesungguhnya adalah cermin besar yang merefleksikan perjalanan hidup manusia secara utuh, dengan segala kerumitannya. Ia adalah panggung di mana sukacita dan keharuan tidak saling bertolak belakang, melainkan menari bersama dalam satu harmoni yang puitis.

Pada akhirnya, tradisi ini mengajarkan sebuah kebijaksanaan, bahwa hati manusia cukup luas untuk menampung kebahagiaan dan kesedihan pada saat yang bersamaan. Dengan merayakan dualitas ini, Onang-onang tidak hanya menjadi sebuah seni pertunjukan yang indah, tetapi juga sebuah panduan mendalam tentang bagaimana menerima dan memaknai kehidupan dalam segala warnanya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team