tinggal maon pancurda baya paridian on..."
(Tinggallah sudah pancuran tempat mandi ini...)
Lantunan lirih itu bukan sekadar kata, melainkan suara hati seorang ibu, perasaan campur aduk yang mendalam, menghadapi perpisahan dengan anak tersayang.
Di tengah kemeriahan pesta adat perkawinan Mandailing yang megah, terselip sebuah ungkapan perpisahan yang lembut dan mengharukan. Itulah salah satu wajah Onang-onang, sebuah tradisi lisan yang sering disalahpahami hanya sebagai nyanyian sukacita. Padahal, di dalam nadanya yang syahdu, tersimpan kisah-kisah perpisahan, kenangan, isak tangis orang tua, dan pengorbanan yang menyentuh.
Tak heran jika banyak orang keliru menangkap makna sebenarnya. Saat mendengar kata Onang-onang, banyak yang membayangkan alunan musik Gordang Sambilan dan gerak tari tor-tor yang penuh semangat. Namun, tradisi ini, pada akarnya adalah sebuah wadah untuk perasaan yang jauh lebih kompleks. Ia adalah bukti bahwa perayaan terbesar dalam hidup sering kali beriringan dengan momen pelepasan dan keikhlasan yang emosional.
IDN Times akan mengajak kamu menyelami sisi lain dari Onang-onang, sebuah tradisi yang mampu merangkai kesedihan dan sukacita dalam waktu bersamaan. Mari kita lihat lebih dalam, mengabaikan gemerlap pesta, untuk menemukan jawaban kenapa tradisi ini penuh haru dalam adat Mandailing.