Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi wanita sedang menulis (unsplash.com/Sebastian Pandelache)

Apakah kamu sering merasa tulisanmu nggak pernah cukup bagus meskipun sudah di-edit berulang kali? Atau mungkin kamu sulit menyelesaikan proyek karena takut hasilnya nggak sempurna?

Kalau iya, bisa jadi kamu sedang terjebak dalam perangkap perfeksionisme sebagai penulis lepas. Meskipun keinginan untuk selalu menghasilkan karya terbaik adalah hal yang positif, perfeksionisme yang berlebihan justru bisa menjadi hambatan besar.

Perfeksionisme nggak hanya menguras waktu, tapi juga bisa menurunkan produktivitas dan memengaruhi kesehatan mental. Dalam dunia menulis lepas yang serba cepat, sikap ini bisa membuat kamu kehilangan banyak kesempatan.

Berikut adalah tiga tanda kamu terlalu perfeksionis sebagai penulis lepas dan bagaimana cara mengatasinya agar tetap produktif.

1. Sulit mengakhiri tulisan dan terlalu sering mengedit

unsplash.com/Thought Catalog

Perfeksionis sering kali kesulitan untuk mengakhiri tulisan mereka. Setiap kali selesai menulis, pasti ada dorongan untuk mengedit, memperbaiki, atau menambah sesuatu yang dirasa kurang. Hal ini bisa berulang-ulang terjadi hingga akhirnya tulisan tersebut nggak pernah benar-benar selesai. Kalau kamu merasa waktu lebih banyak habis untuk mengedit daripada menulis, ini tanda jelas bahwa perfeksionisme sudah mulai menghambat.

Sebagai solusi, coba tetapkan batasan waktu untuk mengedit. Misalnya, hanya mengedit dua kali setelah draft pertama selesai, atau menggunakan teknik timer seperti Pomodoro untuk memaksa diri berhenti di waktu tertentu. Ingat, tulisan yang “cukup baik” akan lebih bernilai daripada tulisan yang “sempurna” tapi nggak pernah selesai.

2. Takut kritik dan selalu menghindari feedback

ilustrasi wanita sedang menatap (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Kamu sering menunda mengirim tulisan ke klien atau editor karena takut menerima kritik? Ini tanda lain perfeksionisme yang bisa merugikan. Takut akan kritik membuat penulis lepas cenderung menghindari feedback, padahal masukan adalah salah satu cara terbaik untuk berkembang. Sikap ini juga sering menyebabkan rasa tidak percaya diri terhadap kualitas tulisan yang telah dibuat.

Cobalah untuk melihat kritik sebagai kesempatan untuk belajar, bukan sebagai ancaman. Ingat, bahkan penulis profesional pun sering mendapat feedback yang nggak selalu menyenangkan. Yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa mengambil pelajaran dari kritik tersebut dan terus memperbaiki diri. Semakin sering menerima feedback, semakin tebal pula mentalmu sebagai penulis lepas.

3. Terlalu fokus pada detail kecil dan kehilangan gambar besar

ilustrasi wanita sedang menulis menggunakan pena (pexels.com/Lisa Fotios)

Perfeksionis sering terjebak pada detail kecil yang sebenarnya nggak terlalu penting. Misalnya, berdebat dengan diri sendiri soal pemilihan kata atau terlalu lama memikirkan kalimat pembuka. Hal ini sering membuat proses menulis menjadi lebih panjang dan melelahkan. Akibatnya, kamu kehilangan fokus pada gambaran besar dari tulisan yang ingin disampaikan.

Untuk mengatasi ini, cobalah memulai dengan membuat outline yang jelas. Fokuslah terlebih dahulu pada alur cerita atau argumen utama sebelum memikirkan detail-detail kecil. Jangan biarkan hal-hal kecil menghambat proses kreatifmu. Menyadari bahwa tidak semua detail harus sempurna adalah langkah pertama untuk menjadi penulis yang lebih produktif dan efisien.

Perfeksionisme bisa menjadi musuh besar bagi penulis lepas. Sulit mengakhiri tulisan, takut kritik, dan terlalu fokus pada detail kecil adalah beberapa tanda bahwa kamu mungkin terlalu perfeksionis. Mulailah dengan menetapkan batasan untuk diri sendiri, menerima kritik sebagai bagian dari proses belajar, dan fokus pada tujuan utama tulisanmu. Dengan begitu, kamu bisa menulis dengan lebih bebas, produktif, dan menikmati setiap prosesnya.

Apakah kamu merasa salah satu tanda di atas menggambarkan dirimu? Yuk, mulai belajar untuk berdamai dengan perfeksionisme dan terus berkarya tanpa batasan! Berbagi cerita atau pengalamanmu bisa jadi inspirasi untuk penulis lain yang menghadapi hal serupa. Bagikan di kolom komentar, ya!

Editorial Team