Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh Terjaga

Social distancing harus digalakkan

Medan, IDN Times – Tidak ada kata lain, seluruh elemen masyarakat saat ini harus bersama-sama melawan Pandemi COVID-19 atau virus corona. Wabah yang sudah merundung bumi sejak akhir Desember lalu. Di awal persebarannya, orang-orang di Indonesia sempat sepele. Bahkan sejumlah pejabat pun sempat menjadikannya guyonan.

Saat ini, jumlah orang yang terpapar jumlahnya terus meningkat. Data pemerintah Indonesia  per 21 Maret 2020 menunjukkan ada 450 orang yang dinyatakan positif corona, 38 meninggal dunia dan 20 orang sembuh.  

Yang perlu diingat, corona ini ibarat random killer (pembunuh acak). Dia tak melihat status sosial seseorang. Siapapun bisa punya potensi yang sama untuk terpapar.

Social distancing dan karantina mandiri menjadi cara paling efektif. Paling tidak menekan potensi terpapar. Social distancing bisa diartikan mengurangi aktivitas di luar rumah. Menghindari keramaian jika pun harus terpaksa keluar rumah.

Apakah cara ini sudah efektif dilakukan di Indonesia? Tampaknya belum. Orang-orang masih tampak sepele. Berbagai alasan pun muncul. Mulai dari takut stres, kecemasan berlebih dan lainnya.

Psikolog dari Minauli Consuting Irna Minauli memberikan saran ampuh supaya kalian bisa menjalani masa social distancing. Ternyata cemas berlebih malah menambah potensi kamu terpapar corona.

1. Kecemasan selama masa pandemi corona karena begitu banyak korban yang berjatuhan

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh TerjagaSumber: Dokter dan epidemiolog Dicky Budiman (IDN Times/Arief Rahmat)

Irna berpendapat, kecemasan begitu terlihat saat banyak korban corona mulai berjatuhan di masa pandemi. Ditambah kabar simpang siur yang malah membuat kecemasan semakin menjadi.

Harusnya pemerintah pun terus transparan dan cepat dalam memaparkan informasi perkembangan pandemi corona. Supaya masyarakat mendapatkan informasi yang valid.

“Kecemasan semakin besar ketika orang tidak mengetahui kapan pandemi ini akan berakhir, kata Irna kepada IDN Times, Sabtu (21/3).

2. Imbauan Work From Home (WFH) harus dimanfaatkan dengan baik supaya tidak berbuah rasa bosan

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh Terjagaunsplash.com/Wes Hicks

Pemerintah dan sejumlah perusahaan sudah menerapkan sistem Work From Home (WFH) atau bekerja dari rumah. Begitu pun sekolah-sekolah yang menyuruh peserta didik belajar secara daring untuk mengurangi kontak di kerumunan.

Masyarakat di awal WFH sering mengartikan lain. Biasanya dimaknai dengan kegembiraan. Dalam istilah psikologi disebut Honeymoon Phase atau fase bulan madu,

“Dengan WFH atau belajar di rumah untuk pelajar, mereka merasa bebas melakukan apa pun tanpa terikat waktu, seperti ketika mereka harus bekerja di kantor atau bersekolah,” ungkapnya.

Fase bulan madu ini hanya dirasakan beberapa hari saja. Setelah itu, kejenuhan pun mulai merundung. Itu terjadi lantaran, banyak orang belum memaknai kenapa mereka harus tetap berada di rumah.

“Pemahaman inilah yang seharusnya dimiliki setiap orang tentang pentingnya melakukan social distancing, menjaga jarak aman dengan orang-orang lain,” ujarnya.

Baca Juga: [BREAKING] PDP Corona Melonjak Jadi 48 Orang di Sumut, ODP Jadi 338

3. Sayangnya WFH hanya efektif untuk orang yang bekerja kantoran saja

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh Terjagaunsplash.com/Christinhumephoto

Irna pun tak menampik, WFH hanya efektif untuk para pekerja kantoran saja. Pastinya yang memiliki penghasilan bulanan, persediaan bekal yang cukup dan tabungan di bank.

Lantas bagaimana dengan para pekerja yang dituntut berada di luar rumah. Pedagang asongan, ojek online dan buruh pabrik misalnya. Tampaknya anjuran WFH ini masih sulit dilakukan.

“Kondisi kita mungkin berbeda dengan negara-negara yang bisa menyuplai kebutuhan warganya sehingga anjuran untuk tidak keluar rumah bisa dilaksanakan,” tukasnya.

4. Sosialisasi waspada corona harus digalakkan supaya kesadaran masyarakat terbentuk

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh TerjagaIlustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Pemerintah Indonesia tampaknya harus bekerja keras, bekerja serius untuk penanganan corona. Khususnya edukasi terhadap masyarakat. Apalagi di kawasan pedesaan yang minim akses informasi seperti di kota.

Edukasi yang paling penting dilakukan misalnya, pola menjaga hidup bersih, menjauhi kerumunan, menjaga kesehatan dan lainnya. Upaya ini belum begitu terlihat di tengah masyarakat. Apalagi di tengah kondisi masyarakat yang saat ini terlalu sepele. Bahkan di beberapa public area, corona menjadi bahan guyonan.

Belum lagi soal kebutuhan seperti masker dan hand sanitizer yang kian langka. Menambah pelik upaya penanganan dan pencegahan. 

“Edukasi terus menerus perlu dilakukan. Karena, Sikap yang cenderung denial (menyangkal) dan menutupi keadaan dikhawatirkan dapat membuat masyarakat tidak waspada. Namun di sisi lain, kesalahan dalam menyampaikan informasi juga dapat menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat,” ungkapnya.

5. Kecemasan berlebih justru hanya membuat kepanikan

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh TerjagaPixabay

Perilaku masyarakat dalam menghadapi pandemi ini sangat mencerminkan bagaimana pandangan mereka tentang wabah. Mereka yang memiliki pengalaman traumatis dengan penyakit cenderung akan lebih reaktif, dibandingkan dengan kelompok lainnya memiliki rasa aman yang lebih tinggi.

“Kecemasan akan lebih terasa pada mereka yang memiliki insecurity feeling sehingga mereka kemudian menjadi hoarder (penimbun) yang terlihat pada saat mereka berbelanja kebutuhan. Tanpa mempertimbangkan bahwa orang lain juga membutuhkan benda tersebut,” terangnya.

Di Indonesia, kata Irna, karantina atau isolasi rumah dianggap lebih menguntungkan secara psikologis. Karena mereka masih mendapatkan dukungan sosial dari orang-orang dekatnya. Selain karena keterbatasan kamar yang ada di rumah-rumah sakit yang melayani penanganan corona.

6. Semakin cemas, semakin menurun juga imunitas tubuh

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh TerjagaIlustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Saran Irna, selama masa pandemi, seseorang harus bisa mengontrol dengan baik emosinya. Kecemasan berlebih hanya menimbulkan petaka. Bagi diri sendiri atau pun orang lain.

“Kita harus tetap tenang dan tawakal menghadapi situasi ini. Semakin seseorang merasa cemas maka cenderung imunitas akan menurun. Potensi terpapar jauh lebih tinggi,” katanya.

Pendekatan secara religius juga harus dilakukan. Para ulama harus bisa memberi pemahaman kepada para jemaahnya. Karena pendekatan spiritual akan sangat membantu seseorang merasa aman.

7. Jadikan masa pandemi ajang dekatkan diri dengan keluarga

Lawan COVID-19, Psikolog: Jangan Cemas Agar Imun Tubuh Terjagapixabay.com/3643825

Sisi positif yang bisa diambil dalam masa WFH ini salah satunya mendekatkan diri dengan keluarga. Saling menguatkan, memberi semangat, dan meluruskan informasi dari sumber yang tidak jelas terkait corona.

Kepanikan dan kecemasan pun bisa teratasi dengan sendirinya. Jalankan saja aktivitas di rumah secara rutin. Jika berkenan, bikin kegiatan kreatif untuk membunuh kejenuhan.

“Dua minggu masih dalam batas yang ideal karena biasanya mereka masih berada pada fase honeymoon dan belum masuk ke fase krisis. Tapi kalau sudah lebih dari dua minggu kemungkinan mereka mulai jenuh dan cenderung ingin kembali beraktivitas di keramaian. Bertemu dengan teman-teman dan melakukan kebiasaan-kebiasaan berkumpul atau hang-out mungkin menjadi sesuatu yang mereka rindukan. Kondisi 14 hari stay at home tampaknya hanya berlaku bagi mereka yang secara ekonomi sudah mapan atau bagi negara yang smenyediakan kebutuhan masyarakatnya,” pungkasnya.

Irna juga memberi catatan penting dalam masa social distancing khususnya bagi anak-anak. Tingkat kejenuhan pada anak, biasanya lebih tinggi. Sehingga sangat dibutuhkan peran orangtua untuk menyikapinya dengan bijak.

“Kalau lebih dari 7 hari, mereka biasanya sudah merengek minta jalan-jalan keluar. Aktivitas rutin yang terganggu inilah yang perlu disikapi dengan baik. Usahakan anak-anak memiliki kegiatan produktif sehingga tidak semakin asyik dengan gawainya. Misalnya, memasak, bermain, belajar bersama atau aktivitas kreatif lainnya,” tutupnya.

Baca Juga: Obat untuk Pasien Virus Corona, Ini Kelebihan dan Kekurangan Avigan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya