Kebijakan Food Estate Dinilai Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

Petani dan masyarakat adat harus dapat akses luas

Medan, IDN Times - Masyarakat sipil melakukan diskusi dengan tema "Situasi Penegakan HAM, Penyelenggaraan Reforma Agraria, dan Perlindungan Lingkungan Hidup di Indonesia dan Sumut", Jumat (5/2/2021). Diskusi ini membahas pulp dan kertas di tengah pandemik COVID-19, kebijakan pemerintah dan kejahatan deforestasi hingga penyandang dana.

Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumut (Bakumsu), Tongam Panggabean menjelaskan bahwa kebijakan ini terkesan sangat tiba - tiba.

"Misalnya Food Estate yang ada di Humbahas itu seperti kebijakan yang tiba-tiba ada. Terkhususnya untuk masyarakat di desa Pandumaan Sipituhuta," jelasnya di Kaldera Coffee, Kamis (5/2/2021).

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo tahun lalu telah menjelaskan bahwa lahan yang akan digunakan untuk Food Estate di Sumatera Utara seluas 30 ribu hektare yang berlokasi di empat kabupaten, yakni Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Humbang Hasundutan, dan Pakpak Bharat.

Namun food estate ini mengundang penolakan sejumlah lembaga masyarakat sipil yang selama ini fokus untuk memperjuangkan hak masyarakat adat di Sumut.

1. Bakumsu menilai kebijakan tersebut sangat tiba-tiba

Kebijakan Food Estate Dinilai Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

Menurutnya, kebijakan tersebut terkesan tiba - tiba. Sehingga hal ini menjadi fokus perhatian disebabkan adanya beberapa konflik yang belum terselesaikan di kawasan.

"Termasuk konflik di kawasan hutan serta konflik masyarakat adat yang mengklaim tanah adat turun temurun di sekitar areal tersebut," katanya.

Dinilai juga, bahwa persoalan konflik ini belum usai. Namun, pemerintah pusat justru memberikan sebagian kawasan hutan dari masyarakat adat Pandumaan menjadi areal food estate.

"Nah ini yang menjadi persoalan. Ya kita ingin seharusnya itu ada dalam tahap inventarisasi masalah dulu," katanya.

Sementara itu, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sumut, Hawari Hasibuan mengakui rasa kekecewaan karena adanya kebijakan tersebut dan dianggap kontradiktif dengan RPJM pemerintah terkait reforma agraria dan konsep Perhutanan Sosial.

2. Dari data KPA ada tujuh korporasi yang akan ambil andil

Kebijakan Food Estate Dinilai Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

Berdasarkan data dari KPA, setidaknya terdapat tujuh korporasi yang akan ambil andil dalam pengelolaan Food Estate. Terkhusunya, di Kabupaten Humbahas, yaitu PT Indofood, PT Calbe Wings, PT Champ, PT Semangat Tani Maju Bersama, PT Agra Garlica, PT Agri Indo Sejahtera, dan terakhir PT Karya Tani Semesta telah siap berinvestasi.

Ia menjelaskan, jika alokasi food estate 60 ribu (total untuk Kalimantan Tengah dan Sumut) dibagi rata kepada petani. Maka dapat mengangkat kehidupan 120.000 petani dari garis kemiskinan.

"Makanya menurut kami pemerintah tidak percaya kepada masyarakatnya yang memang dari dulu petani. Harusnya tanah itu bisa dimanfaatkan bisa untuk produktivitas bertani," jelasnya.

Baca Juga: Jokowi ke Humbahas, Tinjau Food Estate dan Bagikan Sertifikat Tanah

3. WALHI tegaskan untuk tolak kebijakan Food Estate karena menuai kontroversi

Kebijakan Food Estate Dinilai Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

Selain itu Deputi 2 Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut, Rian Purba menyatakan dengan tegas untuk menolak kebijakan food estate. Dari segi wacana yang diedarkan, yakni ketahanan pangan saja sudah menuai kontroversi.

"Dari narasi ketahanan pangan saja sudah patut dipertanyakan. Artinya kita hanya bertahan saja, bukan berdaulat. Lantas siapa yang mengelola? Tentu diserahkan pada bisnis besar agrikultur dari perusahaan Trans nasional," tuturnya.

4. Setiap elemen masyarakat sipil diminta lakukan gerakan sosial untuk menentang

Kebijakan Food Estate Dinilai Tak Pro Petani dan Masyarakat Adat

Baginya, jika pemerintah memang berjanji untuk memberikan akses pengelolaan hutan kepada rakyat. Maka Food Estate ini dikembangkan demi kedaulatan rakyat. Alhasil petani, masyarakat adat harus diberikan akses seluas -luasnya.

"Agar masyarakat dapat mengembangkan kearifan lokalnya. Sampai ke komoditas ekspornya dikelola oleh rakyat," ucapnya.

Hawari juga menyampaikan jika Food Estate ini tetap dilaksanakan, maka setiap elemen masyarakat sipil akan melakukan gerakan sosial untuk menentang.

"Karena kalau ini dibiarkan terus, perselingkuhan antara korporasi dengan pemerintah akan semakin memiskinkan rakyat kita. Sehingga gerakan sosial penting untuk dimobilisasi. Mengampanyekan penolakan itu dari semua sisi," tegasnya.

Baca Juga: Jokowi Ingin Pembebasan Lahan di Area Food Estate Segera Dituntaskan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya