Kisah Jonry, Satu-satunya Petani Garam Tradisional di Tapteng

Pemerintah daerah belum melirik usaha Jonry Simanjuntak

Sibolga, IDN Times - Beberapa kotak berbentuk panjang tersusun di atas lahan seluas sekitar 500M persegi. Dari jauh, seorang pria berbaju dongker berdiri di antara kotak itu.

Meski panas terik matahari menyengat siang itu, namun semangat pria itu tak pernah layu. Di tangan nya, sebuah kayu digerakkan perlahan ke dalam salah satu kotak berwarna biru berukuran sekitar 2x1 meter. 

Sesekali, pria itu berpindah dari kotak yang satu ke kotak yang lainnya. Alunan tangan nya membuat air di dalam kotak itu terlihat berguncang. Gerakan pada kayu panjang dengan pelan dilakukan agar air tidak terhempas ke luar.

Dengan perlahan, pria itu terlihat menarik butiran berwarna putih yang menyatu dengan air. Satu persatu butiran putih itu menyatu menjadi tumpukan di pinggir kotak. Butiran putih itu adalah garam dari hasil penjemuran air laut.

Pria itu adalah Jonry Simanjuntak. Dia diklaim merupakan satu-satunya petani garam tradisional yang berada di salah satu daerah Pantai Sumatra Utara, tepatnya di Tapanuli Tengah. Di kotak-kotak itu lah Jonry menjemur air laut untuk menghasilkan garam. "Awalnya masih 1 kotak yang saya buat.  Namun sekarang sudah ada 6 kotak," kata Jonry membuka cerita.

1. Jonry baru 4 bulan menjadi petani garam

Kisah Jonry, Satu-satunya Petani Garam Tradisional di TaptengGaram kasar yang siap dipanen (IDN Times/Hendra Simanjuntak)

Menjadi petani garam sudah dia geluti selama 4 bulan. Dalam sehari, Jonry mampu memproduksi garam sebanyak 100 kilogram. Jumlah nya juga ditentukan dengan faktor cuaca. Kalau cuaca cerah, maka semakin cepat pula proses air laut menjadi garam. "Dalam satu wadah, sekali panen bisa dapat lebih dari 10 kilogram," kata Jonry.

Keberanian Jonry memilih terjun menjadi petani garam bermodalkan dari pengalaman yang dia miliki. Selama bertahun-tahun, Jonry pernah memasarkan garam di daerah tempat tinggalnya. Garam yang dipasarkan itu dipesan dari daerah penghasil garam ternama di Indonesia.

"Sebelumnya saya pernah memasarkan garam di Sibolga dan Tapteng. Garam itu saya pesan dari Madura. Sekali memesan sebanyak 80 kilogram yang diangkut dengan mobil truk," ungkap Jonry.

Beranjak dari pengalaman itu, Jonry pun kemudian memilih untuk memproduksi garam dengan hasil usaha sendiri. Walau saat itu modal besar tak ia miliki ketika merintis usaha itu.

"Cara pembuatan garam itu saya ketahui dari kota Madura. Dan saya juga belajar dari google," katanya.

2. Air laut harus dipisah dengan air tawar menggunakan bahan yang telah dibuat

Kisah Jonry, Satu-satunya Petani Garam Tradisional di TaptengJonry Simanjuntak mengumpulkan garam dari hasil penjemuran air laut (IDN Times/Hendra Simanjuntak)

Untuk menghasilkan garam dari air laut ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh Jonry.  Di tempatnya itu, air laut yang telah dikumpulkan akan diproses pada tiga wadah dengan ukuran besar yang telah disediakan. 

Pada proses pertama, air laut yang di dalam wadah dicampur dengan bahan yang sudah diracik. Bahan yang berbentuk cairan berwarna putih susu itu akan memisahkan air laut dengan air tawar. Ilmu meracik bahan juga ia dapat dari kota Madura.

"Karena air laut itu berasal dari muara, pastinya akan bercampur dengan air tawar. Jadi air yang diambil dari laut tidak akan menghasilkan garam sebelum dicampur dengan bahan itu," katanya.

"Ada 12 bahan yang diracik dalam cairan itu, nggak mungkin juga, kan kita sebutkan apa saja bahannya," kata Jonry lagi sembari tertawa.

Proses yang dilakukan tidak sampai di situ saja. Air laut yang tadinya sudah dipisahkan dengan air tawar kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang kedua dengan ukuran besar. Air laut berwarna gelap akan dicampur dengan bahan yang diracik itu hingga berubah warna menjadi lebih terang.

3. Cuaca cerah juga menjadi penentu

Kisah Jonry, Satu-satunya Petani Garam Tradisional di TaptengWadah penjemuran air laut untuk menghasilkan garam rumah tangga ditutup dengan plastik Ultraviolet (IDN Times/Hendra Simanjuntak)

Kotak yang sudah dibentuk menjadi wadah berbahan plastik itu akan berisi dengan air laut yang sudah berwarna terang. Semakin kecil volume air di dalam wadah, maka akan semakin cepat pula proses air laut menjadi garam.

"Proses nya juga tergantung cuaca, kalau selama empat hari cuaca cerah, air laut dijemur akan cepat menghasilkan garam akan timbul," kata Jonry.

Meski usahanya masih seumuran jagung, namun Jonry sudah berpenghasilan hingga puluhan juta dalam sebulan. Garam kasar yang dikemas dalam karung berukuran 50 kilogram dijual seharga Rp75 ribu kepada pengusaha ikan rebus.

"Garam yang saya produksi sudah pernah dijual ke Padangsidimpuan. Yang paling banyak terjual dalam sebulan itu mencapai enam ton," katanya.

4. Belum mendapat bantuan dari pemerintah

Kisah Jonry, Satu-satunya Petani Garam Tradisional di TaptengCairan putih dicampur untuk memisahkan air laut dengan air tawar (IDN Times/Hendra Simanjuntak)

Jonry mengaku, usaha yang dia rintis saat ini masih terbilang tradisional. Dengan keterbatasan alat, dia harus mengirimkan garam hasil olahannya ke kota Medan untuk diproses menjadi garam ber-yodium. 

"Alat yang saya miliki masih sebatas menggiling garam yang kasar menjadi halus," katanya.

Meski begitu, Jonry optimisi usaha yang ia geluti saat ini akan maju berkembang. Melalui usaha yang sederhana itu, pria berusia 38 tahun itu yakin akan bisa mempekerjakan beberapa orang dalam usahanya itu.

"Minggu lalu pihak Kementerian Kelautan pernah datang ke tempat usaha saya ini, nggak tahu mau ngapain, katanya mau memberi bantuan," katanya. 

"Saat ini memang belum ada perhatian dari pihak, baik itu dari Pemerintah daerah," pungkasnya.

Baca Juga: Mengenal Bakhtiar Sibarani, Bupati Tapteng yang Bertabur Prestasi

Topik:

  • Doni Hermawan
  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya