Upaya Membangun Kemandirian Energi, Biodiesel Jadi Andalan Negeri

Perjuangan 14 tahun biodiesel tidak mudah

Medan, IDN Times - Pemerintah terus berusaha membangun kemandirian energi. Biodiesel menjadi energi terbarukan yang terus dikembangkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga menekan impor. Presiden Joko Widodo sudah menekankan hal itu saat sidang tahunan MPR di Senayan, Jakarta 14 Agustus 2020 lalu.

"Tahun 2019, kita sudah berhasil memproduksi dan menggunakan B20. Tahun ini kita mulai dengan B30, sehingga kita mampu menekan nilai impor minyak kita di tahun 2019," ujar Presiden Joko Widodo.

Apa sebenarnya program biodiesel ini? Paulus Tjakrawan dari Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) mengatakan  perintisan untuk Biodiesel ini sudah dimulai sejak 2005. Dimulai dari program B5 hingga akhirnya 2020 sudah B30.

"Perjalanan sudah 14 tahun, bukan dari kemarin ujug-ujug sudah B30. Biofille dimulai 2005 dan 2006 kita mulai menyadari sebagai net importer. Kita sudah terkenal sejak dulu produsen minyak. Anggaran belanja kita 85 persen dari penjualan minyak sawit," kata Paulus Cakrawan dari Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) pada webinar 30 Juni lalu.

1. Keunggulan biodiesel untuk pengembangan energi

Upaya Membangun Kemandirian Energi, Biodiesel Jadi Andalan NegeriIDN Times/Arief Rahmat

Keunggulannya ada berbagai aspek. Seperti untuk lingkungan bidoegradable, tidak lebih beracun dibanding solar dan bebas shuplhur. Menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil dari penggunaan solar, dan mengurangi polusi.

"Tahun 2019, bio diesel Indonesia bahkan telah berhasil mengurangi emisi dari minyak solar sebesar 45 persen atau setaradengan 17,5 juta ton CO2 Equivalent," kata Paulus.

"Konsumsi indonesia per orang liter masih lebih rendah dari Malaysia. Kalau ingin maju konsumsi bahan bakar akan terus bertambah. Negara maju membutuhkan energi yang lebih banyak. Negara tertentu mencoba menghentikan produksi biofille bahan bakar nabati," katanya.

Dari data  Aprobi, kontribusi B30 pada Nationally Determined Contribution (NDC) adalah 8,82 persen (proyeksi 2020). "Kita berupaya mengurangi ketergantungan impor bahan bakar. Pemakaian bahan bakar di Indonesia sekitar 1,4 juta barel per hari. Sedangkan Indonesia menghasilkan 778 ribu barel per hari. Tahun 2019, produksi biodiesel untuk domestik sebesar 6,39 juta Kl.

Baca Juga: Jokowi: Pertamina Sukses Bikin Bahan Bakar Diesel 100 Persen Sawit

2. Dukungan pemangku kepentingan sangat berdampak

Upaya Membangun Kemandirian Energi, Biodiesel Jadi Andalan NegeriIDN Times / Arief Rahmat

Dari data Aprobi Januari-Mei 2020, produksi biodiesel sudah mencapai 4.231.351 kiloliter. Konsumsi domestik juga mencapai 3.550.406 kl. Meskipun terdampak pada situasi pandemik COVID-19.

"Situasi COVID-19, kami memperkirakan produksi akan turun. Ternyata menurunnya itu tidak besar. Malah lebih tinggi Mei daripada April," katanya.

Hanya saja mungkin berdampak ke produksi B40 tahun depan karena situasi COVID-19. Saat ini pihaknya masih melakukan studi migas, litbang tentang kemungkinan memperbaiki kualitas biodieselagar menjadi semakin baik.

"B30 perlu diperbaiki kualitasnya. Misalnya mengurangi kandungan air. Itu tantangan buat kita. Syukurnya program ini mendapat dukungan pemangku kepentingan. Kenapa Malaysia tidak secepat kita perkembangannya. Dukungan pemangku kepentingan kita lebih baik. Mereka juga terus berkonsultasi dengan kita," tambahnya.

Belum lagi hambatan perdagangan dari luar. Uni Eropa berusaha menghambat dengan regulasi yang dianggap merugikan.  "Ketentuan Rewenable Energy Directive (RED) II dibuat hanya untuk hambatan saja bagi Indonesia. Berpotensi adanya pengurangan penggunaan bio diesel di Eropa seperti menaikkan pungutan ekspor, mengurangi rentang harga biodiesel," katanya.

"Tuduhan kepada kita sangat diskriminatif. Sawit dianggap merusak lingkungan dan sebagainya. Sementara Soya dianggap tidak merusak padahal memakai lahan hampir 8 kali lipat," paparnya.

Sementara Bandung Sahari Pengurus Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengatakan, biodiesel ini memang jadi ancaman serius bagi Uni Eropa.

"The most potensial biodiesel itu dari minyak sawit. Sementara dari soya dan penghasil minyak nabati lainnya itu mahal sekali. Kalaupun pada akhirnya mereka butuh biodiesel, mereka paling butuh Indonesia untuk minyak sawitnya. Kalau program bio ini bisa ditingkatkan ini ancaman serius bagi Eropa," kata Bandung.

3. Bantah pandangan miring soal biodiesel dari dalam negeri

Upaya Membangun Kemandirian Energi, Biodiesel Jadi Andalan NegeriIDN Times/EBTKE

Selain itu ada tantangan lainnya dari dalam negeri. Soal program biodiesel ini, apakah hanya subsidi untuk pengusaha? Sementara petani sawitnya dianggap tak banyak mendapat manfaat.

"Saya mengatakan, kalau dulu puluhan tahun sampai saat ini ratusan triliun untuk minyak, tidak ada isu untuk perusahaan minyak di Arab atau Singapura. Tapi itu subsidi untuk rakyat. Sekarang kalau subsidi diberikan kepada perusahaan indonesia yang menyerap banyak tenaga kerja kok dibilang untuk perusahaan. Itu pemikiran yang tidak fair," katanya.

Rusman dari Dewan Pengawas Badan Peneliti Pabrik Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan program Biodiesel ini menjadi solusi yang tepat untuk menghemat devisa. 

"Sejak dulu produksi sawit berlebih. Jangan melihat bio diesel ini karena terpaksa membayar insentif lebih. Pada situasi saat harga indeks pasar solar fosil lebih rendah dari harga bio diesel, ada diferensi harga, pasti lari yang lebih murah. Kita tidak menjual solar murni lagi. Bio diesel salah satu cara menyerap kelebihan produksi Crude Palm Oil (CPO) dalam negeri. Sangat dimensional, menyerap kelebihan CPO supaya bisa dipake sendiri, mengurangi kebocoran devisa impor. Dengan CPO sebagai bagian dari energi tentu kita menghemat devisa," beber Rusman.

Baca Juga: New Normal, Konsumen Minta Lebih Banyak Produk Sawit Berkelanjutan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya