Sawit Indonesia Dihantam Kampanye Negatif, Media Harus Ambil Peran 

Kepentingan nasional harus jadi value yang dominan

Tantangan kelapa sawit sebagai komoditi strategis utama untuk Indonesia semakin berliku. Salah satu yang mengganjal adalah maraknya kampanye negatif atau black campaign yang muncul di dalam dan luar negeri soal sawit. Untuk menghempang kampanye negatif ini, peran media dalam negeri sangat dibutuhkan. 

Ada kecenderungan serangan yang semakin tajam diarahkan ke kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Itu dibuktikan dengan serangan negatif soal kesehatan dan lingkungan yang terus diarahkan ke industri kelapa sawit Indonesia.

"Sawit selalu dikaitkan dengan deforestasi, kebakaran hutan, sawit dianggap kurang sehat karena kolesterol, membutuhkan air yang lebih banyak dan pemahaman salah yang diterima masyarakat selama ini bisa merugikan industri nasional sawit jangka panjang," kata Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman saat program jurnalistik fellowship yang digelar BPDPKS pada 29-30 Juni 2020 lalu.

1. Selain Uni Eropa yang menyudutkan juga kampanye negatif dari dalam negeri

Sawit Indonesia Dihantam Kampanye Negatif, Media Harus Ambil Peran Salah satu pabrik pengolahan TBS kelapa sawit di PPU (IDN Times/Ervan Masbanjar)

Uni Eropa juga semakin menyudutkan sawit Indonesia dengan kebijakan EU Renewable Energy Directive II (EU RED II) dan Delegated Regulation yang mengategorikan minyak sawit ke dalam komoditas yang berdampak pada penggunaan lahan tidak langsung atau Indirect Land Use Change (ILUC) tinggi. Artinya mereka menuding sawit Indonesia berperan besar atas deforestasi. Indonesia juga sudah menggugatnya ke World Trade Organization (WTO) akhir 2019 lalu.

Uni Eropa juga mengusulkan batas maksimum kandungan sawit  3-monochlorpro-pandiol ester (3-MCPD Ester) dan glycidol esters (GE) sebesar minimal 2,5 ppm. Upaya diskriminasi karena minyak sawit dianggap bahan makanan yang lebih berbahaya dibanding minyak nabati lainnya. Sementara pemerintah ingin batas minimum tetap 1,25 ppm.

"Minyak sawit dibanding nabati lain mana lebih efisien? 1 ton minyak hanya butuh lahan 0,26 hektare. Soya saja butuh 2 hektare, bunga matahari, rapeseed juga lebih. Tapi dunia gak ada tuh yang ribut. tapi kalau palm oil semua ribut. data-data seperti ini sangat jarang muncul ke permukaan. Coba cari di google, deforestasi versus palm oil banyak sekali ditemukan. Saya gak ngerti kenapa isu luasan kecil minyak sawit tapi seluruh dunia ngomongin. Dana-dana research dari negeri-negeri Eropa mengalir di Indonesia," kata Dr Bandung Sahari dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) yang juga berbicara dalam webinar BPDPKS itu.

Belum lagi hantaman dari dalam negeri. Program biodiesel yang saat ini digalakkan dianggap menguntungkan pengusaha sawit saja dan mengabaikan petani sawit.  Soal isu tersebut, Plt Asisten Deputi Perkebunan dan Holtikultura Kementerian Koordinator Perekonomian, Muhammad Syaifullah  mengatakan program biodiesel merupakan upaya agar Crude Palm Oil (CPO) tetap stabil di pasaran. Hal itu dilakukan agar stok CPO tidak menumpuk dan meningkatkan demand dalam negeri. 

"Program mandatory B30 menjadi salah satu instrumen stabilitasi harga Crude PO karena setiap pengurangan 1 juta ton stok CPO akan menaikkan harga CPO dolar 96/MT. Program B30 diproyeksikan mengurangi stok 2,8 juta ton stok CPO tahun 2020," kata Syaifullah dalam webinar fellowship yang digelar BPDPKS.

"Memang kebijakan belum memuaskan semua pihak. Tapi memang cara mengomunikasikannya yang saya akui masih harus diperbaiki. Efek dominonya ke tingkat petani. Terjejal informasi lainnya, jadi terdistruksi dengan pertanyaan 'kenapa BPDPKS lebih menolong pengusaha biodiesel yang uangnya lebih banyak dari petani sawit sendiri? Jadi perlu komunikasi agar lebih sampai maksudnya dengan jelas," tambahnya.

BPDPKS sendiri berupaya melakukan sosialisasi dan edukasi terus menerus untuk program sawit berkelanjutan. Hal ini dilakukan agar sawit tetap bertahan jadi komoditas utama. Apalagi menurut Ketua Dewan Pengawas BPDPKS Rusman Heriawan, dari data yang dihimpun,  sawit adalah industri besar yang melibatkan setidaknya 22 juta pekerja dari sektor hulu ke hilir. Apalagi kontribusi ekspor sawit terhadap ekspor non migas dalam 5 tahun terakhir mencapai rata-rata 13,6 persen. 

Pihaknya memang cukup kerepotan meng-counter isu-isu negatif tersebut. "Persoalannya kampanye negatif di-counter satu per satu dan itu kurang efisien. Kita memerlukan satu platform kampanye positif bersama-sama baik oleh perusahaan, pemerintah dan pihak terkait. Kita belum punya itu," kata Rusman, Senin (29/6).

Rusman tidak ingin bernasib sama seperti komoditas lain yang dulunya sempat merajai. Seperti kopi, tebu, di mana dulunya Indonesia produsen papan atas untuk komoditas ekspor.

"Tapi sekarang kalau tidak diurus dengan baik akan tergeser lain. Jika tidak memikirkan kelanjutan itu jadi pemain minor di dunia ini. Sawit yang kita banggakan jangan nasibnya seperti program lainnya. Lebih baik kita pikirkan sekarang. Walaupun ada tambahan ongkos, misalnya karena harus menjaga lingkungan," beber Rusman.

Diakuinya, industri sawit mengalami berbagai permasalahan baik dari sektor hulu sampai dengan hilir. Pendirian BPDPKS yang bertugas menghimpun, mengelola, menyalurkan dana untuk berbagai program untuk stabilisasi harga, peningkatan kesejahteraan petani dan pengembangan industri sawit berkelanjutan.

Baca Juga: Banyak Kampanye Negatif Soal Sawit, Ini yang Dilakukan BPDPKS

2. Upaya strategis BPDPKS dan kampanye positif media

Sawit Indonesia Dihantam Kampanye Negatif, Media Harus Ambil Peran Dirut BPDPKS Eddy Abdurrachman (zoom/BPDPKS)

Beberapa upaya strategis pun dilakukan BPDPKS antara lain program kesejahteraan petani lewat program peremajaan sawit rakyat, riset sektor hulu, sarana dan prasarana, dan pelatihan petani serta SDM industri sawit. Selain itu stabilisasi harga minyak sawit mentah dengan dukungan pendanaan biodiesel, promosi dan advokasi sawit positif untuk memperluas pasar domestik dan luar negeri, serta riset pasar dan produk dalam rangka menyusun kebijakan terkait penguatan, pasar sawit.

BPDPKS juga berupaya memperkuat industri hilir dengan riset dan pengembangan program konversi sawit menjadi Bio-Hydrocarbon Fuel, serta dukungan pada program hilirisasi lainnya.

"Selain itu ada beberapa inisiatif strategis seperti mempertahankan pasar utama ekspor seperti Tiongkok, India, Paskitan dan Eropa serta perlu juga dibuka pasar baru seperti Afrika, Asia, Tengah dan Timur Tengah," tambah Rusman.

Pembentukan narasi kampenye sawit Indonesia juga akan dilakukan sehingga terdapat bahasa yang sama dalam menyuarakan isu-isu sawit Indonesia di luar negeri. Misalnya aspek keamanan produk sawit sebagai makanan, isu deforestasi, kebakaran hutan, pengurangan emisi, aspek HAM seperti tuduhan penggunaan tenaga kerja di bawah umur. 

Untuk itu perlu peran penting media dalam mensosialisasikannya ke publik soal informasi-informasi penting soal perkembangan industri kelapa sawit yang sebenarnya punya banyak sisi positif. 

Ketua Hubungan Lembaga dan Internasional Dewan Pers, Agus Sudibyo mengatakan, media harus memahami seperti apa kedudukan sawit dibanding penghasil minyak nabati lain. Menurutnya ada dimensi kekuasaan yang bisa dibedah dalam isu sawit. Mulai dari negara penghasil sawit versus negara penghasil minyak nabati yang lain, negara produsen minyak nabati dengan negara konsumen minyak nabati, Indonesia versus Uni Eropa dan Pers Nasional versus pers Barat.

"Uni Eropa juga negara produsen dengan konsumen yang jauh lebih kompleks. Ada berbagai faktor mulai dari perang dagang, persoalan geo politik, tentu ada kepentingan Uni Eropa terhadap sawit. Belum lagi isu negatif dari dalam negeri. Jurnalis juga harus kritis terhadap LSM, tidak hanya kepada industri. Jadi harus mendapat porsi yang sama," beber Agus yang juga berbicara di program fellowship journalist yang digelar BPDPKS.  

Agus mengatakan media harus kritis dengan lebih dulu mengetahui sejarah perkembangan sawit, bunga matahari, kedelai (soya), rapeseed yang menjadi pesaing dalam menghasilkan minyak nabati. Selain itu harus mempunya responsibility dengan tidak memiliki kepentingan, berpihak, terpengaruh media framing pers Barat dan selalu memperhatikan dampak pemberitaan. 

Dia mencontohkan media di Thailand yang melindungi kepentingan nasional saat terjadi demonstrasi besar dengan menampilan foto-foto demo yang damai. Dampaknya ke kunjungan wisatawan ke daerah tersebut yang tetap terjaga.

"Kebebasan pers kalau tidak hati-hati betul bisa merugikan nasional dan merugikan negara lain. Kepentingan nasional harus jadi value yang dominan. Kita menghubungkannya dalam kebebasan pers dalam konteks persaingan antar negara. Apa yang harus dilakukan pers memberitakan hal-hal yang nyata terjadi misalnya ada penindasan. Pers tidak perlu menutupi fakta, tapi mempertimbangkan dampaknya terhadap kemakmuran publik, kemiskinan, kesejahteraan bersama dan HAM," tambahnya.

3. Penerapan Sawit Berkelanjutan sudah berlangsung hingga ke pedalaman Indonesia

Sawit Indonesia Dihantam Kampanye Negatif, Media Harus Ambil Peran Julhadi Siregar Ketua Gapoktan Sawit Maju Bersama Kecamatan Muara Batangtoru, Tapanuli Selatan (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Upaya untuk menerapkan sawit berkelanjutan seperti yang disyaratkan Uni Eropa, sebenarnya sudah dilakukan. Bahkan hingga ke pedalaman. Seperti baru-baru ini Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Conservation International (CI) Indonesia melalui program Good Growth Partnership (GGP) UNDP dengan mendampingi dan memberikan Sekolah Lapang pada petani sawit di empat kecamatan di pedalaman yang berbatasan dengan hutan.

Para petani tersebut didampingi dan ditargetkan memperoleh sertifikasi sawit yang berkelanjutan (RSPO). Seorang petani peserta Sekolah Lapang bernama Julhadi merasakan perubahan dari awalnya menggunakan bibit sawit sembarangan, menyemprot pupuk dan hama tidak sesuai aturan dan ternyata diketahui tidak baik untuk lingkungan. 

Pengetahuan seperti ini, menurutnya akan membuat warga berhenti merambah hutan yang kebetulan berbatasan dengan Desa Muara Manompas. Petani diajarkan memaksimalkan lahan yang ada dan tidak lagi merusak hutan untuk membuka lahan baru.

“Kalau dulu panennya sedikit pasti warga berniat buka lahan baru lagi agar lebih luas. Sekarang masyarakat sudah sadar bahwa hutan harus dijaga dan dengan bertani sawit yang benar, maka hasil panen akan maksimal,” kata Julhadi yang merupakan Ketua Gapoktan Sawit Maju Bersama Kecamatan Muara Batangtoru ini kepada IDN Times beberapa waktu lalu.

Selain itu ada juga petani sawit di Desa Binasari Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan, provinsi Sumatera Utara yang berusaha mempertahankan keberadaan Hutan Lindung Angkola Selatan dan Hutan Batang Gadis. 

Masyarakat diajarkan untuk tidak melakukan perluasan kawasan hutan di hutan lindung, perburuan satwa di hutan lindung, mengambil hasil hutan bukan kayu tanpa izin, dan menjaga sempadan sungai, melakukan patroli bulanan dan aksi sosial di hutan lindung.

Selain mengedukasi masyarakat untuk tidak merusak hutan lindung, pabrik kelapa sawit di Batangtoru, Tapanuli Selatan juga sudah memiliki kesadaran yang sama.

PKS milik PTPN III Hapesong misalnya. Mereka secara tegas akan menolak buah sawit dari petani sawit yang merambah hutan lindung. Untuk itu, sebelum bisa memasok kelapa sawit ke PKS PTPN III Hapesong, warga harus mendaftar dulu dan lahan sawitnya akan disurvei.

"Kita gak akan menyetujui permohonan kalau lahan sawitnya di hutan lindung atau sudah merusak hutan," kata Masinis Kepala PKS Hapesong, Monica Manurung.

Ini mendorong masyarakat untuk benar-benar merawat sawit agar berkelanjutan dan tidak merusak hutan. “Jadi kelapa sawit yang tiba, kita sortir, jika ada yang tidak sesuai akan dikembalikan kepada pemasok. Kita pastikan kelapa sawit yang masuk pabrik tidak ada masalah termasuk pengirimnya juga harus jelas,“ kata Monika Manurung.

Menurut Monika, pemberitaan-pemberitaan seputar sawit berkelanjutan seperti ini harus terus dikampanyekan dan di-blow up oleh media-media Indonesia untuk menghempang kampanye negatif dari dalam dan luar negeri. Sehingga industri kelapa sawit Tanah Air, dari hulu hingga hilir bisa lebih maju, sejahtera, dan bisa diterima pasar Internasional. 

Baca Juga: Bersama BPDPKS, Balitbang ESDM Lanjutkan Sosialisasi B30

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya