Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik Kelas

Terselip kampanye Zero Waste untuk kurangi limbah tekstil

Barang bekas terutama kategori fashion sejak dulu selalu ada peminatnya. Belakangan populer dengan istilah thrifting.

Pada prinsipnya, thrift merupakan pengertian dari berhemat. Artinya, para pengguna bisa tetap memakai barang bermerek, namun dengan harga yang lebih miring.

Anak muda saat ini tak malu menyebut pakaian yang dikenakannya adalah hasil thrifting. Karena buat mereka, thrifting pun bagian dari fashion dan gaya hidup masa kini.

Mulai dari pakaian, sepatu, topi, celana dan lainnya dengan harga yang variatif dijual. Tergantung pada merk dan kualitasnya. Tentunya jauh lebih rendah dari harga baru. Biasanya barang-barang branded bekas yang kebanyakan juga diimpor dari negara lain. Kalau beruntung bisa dapat yang limited edition.

Budaya ini sebenarnya sudah ada sejak lama di berbagai negara. Termasuk Indonesia. Istilahnya juga berbeda-beda di tiap daerah. 

Awalnya muncul sentra penjualan fashion bekas yang mirip pasar tradisional. Namun seiring perkembangan zaman, muncul thrift shop offline seperti distro dan juga dijual online.

Bisnis ini sekarang ramai digeluti para millennial. Jadi bisnis yang menjanjikan dan akhirnya kini menjamur. Konsumennya juga dari berbagai kalangan, termasuk yang berdompet tebal. Tak ada cerita gengsi, karena kini barang-barang bekas itu justru naik kelas. Berikut cerita pejuang thrifting dari berbagai daerah Indonesia.

1. Awalnya hobi cari baju bekas, ternyata diminati teman dan jadi cuan

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasSyamsul Hidayat pemilik Bilik Thrift Shop menunjukkan busana second hand yang dijual di pameran Thrift and Clothing Expo di Plasa Simpang Lima Semarang, Jumat (3/6/2022). (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Di Kota Medan, Sumatra Utara, istilah pakaian bekas dikenal dengan Monza. Sejatinya, istilah ini adalah akronim dari Monginsidi Plaza. Lantaran, Jalan Wolter Monginsidi di Kecamatan Medan Polonia, menjamur penjual fesyen bekas. Istilah Monza tetap eksis meski pun di jalan tersebut, hampir tidak ada lagi penjual pakaian bekas.

Kini pusat perdagangan Monza di Medan bertebaran di beberapa pasar. Yang paling sering menjadi incaran para pemburu biasanya di Pajak (red: Pasar dalam istilah lokal) Melati dan Pajak Simalingkar. Tidak hanya konsumen yang berbelanja di sana. Para pedagang eceran juga berburu barang di sana. Pertumbuhan pedagang fesyen bekas di Kota Medan cukup masif. Para ‘pemain’ baru terus bermunculan belakangan. Memanfaatkan tren yang ada untuk mencetak cuan.

Salah satunya Ical. Awalnya dia  hobi memakai pakaian – pakaian bekas. Alasan Ical, kualitasnya lebih baik ketimbang barang-barang baru. Lambat laun, barang-barang yang dipakainya dilirik sesama pehobi barang bekas. Hingga akhirnya dia mulai menjual barang-barang bekas miliknya. Ical melihat ini menjadi peluang. Dari situ  dia mulai mencari barang-barang yang punya nilai dan digandrungi. Dia mulai menawarkan barang miliknya kepada teman-teman dekat. Dia melihat ada peluang tambahan ekonomi saat itu.

“Lumayan membantu, untuk penghasilan sampingan saat itu bang,” kata Ical.

Dari awalnya sampingan, Ical kini semakin serius di dunia thrifting. Sudah empat tahun dia menjalani bisnis itu. Dia melihat pemasaran melalui media sosial. Saat itu, mulai bermunculan para pedagang pakaian bekas. “Ini saya lihat potensinya cukup besar untuk menjangkau konsumen,” ungkapnya.

Ada juga yang membuka thrift shop karena bangkrut dari usaha sebelumnya. Salah satunya Abah Hamidun. Dia terpaksa menutup perusahaan ekspedisinya karena tidak mampu bertahan saat pandemik. Di sela-sela upaya mencari sumber pendapatan lain dia mendapat inspirasi saat melihat media sosial. Saat itu dia menonton siaran langsung orang berjualan sepatu bekas.

“Saya lihat facebook orang di Riau. Asal dijembreng sepatu itu laku. Saya lihat kok menarik ini. Saya tertarik untuk mencoba,” ujar Abah.

Abah mengingat, di awal 2021, dia memulai usaha sepatu bekasnya. Dia membawa 20 pasang sepatu bermerek asal Tanjung Balai. Kota di Sumatra Utara yang menjadi sumber berbagai barang bekas dari luar negeri. Dalam dua hari, Abah berhasil menjual 20 pasang sepatu itu. Untungnya juga lumayan. Abah melihatnya menjadi peluang. Niatnya  berjualan sepatu bekas kian bulat.

Baca Juga: Naik Turun Tren Berbisnis Thrift Shop di Palembang 

2. Mencari barang thrift dengan hunting hingga beli bal atau per karung

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasThrift shop pasar baru/Doc.Istimewa

Jika di Medan disebut Monza, di Yogyakarta dan beberapa daerah Jawa lainnya seperti Semarang, istilah awul-awul adalah gambaran mencari pakaian lawas di pasar malam dengan berbagai macam kondisi pakaian dengan harga murah.  Meningkatnya minat pada pakaian bekas ini juga membuat geliat usaha bisnis pakaian tersebut ikut naik.

Ada berbagai cara mendapatkan barang-barang fesyen bekas. Syamsul, pedagang thrift shop @bilik.thrift asal Semarang menjadi seorang hunter atau berburu satuan. Ditemani sang istri, ia rela berkeliling kota seperti ke Bandung, Malang, Surabaya, Yogyakarta, hingga Jakarta. Apabila barang belanjaan sedikit ia membawa sendiri baju-baju tersebut, tapi kalau banyak ia kirim menggunakan ekspedisi. Mayoritas baju-baju yang dijual adalah busana perempuan bergaya Korean Style.

Syamsul membandrol sebuah blouse mulai harga Rp35 ribu, dress mulai harga Rp70 ribu–Rp80 ribu, celana Rp80 ribu. Dari pakaian itu ia bisa mengambil untung sekitar 60 persen hingga 75 persen

‘’Saya mengambil pasar penyuka baju-baju Korea karena memang lagi tren sekarang. Konsumen saya pun beragam mulai remaja usia SMP bahkan ada juga usia 50 tahun karena anaknya beli ibunya jadi pengen. Selain itu, juga ada mahasiswa atau pekerja kantoran,’’ jelasnya.

Sementara Riqa, perempuan asli Yogyakarta yang sudah sejak 2017 berkecimpung di usaha pakaian bekas ini juga mengawalinya dengan hunting. Namun sejak bisnisnya berkembang, Riqa sudah bisa mengambil bal atau per karung. "Kalau sekarang ambil yang bal, sekali ambil bisa sampai 10 sampai 12 bal," terangnya.

Bal itu ada berbagai jenis. Riqa mengaku satu bal beratnya 90-100 kg. Soal harga, tergantung dengan kualitas yang diinginkan berdasarkan grade-nya. Semakin bagus gradenya semakin mahal. Bisa mencapai ratusan juta rupiah lho!

"Jadi kalau bal itu ada 3 grade, yaitu A, B, dan C. Yang paling laris justru barang dari grade C," terang Rika.

Fahri, pedagang thrift di Jalan Kayu Manis, Lampung mengatakan satu bal pakaian biasanya didapatkannya dari daerah lain seperti Jakarta, Bandung, dan Palembang dengan sistem per bal.

“Saya mah gak pernah beli langsung dari luar (negeri), ya masih Indonesia aja. Tapi distributor kita di Jakarta, Bandung, Palembang itu memang dapat barangnya dari luar negeri sih,” kata Fahri.

“Kalau celana itu paling gak sampai 150 biji per balnya. Harganya juga beda-beda, misalnya kaus itu ada yang 10 sampai 15 juta, sedangkan kemeja cuma 11 juta (per bal),” tambah Mama Aldi, pedagang thrif shop Lampung lainnya.

Baca Juga: Cerita Pedagang Thrift Lampung Banyak Suka Duka, Omzet Tak Menentu

3. Keuntungan besar, punya toko sendiri hingga mobil hingga jadi investasi

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasSuasana event thirft di Jatim Expo Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Keuntungan berjualan fesyen bekas menjanjikan. Dia sudah memanen dari hasil usahanya.

"Ya gak munafik ya sebagai manusia, keuntungan jualan kayak gini memang besar," bebernya  ketika ditanya perihal omzet.

Ia tak menyebut sebuah angka, tapi dari hasil berjualan baru bekas ia sudah memiliki toko sendiri, mobil, dan menabung. Riqa sendiri mengaku gak terlalu suka belanja barang dan lebih berminat menabung dari penghasilannya.

Ada juga yang menjadikan thrifting untuk investasi. Seperti Fizari Mochamad Zaki. Pemuda 18 tahun asal Rangkasbitung, Kabupaten Lebak itu kerap menjual dengan tinggi karena langka atau dari merek ternama dunia.

"Beli buat jual lagi kadang-kadang, tapi kalau barang bagus saya suka saya simpan, dijual kalo ga cocok. Pernah beli jaket parasut merek mahal yang bisa jutaan rupiah," kata Zaki.

Zaki menyontohkan, sebuah jaket dari merek ternama ia beli dengan harga ratusan ribu rupiah, ketika dilihat di internet barang tersebut berilai di atas Rp5 juta. Barang seperti itulah yang ia bisa jual lagi dengan mencari keuntungan selisih dari harga pembelian.

"Harga jauh lebih murah. Paling Rp300 ribu ke bawah, aslinya Rp7 juta itu bentuknya jaket baju hangat dari merek ternama," kata Zaki.

Baca Juga: Bilik Thrift di Semarang Rela Keliling Kota Berburu Baju Bekas Korean Look 

4. Thrifting fashion dari pasar ke pameran hingga punya komunitas yang masif

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasToko Mama Aldi, penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Bicara soal thrift tentu mulanya dari tradisional. Di Bali yang terkenal dengan pariwisata kelas dunianya punya berbagai sentra penjualan barang thrifting. Misalnya Pasar Kodok, Kabupaten Tabanan dan Marlboro Jalan Teuku Umar, Kecamatan Denpasar Barat. Lokasi ini menjual fesyen bekas dengan kapasitas yang lumayan besar. Selain itu ada pula penjual baju bekas ini di beberapa lokasi pasar rakyat di Denpasar.

Sekitar 10 lokasi thrifting fashion di Jalan Teuku Umar Barat terlihat selalu ramai. Mereka buka mulai sore hari hingga sekitar pukul 22.00 Wita di lahan pekarangan di pinggir jalan raya. Di lokasi tersebut beraneka jenis fashion bekas dengan berbagai merek biasa dan terkenal diperjual belikan. Harganya pun terbilang miring, kisaran Rp25 ribu hingga Rp175 ribu.

Sementara Nur Satrio Prabu dari Jawa Timur mengatakan thrifting sudah memasuki level baru. Saat ini, kata Tio, baju thrift lebih mudah ditemui. Selain ada sejumlah event khusus, tren ini semakin menjamur karena pedagang baju-baju ini juga memiliki stand di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya.

"Di pasar Tugu Pahlawan pagi dan Gembong masih eksis. Tapi sudah masuk era modern, The Next Thirfting lah. Dulu dianggap sampah sekarang sudah jadi lifestyle," kata Tio.

Ada berbagai event thrift di Surabaya. Salah satunya Jatim Expo Surabaya. Apalagi komunitasnya juga besar. Tio mengaku soal stok-stok barang didapat dengan mudah karena kerap menggelar even di Jatim bersama komunitasnya. "Biasanya ada event tiga bulan sekali. Kalau event di Jatim Expo kita hampir tidak pernah gagal, tiga kali di Jatim Expo itu selalu ramai, event-nya 7 sampai 10 hari."

Baca Juga: Cerita Pengusaha Thrift Tradisional di Makassar, Untungnya Besar!

5. Metode baru berjualan online, live lewat instagram hingga TikTok

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasIlustrasi TikTok. IDN Times/Arief Rahmat

Menariknya, metode penjualan barang-barang thrift ini juga semakin menyesuaikan era digital saat ini. Misalnya berjualan live lewat TikTok.

"Kemarin lagi ramai-ramainya nih karena jualan lewat TikTok. Jadi kami live gitu jualannya," ungkap Riqa dari Jogja. Ia sendiri mengaku bahwa berjualan melalui aplikasi satu itu malah lebih menguntungkan daripada marketplace.

Selain live di TikTok, Riqa juga sering mengadakan live di Instagram. Perempuan berusia 20 tahun ini memilih gak menggunakan koleksi lawasnya untuk dipromosikan melalui live streaming.

"Biasanya toko-toko lain itu live pakai barang lama ya, nah kalau kami gak seperti itu. Kami bedakan yang buat jualan di toko dan buat live. Pembeli yang sering ke toko atau pantau medsos tuh pasti tau itu koleksi lama atau bukan," tambahnya.

Hal yang sama juga dilakukan Abay, pemilik Satuaja Thriftt Palembang. Selain memakai konsep distro dengan memajang pakaian yang lebih selektif, dia juga rajin jualan di medsos.

"Kita juga memanfaatkan live di media sosial untuk menarik pasar dan konsumen," kata Abay.

Baca Juga: Pejuang Thrifting di Medan, Ada yang Sekedar Hobi Hingga Raup Cuan

6. Kampanye soal Zero Waste di balik maraknya thrifting

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasSeorang pembeli baju thrifting sedang mencoba pakaian yang dijual toko Restory. IDN Times/Debbie Sutrisno

Namun di balik fenomena fesyen thrifting, ada semangat zero waste yang digaungkan. Konsep berjualan barang bekas yang punya fokus pada pengurangan limbah tekstil dilakukan Restory asal Bandung. Salah satu toko thrifting yang berjualan di The Hallway Space, Pasar Kosambi, ini lebih banyak mengubah produk yang pernah dipakai agar bisa digunakan kembali.

Sayudha, salah satu pemilik Restory menuturkan, konsep yang dimiliki tempat usahanya adalah rework, recycle, dan reuse. Ini diambil karena Restory memiliki pemikiran bahwa barang bekas yang sudah pernah dipakai sebenarnya bisa dimanfaatkan kembali baik dengan perubahan pada kegunaannya. atau dikombinasikan sehingga punya daya tarik tersendiri.

Dengan konsep rework misalnya, pakaian bekas yang ada di toko ini merupakan produk kombinasi dengan desain tersendiri. "Kita konsep agar barang yang dipikir orang jelek atau tidak ada nilainya, terus kita rework lagi agar menarik konsumen untuk dimiliki," ujar pria yang akrab disapa Aduy ini.

Di toko Restory, banyak pakaian seperti jaket dan kemeja yang didesain ulang menggabungkan dua hingga tiga pakaian menjadi satu. Konsep ini yang coba diterapkan, sehingga barang yang dijual berbeda dengan penjual thrifting lain yang hanya menjual barang bekas hasil impor.

Untuk membuat pakaian atau barang bekas mempunyai nilai jual, Aduy dan rekan-rekannya tidak asal mengambil barang. Mereka memilah lebih dulu baik barang bekas yang sudah ada di pasar, atau barang pribadi yang kemudian bisa didesain ulang.

"Gak asal beli dalam bentuk bal-balan gitu. Jangan hanya mengejar ingin punya pakaian dengan brand tertentu gitu. Kami lebih lebih selektif memilih barang yang ada atau limbah lah terus dimanfaakan lagi. Karena orang semakin ke sini juga lebih terbuka, gak harus beli barang baru terus kan," kata dia.

Sementara itu Pengamat lingkungan sekaligus Ketua Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) Lampung, Irfan Tri Musri menanggapi adanya thrift shop sebenarnya cukup berdampak baik untuk mengurangi sampah pakaian di bumi.

“Selain itu ini bisa disamakan juga seperti memberi nilai ekonomi terhadap barang-barang yang sudah tidak dibutuhkan,” katanya.

“Menurut saya thrift juga sebagian dari upaya zero waste sih, menunda munculnya sampah. Tapi jadi problema juga sebenarnya karena sekitar 60-70 persen barang thrift itu kan dari luar negeri. Makanya kalau UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang larangan impor baju bekas itu, saya pikir pemerintah jangan terlalu ketat lah, karena banyak juga masyarakat kita menggantungkan hidup di sentra ini,” jelasnya.

Dosen Jurusan Produksi Garmen Konsentrasi Fashion Desain Politeknik-Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT) Bandung, Irfa Rifaah mengingatkan salah satu persoalan dengan adanya tren thrifting adalah limbah teksil yang pasti lebih banyak. Karena barang yang dijual mayoritas adalah barang impor, maka pakaian yang seharusnya menjadi limbah di negara lain malah punya nilai ekonomi di Indonesia.

Meski demikian, ancaman limbah fesyen itu bisa diminimalisir ketika masyarakat tidak konsumtif dalam berbelanja. Artinya, mereka bisa mencari baju yang memang sesuai dan digunakan dalam jangka waktu panjang. Pembelian barang bekas harus yang berkualitas sehingga tidak cepat terbuang menjadi limbah tekstil.

"Terlebih thrifting sendiri istilah yang sebenernya mengerucut pada barang vintage yang dijual kembali (second). Jadi barang vintage harus diselidiki dl kondisinya sebelum dibeli," ujar Irfa.

Menurutnya, niat awal masyarakat untuk memperluas tren fesyen thrifting sudah baik. Sayangnya, edukasi yang kurang pada masyarakat membuat soal thrifting membuat konsumen lebih konsumtif ketika melihat barang bekas yang bagus dengan harga murah.

Baca Juga: Pemuda di Rangkasbitung Manfaatkan Thrifting untuk Investasi

7. Tak selamanya mulus, harus hadapi risiko yang tinggi

Fenomena Thrift Shop, Bisnis Fashion Bekas yang Kini Naik KelasToko penjual pakaian thrift di Jalan Kayu Manis. (IDN Times/Rohmah Mustaurida).

Ya, namanya bisnis tentu ada suka dan duka. Bisnis ini juga punya rintangan. Soalnya ada larangan pemerintah soal perdagangan pakaian bekas impor nasional yang diatur dalam Pasal 47 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2014 tentang perdagangan lalu Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 51/M-Dag/Per/7/2015 Tahun 2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas. 

Untung besar, risiko juga tinggi. Abah Hamidun dari Medan mengatakan risiko mengalami kekosongan barang kerap terjadi. Karena tak jarang, distribusi dari penyedia barang terjaring razia. Karena, barang-barangnya dinilai tidak memiliki izin masuk ke Indonesia.

“Yah kalau risiko itu memang harus ditanggung. Kalau udah kena razia, barang kita  kosong,” ungkap Abah.

Dia berharap, pemerintah bisa melakukan kajian kebijakan terkait barang bekas yang masuk ke Indonesia. Karena aktifitas perdagangan barang bekas memberikan dampak positif pada perekonomian di masyarakat. Di tengah sulitnya perekonomian dan lapangan pekerjaan saat ini.

Selain itu risiko mendapatkan barang-barang yang jelek jika membeli dalam karung juga kerap terjadi. Seperti yang dialami pemilik Second Style Store Balikpapan  yang berlokasi di Kelurahan Margomulyo, Kecamatan Balikpapan Barat.

"Kalau dukanya kalau kita buka bal hasilnya kadang jelek semua, bingung cara jualnya seperti apa," keluhnya.

Kadang kadang barang yang dia beli tidak sesuai dengan harapan. Sehingga terkadang bukanya untung tetapi sebaliknya malah buntung. 

Nah, tertarik untuk merintis usaha thrift shop? 

Baca Juga: Geliat Thrifting di Jogja, Berubah dari Cari Merek ke Gaya

Tim Penulis: Prayugo Utomo, M Ibal, Anggun Puspitoningrum, Fariz Fardianto, Ayu Afria Ulita Ermalia, Juliadin JD, Muhammad Nasir, Dyar Ayu, Sri Wibisono, Khusnul Hasana, Rohmah Mustaurida, Feny Maulida Agustin, Debbie Sutrisno, 
Dahrul Amri Lobubun 

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya