TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Satu Tahun Tragedi Kemanusiaan yang Belum Selesai di Pulau Rempang

Masyarakat terus suarakan penolakan PSN Rempang Eco City

Aksi tabur bunga dalam mengenang tragedi 7 September 2023 di Pulau Rempang (IDN Times/Putra Gema Pamungkas)

Batam, IDN Times - Ratusan warga dari 16 kampung tua di Pulau Rempang menggelar aksi tabur bunga di Jembatan Penghubung Rempang-Setokok, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau.

Aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap kebijakan pemerintah, dan duka mendalam atas peristiwa tragis yang terjadi setahun lalu, pada 7 September 2023.

Tragedi tersebut hingga kini masih menyisakan luka mendalam bagi masyarakat setempat, terutama bagi mereka yang terus menolak Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco-City.

Dengan diiringi doa dan air mata, warga melemparkan bunga-bunga ke permukaan jalan jembatan. Aksi ini membawa pesan jelas bahwa keadilan bagi mereka belum ditegakkan.

Warga meyakini peristiwa kekerasan yang terjadi pada tahun lalu, termasuk tindakan represif dari aparat keamanan, merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum mendapatkan respons yang layak dari pihak berwenang.

Kenangan pahit yang masih segar di ingatan

Nenek Awe (70), warga Kampung Tua Pasir Merah, menjadi salah satu saksi hidup dari peristiwa setahun lalu. Dalam aksinya, ia dengan penuh emosi menceritakan kekejaman yang dialami oleh warga Pulau Rempang, terutama saat aparat keamanan menindak keras aksi protes warga.

Nenek Awe masih mengingat jelas bagaimana gas air mata ditembakkan secara brutal ke arah warga, bahkan hingga ke sekolah-sekolah, membuat anak-anak mengalami sesak napas dan harus dilarikan ke rumah sakit.

"Sangat zalim pemerintah saat itu. Nenek tidak bisa bayangkan kejadian itu terjadi di sini. Kami tetap melawan dan bertahan. Kami tidak akan takut lagi," ungkap Nenek Awe dengan suara lantang.

Jembatan penghubung antara Pulau Rempang dan Pulau Setokok menjadi saksi bisu atas tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Gas air mata, pemukulan, dan penyiksaan yang dialami warga di tempat itu kini menjadi kenangan kelam yang terus membayangi kehidupan mereka.

"Kami tengok sendiri, polisi tembak gas air mata, masyarakat dipukul, diseret seperti binatang. Anak-anak sampai masuk rumah sakit. Ini bukan sekadar pelanggaran, tapi penghinaan terhadap kemanusiaan," tambahnya.

Penolakan terhadap relokasi dan investasi Rempang Eco-City

Perlawanan warga Pulau Rempang terhadap kebijakan pemerintah terus menggema. Bagi mereka, tragedi setahun lalu bukan hanya soal kekerasan fisik yang diterima, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan yang seharusnya dijaga oleh pemerintah.

Miswadi (58), seorang warga Kampung Sembulang Hulu, menyuarakan penolakannya terhadap relokasi yang diusulkan oleh pemerintah. Ia menegaskan bahwa luka fisik mungkin sembuh, tetapi luka batin yang ditimbulkan oleh tindakan represif aparat masih menganga lebar.

"Kami ditembak pakai gas air mata, peluru karet, semua itu masih kami ingat. Hari ini, kami mengenang tragedi yang menyakitkan ini. Kami menolak relokasi, kami menolak investasi yang tidak memihak kami," kata Wadi.

Bagi warga Pulau Rempang, proyek pembangunan Rempang Eco-City dianggap sebagai ancaman terhadap keberlangsungan hidup mereka.

Mereka menilai proyek ini tidak membawa manfaat nyata bagi masyarakat lokal, tetapi justru lebih menguntungkan segelintir elit yang mengendalikan proyek tersebut.

"Intinya, warga menolak keras proyek pembangunan Rempang Eco-City. Kami melihat proyek tersebut sebagai ancaman terhadap kehidupan kami di tanah leluhur yang telah kami tempati selama ratusan tahun," pungkasnya.

Berita Terkini Lainnya