TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Winarto Kartupat, Konsisten Berseni dengan Pasir

Karyanya sudah terjual sampai luar negeri

Winarto Kartupat tengah merampungkan lukisan portrait di bengkel yang ada di rumahnya, Kamis (25/5/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)

“Kita harus mengikuti irama alam. Pasir ini tidak banyak warna. Jadi sesuaikan saja,”

Winarto Kartupat

Di dalam bengkelnya, Winarto bisa duduk berjam-jam, bahkan seharian penuh. Menggarap karya lukisan pasir, yang kini ditekuninya.

Satu buah lampu menyorot ke lukisan portrait yang tengah dia garap. Tangannya dengan seksama membubuhkan pasir. Memperhatikan detail lukisannya.

Masuk ke dalam rumahnya, langsung ketahuan jika Winarto memang seniman. Dari pelataran, tetamu sudah disambut pajangan seni berbagai rupa. Didominasi terbuat dari kayu. Di ruang tamu, berbagai karya milik Winarto tersusun rapi. Winarto juga kolektor barang lama. Vintage dan estetik istilahnya.

Rumah di bilangan Kelurahan Tanjunggusta, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara itu disulap menjadi galeri. Meski berukuran tidak terlalu besar, duduk di dalamnya begitu nyaman. Mata disuguhkan dengan karya-karya Winarto yang tidak ternilai.  

Jiwa seni sudah mendarah daging

Winarto Kartupat menunjukkan karya seni lukisan pasirnya. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sambil bersantai di sela melukis, Winarto menyempatkan diri bercerita dengan IDN Times. Laki-laki kelahiran Marike, Kabupaten Langkat, April 1965 ini sudah punya bakat seni sejak kecil. Darah seni itu diturunkan oleh ayahnya yang merupakan kerani --pegawai yang mengurusi administrasi-- di perkebunan.

“Orangtua saya itu penari,” kata Winarto memulai obrolan sambil melinting tembakau rokoknya, saat ditemui IDN Times beberapa waktu lalu.

Tamat SMA pada 1985, Winarto ingin melanjutkan studi ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Dia ingin mendalami kesenian di kampus yang berdiri 1964 itu.

Apa mau dikata, Winarto yang lulus tes, terlambat mendaftar ulang. Namun Winarto tidak kembali ke Sumatra Utara. Dia memilih untuk tinggal di Yogyakarta.

Lantas Winarto magang di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK), Yogyakarta. Bagong sendiri merupakan ayah dari seniman kondang Butet Kartaredjasa dan adiknya almarhum Djaduk Ferianto. Winarto begitu mengenal sosok Butet dan Djaduk.

Empat tahun Winarto mengasah ilmu keseniannya. Termasuk teater yang menjadi salah satu keahliannya. Sejumlah pementasan pernah dilakoni Winarto selama ada di Yogyakarta.

Jadi PNS dan tetap berkarya seni

Winarto Kartupat menunjukkan karya seni lukisan pasir pertamanya. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Tahun 1990, Winarto kembali ke Sumatra Utara. Dia kemudian mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Dia mendapat kedinasan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Budaya Sumatra Utara (UPT naungan Dinas Parekraf Sumut).

Alasan Win –sapaan akrabnya -- menjadi PNS cukup masuk akal. Dia ingin dapur tetap ngebul dari gajinya sebagai abdi negara. Sehingga dia tetap bisa berkarya seni. Win paham betul. Saat itu apresiasi terhadap seniman dan karya di Sumut belum bisa dijadikan penopang hidup. Beruntungnya, tempat dia berdinas, sejalan dengan bakatnya berkesenian.

“Saya baru saja pensiun. Tepatnya per 1 Mei saya purnatugas,” kata laki-laki berkacamata itu.

Selama berdinas di sana, Win banyak mengembangkan berbagai kesenian. Dia juga terlibat dalam berbagai pertunjukan teater. Seringnya, dia menjadi orang di belakang layar. Termasuk membuat properti teater.

Ide muncul dari topeng pasir

Winarto Kartupat tengah merampungkan lukisan portrait di bengkel yang ada di rumahnya, Kamis (25/5/2023). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Win mengajak IDN Times melihat-lihat karya lukisan pasirnya. Sebelum mengenal lukisan pasir, Win aktif dengan seni lukisnya di atas kanvas.

Win pun bercerita, ide membuat lukisan pasir muncul saat dia membuat properti untuk pertunjukan teater. Saat itu Win juga bergabung dengan Kartupat. Grup teater legendaris dari Sumut. Itu juga yang membuatnya dikenal sebagai Winarto Kartupat.

Mulanya, Win ingin membuat topeng. Dia ingin struktur topeng itu menyerupai batu. Win mengambil pasir dan menempelkannya ke topeng itu.

Dia kemudian terpikir untuk membuat lukisan dari pasir. Idenya pun kia mantap kala salah satu bagian di topengnya terlepas. Bagian yang terlepas itu coba ditambalnya dengan pasir. Nyatanya setelah ditambal, warnanya tetap berbeda. Justru hal ini yang menjadi inspirasi Win untuk berkarya.

Lukisan pasir pertama Win adalah ornamen tradisi etnis yang ada di Sumut. Kecenderungannya bentuk geometris.

Pada 1997, Win kemudian berkesempatan memamerkan hasil lukisan pasirnya. Dengan lukisan pasirnya, Win ingin menjadi pembeda dari karya seni rupa lainnya.

“Pertama kali saya bikin ornamen budaya. Isunya lokalitas. Akhirnya berkembang. Sekarang sudah berbagai macam. Saya sudah bisa bikin realis, portrait, dan lainnya dari pasir,” ujarnya.

Belajar dari irama alam

Winarto menunjukkan koleksi pasirnya yang berasal dari Qatar. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Dalam penggarapan seni lukis pasir, Win melakukan banyak percobaan. Dia belajar memahami betul struktur hingga warna pasir.

Kata Win, pasir punya perbedaan struktur dan warna di masing-masing daerah. Wajar saja jika dia punya koleksi pasir dari Aceh hingga Papua. Pasir-pasir itu biasanya di dapat, saat dia berkunjung atau pun mengikuti pagelaran seni di daerah-daerah.

Struktur dan warna dari pasir ini yang membuat lukisan Win punya ciri khas. Dia hanya memanfaatkan warna dari pasir yang ada. Win tidak pernah menggunakan cat, untuk mendapatkan warna yang dia mau.

“Kita harus mengikuti irama alam. Pasir ini tidak banyak warna. Jadi sesuaikan saja. Moyang-moyang kita juga berselaras dengan alam. Itu menjadi prinsip saya,” kata Win sambil menunjukkan koleksi pasir-pasirnya.

Saat baru menggarap lukisan pasir, karya Win nyaris monokrom. Tidak banyak warna, karena koleksi pasirnya masih sedikit. Saat ini, selain pasir dari Indonesia, dia sudah memiliki koleksi pasir dari luar negeri. Di antaranya dari Qatar dan Jerman.

Keterlibatannya di dalam PSBK, membuat Win dikenal baik oleh seniman di Yogyakarta. Ini menjadi nilai lebih Winarto. Bahkan, meski hijrah ke Sumut, Winarto masih terus mendapat undangan berbagai pameran di Yogyakarta. Begitu juga di tingkat nasional.

Win pun mendeklarasikan diri sebagi satu-satunya pelukis pasir di Indonesia. Pun banyak seniman lainnya yang menggunakan median pasir, tetapi dirinya tetap punya pakem yang dinilai sebagai ide orisinilnya.

“Kalau dibilang yang lain ada, yah ada. Pada abad ke 18 di Belanda ada yang melukis dengan pasir. Tapi sebagai tekstur. Dia dicat lagi. Di Indonesia, juga ada. Tapi dicat. Kalau saya, tidak dicat. Warnanya alami dari pasir,” katanya.

Karya lukisan pasir Win sudah mejeng di berbagai galeri. Dia juga sering ikut dalam pameran yang digelar Galeri Nasional (Galnas). Kian dikenal, orderan untuk melukis pasir mulai berdatangan. Lebih dari 50 tokoh nasional hingga internasional pernah dia lukis. Di antaranya, dari Gubernur Syamsul Arifin, Wakil Gubernur Musa Rajekshah dan lainnya. Dia juga pernah melukis seorang Banthe (pemuka agama Buddha) dari Thailand. Karyanya pun dipajang di rumah-rumah para tokoh itu. 

Tidak hanya di Indonesia, lukisan pasir Win sudah terbang ke berbagai negara. Di antaranya Malaysia, Singapura dan Amerika Serikat.

“Pesan guru-guru saya, jangan pernah jadi juara. Tapi jadilah yang pertama. Kita pasti awet,” imbuhnya.

Menjadi seniman bagi Win adalah anugerah sekaligus bekal hidup. Win menegaskan akan tetap konsisten pada jalur seni. Dia ingin memberikan pengaruh baik pada perkembangan kesenian di Sumatra Utara. Meskipun diakui dia, apresiasi terhadap kesenian di Sumatra Utara masih begitu minim.

Bagi Win, Sumut sebenarnya gudang kesenian. Sejumlah nama seniman besar juga lahir di Sumatra Utara. Sebut saja komponis Amir Hamzah Pasaribu, Sitor Situmorang, Amrus Natal Sya dan lainnya.

“Sumut itu kesenian itu nomor sekian. Beda sama di Jogja. Di sana seni nomor satu. Makanya saya waktu itu memilih ke sana,” ungkapnya.

Medan, kata Win, sempat memiliki etalase seni rupa. Tepatnya di Taman Lili Suhairy. Win sendiri pernah memajang karya-karyanya di sana. Hingga tempat itu digusur. Jejaknya pun hilang tinggal cerita.

Winarto ingin banyak seniman lahir dari Sumut. Sehingga, seni juga bisa menjadi identitas Sumatra Utara sebagai provinsi multi etnis.

“Sumut ini kaya akan budaya. Etnis kita paling banyak. Tapi ke mana karya seninya?” tanyanya.

Berita Terkini Lainnya