TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Herriansyah Bertugas Evakuasi Jenazah saat Tsunami Aceh

Tsunami Aceh adalah tugas tak terlupakan selama jadi relawan

Herri (baju biru muda), saat melakukan proses evakuasi orang terjebak dalam reruntuhan gempa di Nias pada 2005 silam. (Dok Pribadi)

“Aceh Gawat,”

Itu pesan singkat yang diterima Herriansyah pada saat bencana gempa bumi disusul tsunami di Aceh 17 tahun lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004. Herri bergidik. Lelahnya belum lagi hilang karena baru saja pulang setelah menjalani pelatihan di Cibubur mewakili bersama timnya mewakili kontingen Sumatra Utara.

Saat menerima pesan itu, Herri sedang berada di Kota Tebing Tinggi. Dia sedang mengisi pelatihan soal penanganan bencana di sana. Saat itu, Herri masih menjadi relawan di Palang merah Indonesia (PMI).

Baru saja membuka komputer jinjingnya (Laptop) untuk mengisi pelatihan, dia langsung menutupnya. Dia bergegas kembali ke Medan. Memang sebelum itu, dia sudah melihat pesawat militer berseliweran di langit.

Sebelum sampai di Kota Medan, dia sempat melakukan evakuasi jenazah nelayan di Serdang Bedagai. Saat tiba di pantai, dia melihat air laut surut. Saat itu ada rekannya sesama relawan, yang kembali menghubunginya supaya menjauh dari laut.

Setelah operasi pencarian nelayan itu usai, dia lantas bergegas ke Kota Medan. Sampai di Kota Medan, dia dipanggil oleh PMI untuk berangkat ke Aceh. Herri tidak banyak melakukan persiapan. Bahkan, dia hanya berbekal baju seragam PMI dan kaus ganti. Untuk logistik, dia hanya membawa biskuit kalengan dan dua botol air mineral.

Tanpa rasa  ragu, Herri berangkat bersama enam anggota timnya. Mereka menumpang pesawat Hercules dari Medan dan diterbangkan ke Sibolga.

“Dari sana, kami kemudian menumpang kapal. Bersama personel TNI dan AL. Itu kapal juga bawa logistik untuk bencana. Saat itu kami tidak tahu, itu kapal mau berlabuh di mana,” kata Herri, Jumat (17/12/2021).

1. Tiba di Aceh, Herri dan tim langsung bertugas mengevakuasi jenazah

Ilustrasi gempa (IDN Times/Sukma Shakti)

Ternyata kapal yang ditumpangi Herri berlabuh di Meulaboh, ibukota dari Kabupaten Aceh Barat. Herri langsung kaget melihat kondisi porak porandanya kawasan itu diterjang tsunami.

“Sampai sana saya langsung terdetak, ini parah,” ungkapnya.

Herri dan timnya menempati sebuah gedung perpustakaan yang belum rampung. Tempat itu juga dijadikan posko tempat menyimpan logistik.

Dia langsung melakukan briefing dengan anggota timnya. “Saya cuma sampaikan kepada mereka, kalau mau muntah silahkan  saja. Tidak ada yang jago di sini. Kalau sudah lelah, istirahat. Jangan dipaksakan,” ungkapnya.

Herri sempat tertegun. Dibakarnya rokok, diisapnya dalam. Sambil dia beradaptasi dengan udara di sana yang sudah begitu terasa bau jenazah di mana-mana.

“Kita kemudian langsung melakukan evakuasi jenazah. Kami bergabung dengan tim PMI di sana. Setiap hari evakuasi jenazah. Tidak habis-habis. Badan kami bau jenazah setiap hari,” ungkap Herri.

2. Tsunami Aceh menjadi bencana yang tidak terlupakan bagi Herri selama menjadi relawan

Potret Herri (paling kiri), disela tugas menjadi relawan. (Istimewa)

Hampir setiap hari, Herri dan timnya mengevakuasi jenazah. Mulai dari yang utuh hingga yang hanya bagian tubuh saja. Tidak ada rasa ngeri dalam diri mereka melihat tumpukan jenazah korban. Bagi mereka, itu sudah menjadi bagian tugas sebagai relawan.

Begitu banyak cerita yang berkesan bagi Herri selama melakukan proses evakuasi di sana. Bahkan hingga soal-soal yang berbau mistis.

Cerita yang menurut Herri paling berkesan adalah, mereka seolah dimudahkan saat melakukan evakuasi jenazah. Herri bahkan sampai merasa heran. Padahal banyak relawan sering berkeluh kesah tentang kesulitan evakuasi. Tetapi hampir tidak terjadi di timnya.

“Kami angkat jenazah pakai mobil Taft GT. Itu bukan mobil bak terbuka. Percaya gak percaya, kami bawa 15 jenazah sekali bawa. Kami susun rapi. Jenazah di dalam mobil. Kami duduk di atasnya. Itu terasa mudah setiap hari. Jadi ini saya kira cukup aneh juga. Kenapa kami rasanya banyak dimudahkan,” ungkapnya.

Tidak hanya proses evakuasi jenazah. Bahkan ketika mereka kesulitan logistik untuk makan, masyarakat juga serig membantu mereka. Misal dengan hanya sekadar memasakkan makanan untuk mereka.

“Jadi kami sering bersosialisasi dengan masyarakat. Kami juga tidak hanya mengevakuasi jenazah. Sesekali ada masyarakat butuh bantuan, misalnya membuat sambungan untuk air, membuatkan dapur darurat, menyiapkan tenda pengungsian, itu semua kami lakukan,” katanya.

3. Menghadapi stress dan trauma dengan saling bercerita

ilustrasi stres (pexels.com/Alex Green)

Herri mengakui, menjadi relawan adalah kegiatan dengan risiko dan tekanan mental yang tinggi. Dia harus pintar-pintar, mengelola stres. Karena dia juga harus menjadi pendorong bagi anggota timnya.

“Karena saya waktu itu dianggap paling senior di tim itu, saya koordinatornya, saya mencoba terlihat paling tegar. Supaya tim saya juga tegar,” ungkapnya.

Untuk meminimalisir tekanan mental, mereka selalu bercerita satu sama lain. Menceritakan apa saja yang mereka alami selama proses evakuasi. Itu kata Herri menjadi salah satu kunci agar tidak stres.

4. Cerita Herri dapat emas satu kaleng saat evakuasi memberikan pembelajaran soal luruskan niat

Herriansyah, 21 tahun menjadi relawan dalam kebencanaan dan musibah. (Saddam Husein for IDN Times)

Cerita menarik lainnya saat melakukan evakuasi di Meulaboh, adalah saat Herri menemukan satu kaleng yang berisi perhiasan. Herri sempat kaget, karena awalnya dia mengira itu hanya kaleng biasa. Tapi dia merasa ada yang janggal, karena kaleng biskuit itu terasa berat. Saat dibuka, Herri kaget, karena isinya adalah perhiasan.

Anggota tim yang lain juga tidak mengetahui isinya adalah perhiasan. Kaleng itu dibawa ke posko. Baru Herri menceritakannya kepada anggota tim. Sontak suasana posko berubah. Tampak lebih kaku dari biasanya. Beberapa anggota tim terus bertanya, mau diapakan kaleng emas itu.

Keesokan harinya, Heri dan tim melakukan patroli seperti biasa. Hingga mobil itu diminta berhenti di sebuah masjid. Herri meletakkan kaleng berisi perhiasan itu di sana.

“Kaleng itu saya serahkan ke masjid. Karena kami tahu, itu  bukan hak kami. Ini menjadi pelajaran penting. Intinya, saat kita melakukan operasi menjadi relawan, luruskan dulu niatnya. Kita di sana untuk membantu orang yang terkena musibah. Bukan untuk aneh-aneh, apalgi mencari kesempatan dan keuntungan. Intinya adalah niat kita. Kalau niat kita bagus, insha Allah ada jalan. Ini juga mungkin yang membuat kami selalu dimudahkan,” terangnya.

Berita Terkini Lainnya