TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Muhammad TWH, Tokoh Pers yang Ikut Berjuang Lawan Belanda 

Pernah ditugaskan dalam rapat Soekarno di Bireuen 1948

Tokoh pers tiga zaman, Muhammad TWH (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Medan, IDN Times- Peran pers sangat besar sejak zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia. Muhammad Tok Wan Haria atau TWH adalah bagian dari perjuangan pers di masa itu. Dia juga adalah seorang veteran yang berjuang pada Agresi Militer Belanda II. Ia juga tokoh pers. Kisah itu dituliskannya ke dalam buku-bukunya. 

Tokoh pers tiga zaman itu baru saja mendapat penghargaan kepeloporan bidang media yang diserahkan Presiden Jokowi pada peringatan Hari Pers Nasional 2023 di Gedung GSG Pancing, Kamis (9/2/2023) pagi tadi.  

Berikut kami sajikan lagi kisah Muhammad TWH pada HPN 2023 ini. 

Baca Juga: Pameran Pers HPN 2023, Koran Tertua Ada di Sumut

1. TWH kala itu ditempatkan di bagian penerangan

IDN Times/Masdalena Napitupulu

Pria kelahiran Aceh Utara, 15 November 1932 ini mengisahkan, saat dirinya berusia belasan tahun harus masuk menjadi tentara dan berperan dalam menerbitkan berita. "Sebelum kemerdekaan kita sudah berjuang," ujar TWH yang kini sudah berusia 90 tahun.

"Kami awal perang kemerdekaan, seluruh pelajar harus masuk Tentara Republik Indonesia atau Tentara Pelajar Islam (TPI). Saya TPI. Saat itu Belanda merencanakan bumi hangus, kami berada di baris belakang di Aceh tahun 1960an," kata TWH, saat ditemui IDN Times di rumahnya, Jalan Sei Alas, Darussalam.

TWH bercerita kala itu ia ditempatkan di bagian penerangan. Masih ingat betul, katanya, ia ditugaskan menjadi Tentara Penerangan untuk penerimaan berita maupun foto, serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai kondisi Indonesia pada era kemerdekaan.

"Kalau di penerangan tentara itu untuk memberitakan suasana penembakan lewat lukisan," ceritanya.

TWH saat jadi TPI, pernah ditugaskan dalam rapat yang dilakukan Presiden Soekarno di Bireuen tahun 1948. Saat itu usianya masih 16 tahun.

2. Setelah Agresi Militer Belanda berakhir, TWH pindah ke Medan

IDN Times/Masdalena Napitupulu

Setelah Agresi Militer Belanda berakhir, TWH pindah ke Medan. Tahun 1950, dia melanjutkan pendidikan di SMP Josua dan kemudian masuk ke SMA Tagore.

TWH berusia 22 tahun, bekerja di Harian Mimbar Umum pada tahun 1954. Ia kembali melanjutkan perjuangan melalui pena. Sebagai tokoh pers konsekuensinya dibenci penjajah. 

3. Melanjutkan perjuangan lewat pena, TWH jadi wartawan

IDN Times/Masdalena Napitupulu

Ia bercerita, saat itu sejumlah media dibredel karena mengganggu kepentingan kolonial. Belum lagi saat Partai Komunis Indonesia (PKI) ingin menguasai seluruh surat-surat kabar. Surat kabar nasionalis dianggap musuh.

"Kami yang melawan, kami dipecat dari keanggotaan organisasi wartawan. Karena kami dianggap kontrarevolusi. Jadi gak bisa kerja di manapun. Kami beralih profesi jual buku di pustaka mimbar."

"Saat PKI jatuh pada 1965, kami kembali menjadi wartawan. Karena perjuangan itu, kami mendapat penghargaan penegak pers pancasila. Ada 14 orang yang dapat bintang itu," ucapnya. 

Baca Juga: HPN 2023: Ichwan Beberkan Bukti Sumut Pelopor Pers Nasional

Berita Terkini Lainnya