Sunderland 'Til I Die (Bagian I): Absurditas Sepak Bola Inggris 

Kalau kamu penyuka sepak bola Inggris, kamu wajib nonton!

Jakarta, IDN Times - Saat sampai di Birmingham, Jumat (21/2) siang, pertanyaan kedua yang ditanyakan petugas imigrasi pada saya setelah "Apa yang akan kamu lakukan di Inggris?" adalah "klub sepak bola apa yang kamu sukai?".

Di level tertentu, yang menarik dari Inggris memang begitu beragam mulai dari sisi kultural-nya yang sedikit berbeda dari kebanyakan negara di Eropa daratan, hingga bagaimana mereka kerap kali merasa begitu berbeda dari tetangga-tetangga lainnya di Benua Biru.

Dan di konteks sepak bola, Inggris memang benar-benar absurd. Konyol, tapi menyenangkan. Maksud saya, absurd yang sebenarnya tanpa disadari, memunculkan love-hate relationship, jika melihat dari kacamata orang luar Inggris. Kamu bisa begitu geli melihat kekonyolan suporter dan sepak bola Inggris, namun di satu sisi, bagi sebagian orang (saya salah satunya), sepak bola Inggris justru semakin menarik dengan kekonyolan-kekonyolan itu.

Dan tanpa perlu datang ke Inggris, series berjudul Sunderland ''Til I Die yang digarap Fulwell 73 dan diasuh dua produser, Leo Pearlman dan Ben Turner, benar-benar menunjukkan sisi absurd Inggris, sepak bolanya, dan tingkah laku suporternya di level yang relatif paripurna. Setidaknya, di konteks sebuah klub bernama Sunderland.

Uniknya, bila kebanyakan dokumenter atau film menyajikan kisah sukses, Fulwell 73 justru menyajikan dengan begitu cermat dan detail salah satu periode paling pelik dari Sunderland. Dua kali beruntun dalam dua musim berurutan, Sunderland terdegradasi dari Premier League dan Championship, serta kini harus menemukan diri mereka berjuang di kasta League One.

Series ini menelanjangi dengan paripurna bagaimana sebuah klub bekerja, bagaimana muaknya para pemegang tiket terusan Sunderland menyaksikan klub mereka bermain buruk sepanjang musim, hingga bagaimana detail-detail perasaan yang dirasakan para pemain, staf, dan bahkan pelatih hingga level CEO.

1. Sekilas tentang Sunderland 'Til I Die

Sunderland 'Til I Die (Bagian I): Absurditas Sepak Bola Inggris Series dokumenter Sunderland 'Til I Die di Netflix (Website/www.si.com)

Sejatinya, ini tontonan yang sudah cukup lama berlalu. Series dengan gaya dokumenter ini selesai season pertamanya dalam 8 episode, di mana pertama kali mereka merilis pada 14 Desember 2018. Hampir 1,5 tahun yang lalu. Namun menjadi relevan, karena pada Rabu (1/4) tepat di hari ini, season kedua dari series tentang Sunderland ini akan rilis di Netflix.

Di musim pertama, dokumenter ini menceritakan tentang bagaimana Sunderland menghadapi salah satu periode paling kelam di sejarah klub tersebut. Faktanya, sejak terdegradasi dari Premier League di akhir musim 2016/2017, tak hanya turun kasta ke Championship saja, semusim berselang mereka juga akhirnya turun kasta lagi ke League One di akhir musim 2017/2018.

Dan ini yang dibahas di musim pertama seri dokumenter. Bagaimana optimisme untuk bangkit usai terdegradasi dari kasta tertinggi, menjadi kacau balau, dan berubah menjadi bencana hanya dalam satu musim ketika kemudian mereka malah terdegradasi ke League One di tahun 2018 dan saat ini, pada musim 2019/2020, Grant Leadbitter dan kolega masih setia terjerembab di League One, kasta ketiga di piramida kompetisi sepak bola Inggris.

Baca Juga: Setelah 9 Tahun, Kapal Milik Abby Sunderland Akhirnya Ditemukan

2. Amuk suporter dan kekecewaan mereka digambarkan dengan paripurna di dokumenter ini

Sunderland 'Til I Die (Bagian I): Absurditas Sepak Bola Inggris Series dokumenter Sunderland 'Til I Die di Netflix (Website/www.si.com)

Adegan di episode 1 pada season pertama seperti menelanjangi keabsurdan sepak bola Inggris dan di konteks ini, tindak tanduk para suporternya. Kekalahan 0-5 atas Celtic FC di laga pra-musim, sekitar 6 hari sebelum sepak mula Championship musim 2017/2018, disambut dengan amukan massa.

Suporter yang awalnya datang memenuhi Stadium of Light, markas Sunderland, tiba-tiba beringas dan meledak amarahnya menyaksikan John O'Shea dan kolega dihajar habis-habisan di laga pra-musim.

"Ini seperti hubungan yang benar-benar buruk. Kamu tahu pasanganmu sangat jahat dan selingkuh, dan rasanya seperti kamu harus benar-benar mengakhiri ini semua," ujar salah seorang suporter perempuan Sunderland seusai laga.

Kultur Sunderland sebagai daerah para kelas pekerja, melekat erat dengan statusnya sebagai kota pelabuhan. Hal ini yang kemudian membuatnya jadi satu dari segelintir alasan kenapa sepak bola tidak hanya sekadar tontonan atau hiburan bagi para Mackem, sebutan untuk orang asli Sunderland, wilayah di timur laut Inggris.

Seperti yang sudah-sudah dan cukup banyak dipertontonkan di series The English Game, sepak bola juga eskapisme para pekerja di akhir pekan usai berpeluh-peluh memeras keringat bahkan darah di hari kerja.

3. "Investor bisa datang dan pergi, tapi bagi kami yang lahir di sini, Sunderland tidak akan pernah pergi!"

Sunderland 'Til I Die (Bagian I): Absurditas Sepak Bola Inggris Series dokumenter Sunderland 'Til I Die di Netflix (Website/www.si.com)

Jelang penutupan bursa transfer musim panas di Agustus 2017, keadaan menjadi sangat berat. Turbulensi dirasakan di ruang ganti karena sederet hasil buruk di awal musim, membuat desakan untuk memperkuat skuat jadi tuntutan suporter. Permasalahannya, seperti diucapkan Martin Bain, chief executive Sunderland kala itu, klub tak punya dana untuk membeli pemain.

"Dengar, ketika saya datang, saya datang untuk membangun ulang klub ini. Investor tak lagi punya dana untuk mendatangkan pemain dengan uang yang banyak. Itu sebab kami harus bekerja dengan aturan yang sangat ketat," jelas Martin.

Namun, lagi-lagi, suporter Sunderland menunjukkan kelasnya. Sebagai salah satu local sponsorship yang menopang keuangan klub, di salah satu acara, perwakilan suporter kemudian angkat suara mengkritisi keputusan Martin dan Ellis Short, pemilik Sunderland kala itu.

"Kita harus memenangkan pertandingan. Kalau kita tidak menang, keadaan akan semakin buruk dari waktu ke waktu," ujar salah seorang suporter.

Tak hanya itu, salah satu kritik pedas dan menohok dilontarkan dari salah seorang perwakilan suporter yang sayangnya, namanya tak disebut di series ini.

"Bagi Ellis (investor), mereka bisa datang dan pergi sesuka hatinya karena itulah investasi. Tapi bagi kami, kami lahir di sini, kami dibesarkan di sini, kami tidak bisa pergi begitu saja dari Sunderland. Klub sepak bola ini ada di darah kami. Ellis membuat kami ada di posisi ini sebagai investor, atas semua yang telah ia lakukan di sini. Ia bisa pergi kapan pun tapi bagi kami, kami merasakan dan mengalami itu semua setiap hari dan setiap pekan," ujar sang suporter yang ucapannya bisa kamu temukan di episode kedua.

Baca Juga: Sunderland Tawarkan Tuna Wisma Menginap di Stadium of Light

Topik:

  • Isidorus Rio Turangga Budi Satria

Berita Terkini Lainnya