Nasib Becak Dayung di Medan, Tergilas Mesin dan Terpinggirkan Online

Becak dayung biasanya menarik bagi wisatawan

Seiring berjalannya waktu, perkembangan yang terjadi di dunia ini kian pesat. Seakan dunia berubah tak kenal waktu. Maraknya transportasi berbasis online menyebabkan transportasi konvensional kian terpinggirkan.

Salah satunya becak dayung. Transportasi darat dengan kayuhan sepeda atau tenaga manusia ini semakin kehilangan tempat. Keberadaannya juga sudah jarang terlihat. 

Dahulu becak dayung mulai tergilas dengan hadirnya becak mesin. Namun kini semakin menepi karena transportasi online. Kecepatan dan kenyamanan menjadi alasan orang-orang beralih. Ongkosnya juga murah. 

Syawaludin salah satu yang masih mengandalkan becak dayung untuk mencari nafkah. Sudah 25 tahun dia berpeluh keringat mengayuh becak. Meskipun diakuinya pendapatannya semakin berkurang.

“Ada kurang juga, karena ojek online ini lebih kecil ongkosnya dari becak dayung,” kata Syawal.

1. Berawal dari pekerjaan sampingan

Nasib Becak Dayung di Medan, Tergilas Mesin dan Terpinggirkan OnlineSyawaludin tukang becak dayung Medan (IDN Times/Yurika Febrianti)

Syawaludin berkisah. Awalnya becak dayung hanya  sebagai pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama Syawaludin sebagai buruh pabrik.

“Bawa becak sudah 25 tahun. Dulu dari jam 06.00 WIB sampe jam 08.00 WIB bawa becak di Pajak Perguruan. Terus jam 08.00 WIB lanjut kerja pabrik. Tapi sekarang ini (becak) sudah jadi kerjaan tetap, karena pabrik nya tumpur terus tutup,” kata Syawal.

2. Penghasilan tidak tetap. Biasanya Rp30 ribu per hari

Nasib Becak Dayung di Medan, Tergilas Mesin dan Terpinggirkan OnlineBecak dayung Medan (IDN Times/Yurika Febrianti)

Becak dayung Medan berbeda dari becak dayung biasanya. Kemudinya ada di samping. Berbeda dengan becak-becak di tanah Jawa dengan pengemudinya ada di belakang. 

Jarak tempuh yang relatif tidak jauh, becak dayung biasanya hanya untuk perjalanan di lingkungan perumahan. Selain itu juga kerap ditemui di pasar-pasar tradisional. Selain itu juga dulu digunakan untuk menjemput anak sekolah.

Selain itu tidak dapat ke wilayah yang ada tanjakannya. Penghasilan yang di dapat Syawaludin pun terbilang tidak menentu bahkan sangat minim.

“Enggak tentu, kadang Rp30 ribu kadang Rp50 ribu. Itupun karena ada orang kasihan sama kita. Misalnya yang biasa Rp10 ribu dikasih Rp20 ribu,” ujar Syawaluddin lirih.

Baca Juga: Kisah Urmi dengan Becak Hidupi dan Sekolahkan Empat Anaknya

3. Syawaluddin bisa sekolahkan 2 anaknya dari becak dan beli tanah

Nasib Becak Dayung di Medan, Tergilas Mesin dan Terpinggirkan OnlineIlustrasi Becak Dayung (Dok Antara Foto)

Meski penghasilan sebagai tukang becak dayung tidak menentu, Syawal menikmati profesinya. Kebanyakan orang memandang sebelah mata. Padahal dengan pekerjaannya sebagai tukang becak dayung, ayah dua anak itu mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai sekolah menengah kejuruan (SMK). Syawal juga sudah membeli sebidang tanah untuk investasi nya kedepan.

“Dari lajang sampai menikah terus anakku tamat SMK dari becak ini (penghasilan), kami juga sudah beli tanah dari hasil ini (becak) di Tembung,” tutur pria 48 tahun itu.

4. Becak dayung bisa jadi daya tarik wisatawan

Nasib Becak Dayung di Medan, Tergilas Mesin dan Terpinggirkan OnlineIlustrasi kunjungan wisatawan (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Sebenarnya banyak hal positif dari hadirnya becak dayung. Transportasi ini tak menimbulkan polusi udara. 

Pria asal Tembung pasar VII itu berharap becak dayung tidak punah tertelan zaman serba modern. Bahkan bisa menjadi daya tarik wisatawan luar kota maupun mancanegara untuk datang ke Kota Medan dengan terobosan pemerintah.

“Kalau bisa becak dayung ini jadi ikon Kota Medan, karna sejarahnya sebelum ada becak mesin kan becak dayung. Penghasilan becak dayung dulu Alhamdulillah memang lumayan karena enggak ada saingan. Sekarang sudah banyak," pungkasnya.

Baca Juga: Kisah Haru Agom, Tukang Becak Medan yang Dijebak Bawa Sabu 45 Kg

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya