Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih Lemah

Uji klinis dianggap masih terburu-buru

Medan, IDN Times – Wacana vaksinasi tidak hanya menuai polemik di tengah publik. Tenaga kesehatan juga memperdebatkannya. Ada kelompok yang mendukung vaksinasi, tak sedikit juga yang menolak.

Di Sumatra Utara, 4.000 ampul/vial vaksin sudah tiba sejak Selasa 5 Januari 2021. Prioritas utamanya, akan disuntikkan kepada tenaga kesehatan. Namun jumlah yang diterima masih jauh dari total kebutuhan 72.451 vial.

Vaksinasi direncanakan akan dimulai pada 14 Januari mendatang. Pemprov Sumut juga terus melakukan pembahasan teknis vaksinasi. Tentunya masih menunggu keputusan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).

Berbagai alasan mencuat di kalangan tenaga medis ihwal vaksinasi. Kebanyak menganggap pemerintah terlalu gegabah dalam membuat kebijakan dalam penanganan COVID-19.

1. Perawat ini mendukung vaksinasi, namun belum mendapat sosialisasi

Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih LemahIlustrasi petugas medis. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Meski sudah melakukan uji coba kepada para relawan, upaya pemerintah dalam hal mewacanakan soal vaksinasi masih dianggap lemah. Masih banyak masyarakat yang belum tahu soal vaksin yang akan disuntikkan. Termasuk para tenaga medis. Belum lagi begitu banyak disinformasi soal vaksin yang diserap masyarakat di media sosial.

Yusnidar Hutabarat, salah satu tenaga kesehatan yang berdinas di ruang isolasi COVID-19 Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara mengatakan bersedia divaksin. Namun sampai sekarang, perempuan 27  tahun itu belum mendapatkan sosialisasi dari pemerintah 

“Saya mendukung. Vaksin itu kan untuk meningkatkan ketahanan tubuh,” ungkapnya, Kamis (7/1/2021).

Dia juga belum mendapatkan pemberitahuan sebagai penerima vaksin. Yusnidar kembali menekankan jika dirinya tidak mengetahui banyak soal vaksin yang akan disuntikkan.

“Kalau kami karena belum ada sosialisasi, jadi belum ada pendapat yang lain. Masih kurang pengetahuan kami kalau tentang vaksin ini,” ungkapnya.

2. Di kalangan dokter masih terjadi penolakan karena minim sosialisasi

Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih LemahPetugas medis di RSUD Kabupaten Tangerang. ANTARA FOTO/Fauzan

Penolakan soal vaksinasi datang dari kalangan dokter. Beberapa alasan, bukan karena menolak divaksin. Tetapi lebih kepada soal tingkat kepercayaan terhadap vaksin yang akan disuntikkan.

Doni (samaran), dokter yang bertugas di Kota Tebing Tinggi mengatakan jika dirinya belum mau divaksin. Alasannya, lagi-lagi karena minimnya sosialisasi dari pemerintah.

Di dalam beberapa obrolan para dokter juga terungkap hal yang sama. Mereka menolak vaksinasi karena informasi yang kurang mumpuni dari pemerintah.

“Saya belum mendapat informasi  penuh terkait efek samping dan lainnya. Jadi belum mau. Mungkin nanti kalau sosialisasinya sudah baik, bisa berubah pikiran,” ungkapnya.

Brian (nama samaran) dokter di Kabupaten Labuhanbatum mengungkapkan hal yang sama. Dia menganggap, uji klinis untuk vaksin belum sempurna. Masih perlu dilakukan upaya lebih lanjut.

“Walaupun udh lulus uji kninis tahap tiga, tapi ini menurut saya masih terlalu singkat dan terburu buru. Sedangkan biasanya vaksin perlu bertahun-tahun uji klinis,” ungkapnya.

Para nakes yang tidak sepakat dengan vaksinasi yang terburu-buru beralasan kuat soal tingkat keselamatan. Namun tak sedikit yang mau divaksin karena terpaksa dan harus menjadi contoh kepada masyarakat. 

Baca Juga: Edy: Kalau Gubernur Meninggal, Bupati dan Wali Kota Tak Usah Divaksin

3. Vaksin kurangi risiko tertular COVID-19

Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih LemahIlustrasi Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Medan mendukung langkah pemerintah untuk melakukan vaksinasi. Meskipun memang, vaksinasi tidak bisa menjamin seluruhnya akan terpapar COVID-19. Vaksin hanya mengurangi potensi terpapar COVID-19.

“Dalam hal penanganan penyakit karena wabah. Seperti layaknya TBC, Polio, Hepatitis, Flu/Influenca kan itu ada vaksinnya. Vaksin itu ibarat payung artinya mencegah jangan sampai yang di bawah payung basah atau panas kena sinar matahari. Tapi tak menutup kemungkinan juga dia pakai payung yang besar sekalipun kalau hujan disertai angin ya kena jugalah air itu sedikit,” ungkap Ketua IDI Medan Wijaya Juwarna.

Seperti penyakit lainnya, meskipun sudah divaksin, potensi untuk tertular masih tetap ada. Vaksinasi juga punya masa berlaku.

“Artinya fokus vaksin adalah pencegahan, tepatnya preventif. Ini buktinya di Inggris, Eropa vaksin mereka untuk COVID-19 ini tapi ternyata muncul lagi varian baru mutasi lagi artinya apa, dengan mutasi mereka berpikir lagi membuat untuk vaksin yang sesuai dengan mutasi tersebut,” ujarnya.

4. Pemerintah harus pastikan keamanan vaksin

Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih LemahPersonel Brimob Polda Sumut mengawal kedatangan vaksin di Terminal Kargo Bandara Internasional Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara, Selasa (5/1/2020). (Istimewa)

Wijaya memang tak menampik soal pro kontra di kalangan dokter. Dia tidak mempermasalahkannya.

Namun, ketika ada pro kontra, harusnya pemerintah bisa hadir dengan memberikan jaminan soal vaksin yang aman. Misalnya, BPOM sebagai lembaga yang berkewenangan harus mengambil sikap dan dibarengi dengan pemahaman yang bisa diterima oleh  seluruh kalangan.

“Artinya, kalau kita meresponnya dengan baik. Karena seluruh dunia juga berupaya untuk itu. Terlepas ada juga yang kontra,” tukasnya.

5. Nakes harus jadi contoh agar masyarakat ingin divaksin

Pro Kontra Vaksinasi, Nakes Nilai Sosialisasi Pemerintah Masih LemahIlustrasi tenaga medis (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Dia pun berharap, tenaga kesehatan sebagai garda terdepan penanganan COVID-19 bisa memberikan contoh kepada masyarakat.

Kelak nanti divaksin, para nakes juga harus memberikan pemahaman kepada masyarakat, kenapa vaksinasi harus dilakukan. Wijaya kembali menekankan soal kewenangan lembaga terkait untuk memastikan bahwa vaksinasi aman dilakukan.

“Kalau saya sih begini, ibarat kalau saya bilang minuman A ini bagus untuk masyarakat. A saya minum di depan masyarakat. Jadi barulah masyarakat percaya,” katanya.

Saat ini penularan COVID-19 masih terjadi di Sumatra Utara. Wijaya berharap, selain masyarakat memang harus menjalankan protokol, peran Satuan Tugas COVID-19 bisa lebih dimaksimalkan. Untuk di Kota Medan sendiri sudah 14 orang dokter yang meninggal karena COVID-19.

Sebelumnya, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi menginginkan dirinya adalah orang yang pertama divaksin COVID-19 di Sumatra Utara. Edy ingin menjadi contoh supaya masyarakat jauh dari ketakutan seperti begitu banyak wacana yang berkembang.

Hal itu kembali diungkapkan Edy Rahmayadi saat memimpin rapat virtual bersama para kepala daerah di Sumatra Utara, Kamis (7/1/2021). Rapat itu membahas soal vasinasi yang rencananya akan dimulai pada 14 Januari mendatang untuk Tenaga Kesehatan (Nakes).

Nantinya setelah Edy divaksin baru dilanjut kepada kepala daerah lainnya di Sumut. Edy ingin memastikan dulu apakah vaksin itu memang aman.

Bila nantinya terjadi hal terburuk usai dirinya disuntik vaksin, maka bupati maupun wali kota berhak menolak untuk divaksin covid-19.

"Biar gubernurnya dulu yang divaksin. Bupati dan wali kota tunggu dulu. Kalau gubernurnya meninggal, bupati dan wali kota tak usah ikut divaksin," ungkap Edy.

Edy juga menjelaskan jika vaksinasi juga dilakukan sesuai dengan UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dia pun meminta supaya kepala daerah melakukan sosialisasi maksimal kepada masyarakat.

"Sampaikan kepada masyarakat harus dengan hati-hati, dengan cara yang baik, humanis sehingga masyarakat mau mengerti," tegasnya.

Baca Juga: Warga Menolak Divaksin? Gubernur Edy: Ada UU Darurat Kesehatan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya