Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya Demokrasi

Pemerintah harus mengungkap jika tidak ingin dituding

Medan, IDN Times – Peretasan media massa belakangan menjadi marak di Indonesia. Peretas menyasar media yang kerap memberikan kritik pedas terhadap pemerintah.

Namun siapakah dalangnya? Dari sekian banyak kasus, hampir tidak ada yang terungkap. Padahal, peretasan media massa menjadi sinyal bahaya bagi demokrasi di Indonesia. Apalagi media massa sebagai pilar terakhir demokrasi.

Kasus peretasan yang teranyar, menyasar laman tempo.co dan tirto.id. Kedua media ini memang dikenal garang ketika mengkritisi kebjakan pemerintah. Khususnya belakangan soal penanganan pandemik COVID-19, kasus Djoko Tjandra, dan berbagai kebijakan lainnya yang menggelitik pemerintahan.

Laman berita tempo.co dirusak tampilannya dua kali pada Jumat, 21 Agustus 2020 sekitar pukul 00.00 hingga 02.30 WIB. Pelaku menyerang situs web dengan cara mengubah tampilan visual situs atau halaman web menjadi tampilan sesuai apa yang diinginkan pelaku. Metode perusakan yang paling umum adalah menggunakan Injeksi SQL untuk masuk ke akun administrator. Beruntung, peretasan ini cepat ditangani oleh Tempo.

Sementara itu, peretasan terhadap tirto.id terjadi pada 20 hingga 21 Agustus 2020. Pelakunya mengacak-acak konten hingga menghapusnya. Pemberitaan yang diretas berjudul "Soal Obat Corona: Kepentingan BIN dan TNI melangkahi Disiplin Sains”.

“Pada teman-teman Tirto, setidaknya ada tujuh berita yang dihapus dan diacak-acak. Berita yang terhapus itu, terkait obat COVID-19 itu sendiri,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin dalam konferensi pers virtual Komite Keselamatan Jurnalis, Senin (24/8/2020).

Ada dua lagi media massa yang juga diretas. Datanya belum dibuka karena masih dalam tahapan penyusunan kronologi.

1. Serangan digital juga menyasar akun pribadi yang kerap mengkritik pemerintah

Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya DemokrasiIlustrasi Hacker (IDN Times/Mardya Shakti)

Masih ingat kasus doxing dan perundungan yang mendera Bintang Emon. Komika yang sempat viral karena kritiknya terhadap persidangan kasus penyiraman air keras kepada Novel Baswedan?. Begitu juga dengan peretasan akun twitter Pandu Riono, seorang epidemiolog yang lantang mengkritik pemerintah terkait penelitian Unair, dengan BIN dan TNI yang diklaim sebagai obat COVID-19 pertama di dunia.

Kasus-kasus ini menunjukkan jika pelaku peretasan tidak hanya menyasar media massa. Namun akun-akun ataupun para pegiat yang dianggap punya pengaruh besar dan kerap memberikan kritik pedas juga menjadi sasaran peretas.

“Pemerintah harus bersikap dengan masifnya peretasan ini.Negara harus melindungi, karena ini adalah bentuk kebebasan pers. Tapi sampai saat ini belum ada sedikitpun respon dari negara terhadap kasus peretasan ini,” imbuh Ade.

Ada dua hukum yang dilanggar dalam kasus peretasan ini. Pertama, Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Kemudian, Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terkait peretasan.

2. Peretasan media bukan kasus baru

Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya DemokrasiIlustrasi press conference (IDN Times/Arief Rahmat)

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan memberikan pernyataan keras terhadap kasus-kasus peretasan yang terjadi. Lantaran, peretasan media massa bukan hal yang baru. Bagi Manan, ini adalah upaya pembungkaman terhadap demokrasi.

Pola-pola peretasan juga sangat terstruktur. Selalu menyasar wacana yang menyerang pemerintahan. “Ini bukan dikerjakan oleh orang-orang iseng, ataupun ana-anak kurang kerjaan. Pasti ini dilakukan oleh mereka yang punya niat serius menyerang media. Ini ancaman baru yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Kita harus beradaptasi. Kawan-kawan media yang mengalami hal serupa harus terbuka, supaya kita bisa mengetahui skala skala serangan,” ujar Manan.

Dengan pola-pola itu, patut diduga, peretasan ini menjadi peringatan terhadap media supaya berhenti bersikap kritis apa yang dilakukan pemerintah. Asumsi ini dilancarkan Manan, melihat sasaran serangan.

“Ini yang menurut saya kita layak punya kecurigaan bahwa ada campur tangan pemerintah,” ujarnya.

Dia menuntut pemerintah harus mengungkap kasus ini. Jika tidak, kecurigaan jika pemerintah punya andil dalam peretasan akan menjadi bola panas yang malah menyerang balik.

Manan juga menyoroti soal upaya pembungkaman demokrasi lainnya. Seperti kasus kekerasan terhadap jurnalis yang sampai saat ini belum terungkap. Proses hukumnya terbilang lamban.

“Kasus kekerasan terhadap wartawan yang melibatkan polisi hampir tidak ada yang pernah diproses hukum,” tukasnya.

Baca Juga: Adam Malik, Wakil Presiden dari Jurnalis  yang Bikin Bangga Siantar

3. Syarat kebebasan pers terganggu karena terus berupaya dibungkam

Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya DemokrasiIlustrasi Pers Mahasiswa (IDN Times/Mardya Shakti)

Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) mengutuk keras tindakan penyerangan yang menimpa sejumlah media massa digital. Tindakan peretasan sama saja dengan upaya penghalang-halangan terhadap kinerja jurnalistik untuk memberikan akses kepada publik.

“Syarat kebebasan pers itu tidak hanya orang boleh bersuara. Tapi akses orang terhadap platform itu tidak boleh dibatasi. Percuma saja jika pers boleh menulis apa saja, pers boleh kritis, pers boleh mengkritik tapi laman dari pers itu tidak bisa diakses. Syarat kebebasan pers itu menjadi tidak terpenuhi,” ujar Sekjend AMSI Wahyu Dyatmika.

Laki-laki yang akrab disapa dengan Bli Komang itu juga mengatakan jika kasus peretasan ini dibiarkan, hanya akan menimbulkan ketakutan terhadap demokrasi. Jurnalis hanya akan menjadi semakin takut menulis secara kritis dan terbuka karena khawatir akan peretasan atau pun kriminalisasi.

“Jika pemerintah tidak mendorong mengusut kasus-kasus ini, maka pemerintah akan rawan dituding jadi bagian kejahatan itu,” tegasnya.

4. YLBHI: Ada tebang pilih dalam penanganan kasus

Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya DemokrasiIlustrasi Borgol (IDN Times/Mardya Shakti)

Kasus-kasus peretasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap orang yang kritis terhadap pemerintah cenderung meningkat. Secara tidak langsung pemerintah juga yang mengambil keuntungan dan menikmati kondisi ini. Ini dibuktikan dengan lambannya penanganan kasus.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti, lambannya penanganan kasus hanya membuat asumsi publik semakin kuat jika pemerintah terlibat.

Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Era Purnamasari menilai, pemerintah masih tebang pilih dalam penanganan kasus peretasan. Padahal pemerintah punya kemampuan mengungkap kasus-kasus tersebut. Dibuktikan dengan beberapa kasus peretasan yang menyasar laman daring milik aparat negara.

“Ada tebang pilih dalam penanganan kasus dan sangat tergantung pada kepentingan siapa di balik ini semua,” ujar Era.

5. SafeNet buka hotline pengaduan kasus peretasan

Peretasan Media Massa, Sinyal Bahaya DemokrasiIlustrasi Jurnalis (IDN TImes/Arief Rahmat)

Penanganan kasus-kasus peretasan harus menjadi isu bersama di kalangan media. Publik juga harus berperan dalam mengawal kebebasan berekspresi.

Dalam kesempatan itu, SafeNet membuka posko pengaduan lewat saluran telepon 0811 9223 375. Selain itu bisa menghubungi Komite Keselamatan Jurnalis lewat nomor 0812 4882 231. Nantinya laporan itu akan di-assesment dan diproses.

Baca Juga: Dewan Pers: RUU KUHP Membelenggu Kebebasan Pers

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya