New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah Pandemik

Sebuah analisis kritis dari Sosiolog Unsyiah

Medan, IDN Times – New Normal atau kenormalan baru. Frasa yang semakin akrab didengar oleh masyarakat di tengah pandemik COVID-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Angka kasusnya terus meningkat saban hari. Apalagi belakangan saat diksi new normal mem-booming. Pemerintah menganggap new normal bagaimana masyarakat bisa hidup berdampingan dengan corona. Dengan kata lain bisa diartikan berdamai. Mempertahankan perekonomian supaya tidak ambruk dan berdampak lebih buruk pada kehidupan masyarakat yang mulai tergopoh-gopoh dalam empat bulan terakhir.

Pemerintah menganggap, new normal perlu dilakukan karena sampai saat ini vaksin corona belum juga ditemukan.

"Sekarang satu-satunya cara yang kita lakukan bukan dengan menyerah tidak melakukan apapun, melainkan kita harus jaga produktivitas kita agar dalam situasi seperti ini kita produktif namun aman dari COVID-19, sehingga diperlukan tatanan yang baru," kata Achmad Yurianto dalam keterangannya di Graha BNPB, Kamis (28/5) lalu.

Menyusul wacana new normal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah pun berlomba-lomba membahas soal kebijakan turunan untuk diterapkan di daerah masing-masing.

Namun, apakah Indonesia sudah siap menghadapi new normal secara infrastruktur pendukungnya. Apakah masyarakat hingga tingkatan paling bawah sudah memahami, apa sebenarnya new normal itu?

Lantaran, sebelum diberlakukan new normal saja, masyarakat sudah membandel. Tidak mengikuti protokol kesehatan sebagai langkah kecil mencegah tertular atau menularkan COVID-19. Pengawasan pemerintah di sejumlah daerah juga sudah mulai longgar untuk penanganan COVID-19.

Masyarakat yang sadar betul tentang bahaya COVID-19 tidak ingin kebijakan new normal malah menjadi faktor baru meroketnya angka COVID-19. Kebijakan ini masih menjadi diskusi kritis dan juga pertanyaan besar di kalangan akademisi.

Kritik soal new normal muncul dari Sosiolog asal Universitas Syiah Kuala, Yuva Ayuning Anjar. Master lulusan departemen Sosiologi Universitas Gajah Mada (UGM) ini memberikan pandangan kritis terkait new normal.

Apakah kenormalan baru bisa menjadi pranata sosial baru di tengah penanganan COVID-19 yang berhujan kritik?

1. Pemerintah harus pertegas konsep berdamai dan new normal di tengah pandemik corona

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah PandemikPresiden Jokowi melakukan peninjauan kesiapan TNI dan Polri dalam penerapan 'New Normal' di sarana transportasi dan perniagaan, Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan Mal Sumarecon Bekasi, Selasa (26/5) (setkab.go.id)

Fakta lapangan menunjukkan masyarakat semakin abai dengan protokol kesehatan. Di Medan misalnya. Sejumlah tempat nongkrong sudah dijejali masyarakat yang seolah tidak takut lagi dengan bahaya corona. Tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak. Pengusaha cafe juga semakin abai dengan protokol itu.

“Sebelum muncul kata damai, tentu ada pertikaian atau peperangan. Baik perang atau damai ada terkandung makna 'saling' di dalamnya. Ketika kita berperang kita saling menyerang dan sama-sama memiliki amunisi. Ketika kita damai, kita saling paham dan saling bersepakat. Artinya kalau ingin berdamai terhadap sesuatu, tidak ada perasaan intimidatif di dalamnya,” ungkap Yuning kepada IDN Times, Minggu (7/6).

Dia meminta pemerintah menghitung lagi, apa-apa saja persiapan utnuk memberlakukan new normal tersebut. “Jika memang ingin berdamai dengan corona, harus dikaji lagi apa-apa saja yang sudah dipersiapkan" ujarnya.

Baca Juga: [LINI MASA] Perkembangan Terkini Wabah Virus Corona di Sumatera Utara

2. Sosialisasi harus dilakukan hingga ke semua lapisan masyarakat

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah PandemikWarga dengan masker memilih sayuran di pasar tradisional Pondok Labu, Jakarta, Minggu (7/6).(ANTARA FOTO/Reno Esnir)

Sosialisasi soal new normal menjadi hal yang sangat penting. Apalagi di tengah tingkat literasi masyarakat soal corona yang juga sangat rendah. Pemerintah harus bekerja ekstra melakukan sosialisasi ini.

Sejauh ini, sosialisasi ini sangat minim dilakukan. Sehingga justru wacana new normal ini malah memancing keramaian baru yang bisa saja tidak bisa lagi dikendalikan oleh pemerintah.

“Kalau sosialisasi sangat minim, lantas kita mau berdamai yang seperti apa,” tukasnya.

Selain sosialisasi, pemerintah juga harus memastikan upaya peningkatan imunitas masyarakat terpenuhi. Misalnya ketersediaan bahan pokok yang kaya gizi. Pemerintah harus membuat kebijakan bagaimana bahan-bahan ini bisa diperoleh seluruh lapisan masyarakat.

“Caranya sebenarnya sederhana, misalnya bahan pokok itu dijaga kestabilan harganya. Petani lokal digembleng memberikan produk terbaiknya. Sehingga ekonomi tetap berjalan, masyarakat bisa menjangkaunya,” katanya.

3. New normal berpotensi memunculkan barbarisme baru di tengah ketidakpedulian masyarakat

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah PandemikWarga mencuci tangan sebelum mengikuti salat Id berjamaah di Masjid Raya Al Mashun Kota Medan (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pemerintah harusnya tidak terburu-buru melontar wacana new normal. Jika tidak siap dan diterapkan, new normal justru hanya memunculkan gegar budaya (culture shock) di tengah masyarakat. Mereka akan terkejut dan ini yang bisa menjadi polemik baru di tengah pandemik.

Potensi terjadinya culture shock ini juga sangat tinggi bisa terjadi di Indonesia. New normal bakal bisa diartikan oleh masyarakat awam dengan berakhirnya pandemik corona.

“Jadi memang, di masa new normal nanti tidak menutup kemungkinan akan menjadi barbarisme yang baru. Bahkan sebelum itu dijalankan, kita sudah mulai melihat faktanya di lapangan,” ujarnya.

4. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah membuat bakal sulitnya pemberlakuan new normal

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah PandemikPresiden Jokowi melakukan peninjauan kesiapan TNI dan Polri dalam penerapan 'New Normal' di sarana transportasi dan perniagaan, Stasiun MRT Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan Mal Sumarecon Bekasi, Selasa (26/5) (setkab.go.id)

Aktivis HMI ini pun mencoba membagi masyarakat di tengah pandemik ke dalam dua kelompok. Yakni, antara masyarakat yang punya ketakutan akan bahaya corona dengan masyarakat yang menganggap tidak terjadi apa-apa dan menganggap corona adalah hal biasa.

Pembagian kelompok ini terjadi di masyarakat karena ada ketidakpercayaan terhadap pemerintah dengan carut-marutnya kebijakan menangani pandemik.

Pun jika diberlakukan new normal, tidak ada perubahan di tengah masyarakat yang bakal signifikan. Alasannya kembali kepada ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses penanganan.

5. Pemerintah harus berani tegas mengambil kebijakan dan melaksanakannya di lapangan

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah PandemikWarga berolahraga pagi dengan mengayuh sepeda di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (7/6/2020). Di masa pandemi COVID-19 kesadaraan masyarakat akan pentingnya olahrga meningkat tajam salah satunya dengan bersepeda untuk tetap menjaga kesehatan dan stamina tubuh. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Tak bisa dimungkiri lagi, pemberlakuan new normal dititikberatkan untuk menjaga kestabilan ekonomi. Namun harusnya dibarengi dengan kebijakan yang tegas.

Tidak ada istilah tawar menawar kebijakan. Apalagi sampai dipolitisi oleh segelintir oknum berkepentingan. Sosialisasi hingga ke akar rumput juga menjadi PR baru pemerintah sebelum new normal.

Sebelum memberlakukan new normal, pemerintah dengan kebijakannya harus bisa menekan angka COVID-19 yang terus memuncak. Jika tidak, new normal hanya menjadi polemik baru yang membuat pemerintah semakin kelimpungan atau justru membuat barbarisme baru yang sulit dikendalikan.

“Pemerintah harusnya lebih berani. Jangan nanti masyarakat beranggapan new normal ini malah bentuk kepasrahan pemerintah dalam penanganan corona. Titik tekannya ada pada regulasi yang tegas. Ada pengawasan yang jelas. Penegakan kebijakan itu harus dilakukan tegas dan adil. Semua harus menuruti kebijakan itu. Pemerintah juga harus memberikan contoh nyata. Jangan menegakkan kebijakan dengan cara juga melanggarnya. Harus ada reward dan punishment yang tegas untuk menjalankan kebijakan itu,” pungkas perempuan yang menamatkan studi Strata 1-nya di FISIP USU itu.

6. Total pasien COVID-19 meninggal dunia menjadi 1.851 orang

New Normal, Antara Berdamai atau Barbarisme Baru di Tengah Pandemik(Ilustrasi virus corona) IDN Times/Arief Rahmat

Sebagai informasi, untuk merealisasikan skenario new normal, saat ini pemerintah telah menggandeng seluruh pihak terkait termasuk tokoh masyarakat, para ahli dan para pakar untuk merumuskan protokol atau SOP, memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali, tetapi tetap aman dari COVID-19.

Protokol ini bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga pendidikan dan keagamaan, tentu bergantung pada aspek epidemologi dari masing-masing daerah, sehingga penambahan kasus positif bisa ditekan.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Virus Corona atau COVID-19 Achmad Yurianto mengungkapkan jumlah pasien meninggal akibat COVID-19 bertambah 50 orang sehingga totalnya menjadi 1.851 kasus.

Sedangkan pasien sembuh di Indonesia naik 591 orang, menjadi 10.948 pasien. "Kasus positif COVID-19 di Indonesia yang mengalami peningkatan sebanyak 672 kasus sehingga total menjadi 31.186 kasus," paparnya saat konferensi pers di channel Youtube BNPB, Minggu (7/6).

Yuri menambahkan sebanyak 11.924 spesimen telah diperiksa baik dengan dengan menggunakan Real Time PCR maupun dengan menggunakan tes cepat molekuler sehingga total yang sudah kita periksa sampai saat ini adalah 405.992 spesimen.

Yuri mengatakan provinsi yang melaporkan penambahan kasus positif terbanyak adalah DKI Jakarta, yakni 94 kasus dan pasien yang sembuh ada 21 orang. Kemudian Jawa Timur dengan 90 kasus positif dan pasien sembuh sebanyak 290 orang.

Penambahan kasus positif yang cukup tinggi juga berada di Sulawesi Selatan dengan 54 kasus dengan kesembuhan 3 orang, diikuti Sumatera Utara dengan 44 kasus positif dan 7 pasien sembuh. "422 kabupaten kota telah berdampak di 34 provinsi dan kita masih melakukan pemantauan terhadap ODP sebanyak 40.370 orang dan PDB 14.197 orang," imbuhnya.

Sementara itu, sebanyak 6,9 juta orang di seluruh dunia dinyatakan positif terjangkit virus corona atau COVID-19. Melansir dari Worldometers sampai dengan Minggu (7/6) pagi total terkonfirmasi ada sebanyak 6.962.099 kasus infeksi COVID-19 di seluruh dunia. Jumlah kematian karena COVID-19 sebanyak 401.524 kasus dan sembuh sebanyak 3.402.664 orang.

Baca Juga: [UPDATE] Kasus COVID-19 Melonjak Drastis, Pasien Positif 605 Orang

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya