Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan Anak

Angka kekerasan terhadap anak masih tinggi

Medan, IDN Times – Kasus-kasus kekerasan terhadap anak masih mewarnai pemberitaan media massa setiap tahun. Angka kasusnya masih tinggi di setiap provinsi.

Ini harusnya menjadi perhatian serius. Di tengah begitu banyak  instrumen untuk perlindungan anak,  ternyata kasus-kasus kekerasan belum bisa ditekan secara maksimal.

Di Sumatra Utara, kasus kekerasan anak masih tinggi. Data kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dihimpun dari laman resmi Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA) siga.sumutprov.go.id, menunjukkan ada 1.265 kasus terjadi selama 2021. Dari jumlah itu, tidak kurang dari 925 korban masih berusia anak.

Dari segi persentase, kekerasan terhadap anak yang paling tinggi adalah kekerasan seksual sebanyak 35,9 persen dari total seluruh bentuk kekerasan. Disusul kekerasan fisik 26,9 persen, psikis 19,3 persen, penelantaran 9,4 persen, kekerasan lainnya sebanyak 7,2 persen, eksploitasi 0,9 persen, dan trafficking 0,3 persen.

1. Angka kasus tinggi, Pemprov Sumut diganjar penghargaan komitmen perlindungan anak

Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan AnakIlustrasi kekerasan anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Meski angka kasus cukup tinggi, Pemprov Sumut justru diganjar penghargaan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Kamis (21/7/2022). Pemprov Sumut dinilai memiliki komitmen perlindungan anak dan pelaporan berbasis Sistem Informasi Monitoring Evaluasi Pelaporan (SIMEP) Perlindungan Anak.

“Penghargaan ini apresiasi kepada Pemprov terkait upaya perlindungan anak, kami akan terus memajukan perlindungan anak, namun ini memang memerlukan dukungan dari seluruh pihak, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri,” kata Edy, saat diwawancarai di sela kunjungan kerjanya di Kabupaten Dairi.

Edy memaparkan, berbagai upaya yang dilakukan Pemprov Sumut. Mulai dari penyusunan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur Sumut, sosialisasi, advokasi dan pembentukan Desa/Kelurahan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM). Serta melakukan advokasi pemenuhan hak-hak anak melalui strategi Pengarusutamaan Hak Anak (PUHA) yang diimplementasikan melalui Kabupaten/Kota Menuju Layak Anak.

“Pemerintah juga bekerja sama dengan dunia usaha dan lembaga masyarakat yang peduli terhadap anak serta masyarakat dalam mewujudkan kabupaten/kota yang layak anak,” ucap Edy.

2. Pendampingan kasus di tingkat kabupaten belum maksimal

Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan Anakilustrasi kekerasan pada perempuan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sumut Nurlela juga menyatakan komitemnnya dalam melakukan upaya perlindungan anak. Meski pun dia mengakui upaya itu belum maksimal dilakukan. Khsusunya di tingkat kabupaten/kota. Permasalahannya ada pada minimnya anggaran untuk melakukan upaya tersebut. Terkadang, jika ada korban kekerasan di kabupaten/kota, pihaknya langsung yang melakukan pendampingan.

“Perlindungannya, apabila korban mengalami kekerasan. Sesuai UU No 23 2002 dan telah dirubah menjadi UU 35 2014 dan direvisi lagis esuai hukuman pidananya, UU No 17 2016,” ujar Nurlela, Jumat (22/7/2022).

Perlindungan dilakukan tidak hanya kepada korban anak. Perlindungan juga dilakukan terhadap anak yang terlibat hukum.

“Sekarang ini kan banyak pelakunya di bawah usia. Itu harus ada restorative justice. Anak itu harus dilindungi. Jadi harus jaksa yang menangani anak. Jadi pidananya dikurangi atau pidananya diversi,” ungkap Nurlela.

Baca Juga: Pria Lansia di Aceh Perkosa Anak Tiri Selama Hampir Dua Tahun

3. Pencegahan harus dilakukan dengan upaya penyadartahuan bersama

Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan AnakIlustrasi anak-anak (IDN Times/Dwifantya Aquina)

Ketua Dewan Pengurus Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Sumatera Utara Lely Zailani memberi catatan kritis terhadap perlindungan anak di Sumatra Utara. Bagi Lely, instrumen yang ada sudah cukup baik untuk memaksimalkan upaya perlindungan. Namun, belum substansi dari perlindungan itu belum dijalankan dengan baik.

Kata Lely, pemerintah baru menyentuh penanganan kasus. Padahal,  penguatan, internalisasi dan penyadartahuan kepada seluruh stakeholder jauh lebih penting dilakukan.

“Ada persoalan komitmen di aparatur pemerintahan. Instrumennya sudah lengkap, tapi implementasi substansinya masih  terbilang lemah,” ujar Lely, Jumat malam.

Bagi Lely, persoalan komitmen ini menjadi hal serius. Jangan sampai, pemerintah memberi kesan, upaya perlindungan anak, justru hanya untuk seremonial dan mengejar penghargaan belaka.

“Pemerintah sebagai penyelenggara layanan belum serius terhadap substansi isu anak,” ujarnya.

4. Ekosistem ramah anak belum terbentuk

Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan AnakIlustrasi siswa sekolah (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Memang bukan upaya mudah menjalankan upaya perlindungan terhadap anak. Namun, kata Lely, jika dilakukan secara kolaboratif, semua tantangan dan hambatan di lapangan bisa dieliminir.

Lely melihat, kondisi di lapangan secara langsng. Ekosistem ramah anak itu belum terbentuk maksimal. Misalnya pada lingkungan sekolah. Pada sekolah yang dinobatkan sebagai ramah anak, pola perlindungan juga belum diterapkan.

Selama ini, Lely bersama HAPSARI terus menggencarkan upaya itu. Misalnya, melakukan sosialisasi kepada murid-murid sekolah dasar dan SMA. Mereka akan  menjadi relawan di sana untuk memberikan pemahaman tentang hak-hak anak dan pencegahan  kekerasan terhadap anak.

“Kami mengajar di sana untuk menularkan perspektif bagaimana memposisikan anak nyaman di sekolah. Di tingkat SMA, kami memperkenalkan, mempersiapkan mereka untuk menghadapi jenjang lanjutnya. Jadi mereka  diberi pemahaman tentang kekerasan dan cara-cara mencegahnya. Kelompok SMA ini menjadi sasaran karena mereka merupakan kelompok usia rentan,” ungkapnya.

Lely berharap, apa yang dilakukan HAPSARI bisa menjadi model bagi para guru untuk menerapkan pola – pola perlindungan hak – hak anak.

“Secara umum, para guru memahami. Namun belum memraktekkannya. Belum menjadi budaya tentang pentingnya kesadaran akan hak anak. Buruknya budaya birokrasi juga menjadi  bantu  sandungan,” tukasnya.

5. Elaborasi kearifan lokal dan perkembangan teknologi cukup efektif dalam upaya perlindungan

Menakar Keseriusan Sumut dalam Upaya Perlindungan AnakIlustrasi anak-anak (IDN Times/Aryodamar)

Lely melihat, perkembangan teknologi digital memberi pengaruh signifikan bagi anak dan pola asuh yang  dilakukan orangtua. Baik dari sisi positif dan negatif.

Orangtua dan anak menyerap informasi gamblang dari arus informasi digital. Bagi Lely ini menjadi tantangan serius bagi perkembangan pola asuh anak. Pemerintah harusnya sudah menyadari ini. Sehingga bisa melakukan inovasi pada implementasi di lapangan.

Di era modern saat ini, para orangtua perlu mengingat kembali berbagai kearifan lokal yang dulunya diterapkan kepada mereka. Ini masih relevan jika diterapkan sekarang. Apalagi dielaborasi dengan hal-hal positif dari informasi digital.

“Penggunaan digital juga harus diawasi. Sehingga mempesempit ruang pengaruh buruk dari terbukanya arus informasi. Jika ini dilakukan secara konsisten, ekosistemnya pasti akan terbentuk,” ungkapnya.

Sekali lagi Lely mengkritik soal masih lemahnya upaya yang dilakukan pemerintah dalam perlindungan anak. Instrumen dan produk layanan yang ada, kata dia, harusnya bisa diimplemntasikan tidak sekedar program belaka.

“Pemerintah harusnya memanfaatkan instrumen yng sudah ada.  Substansinya harus dilakukan. Jangan sebatas seremoni,” pungkasnya.

Baca Juga: Forum Anak Sumut Didorong untuk Pantau Hak yang Tidak Terpenuhi

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya