Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke Sumut

Jodet disita setelah bertahun hidup dalam belenggu

Dari celah kandang angkut berkelir oranye, Jodet mengintip
Orangutan sumatra itu akhirnya pulang ke kampung halaman
Perjalanan hidup Jodet cukup tragis
Orangutan malang itu ‘nyasar’ ke Jawa Timur
Dipelihara sejak kecil, menempati kandang yang tak layak

Deli Serdang, Agustus 2022

Maret 2022, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, mendapat kabar soal orangutan yang dipelihara warga. Bersama Wildlife Rescue Centre (WRC) Yogyakarta dan Center for Orangutan Protection (COP) melakukan evakuasi.

Orangutan itu adalah Jodet. Dia ditemukan bersama sejumlah satwa lainnya di Waterpark Sumekar (WPS) di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur.

Saat ditemukan, kondisi Jodet begitu tragis. Dia menempati kandang yang tidak layak. Berukuran sekitar 3x5 meter, berdinding beton, berlantai tanah. Kondisinya minim cahaya. Saat itu, Jodet juga dalam kondisi yang kurang baik. Bulu-bulunya begitu kotor. Bertahun-tahun dia hidup di dalam belenggu itu.

Jodet diidentifikasi mengalami kekurangan gizi. Usia Jodet diperkirakan sudah 10 tahun. Dia sudah tinggal di sana sejak 2013.

Dikira Orangutan Kalimantan

Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke SumutJodet saat menjalani perawatan di WRC Yogyakarta. (Dok: WRC)

Tim BBKSDA Jawa Timur sudah mengidentifikasi keberadaan Jodet sejak awal 2022. Di awal, mereka menduga Jodet adalah orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Ciri-ciri Jodet menguatkan dugaan itu. Sehingga saat itu, mereka berkoordinasi dengan BKSDA Kaltim. Karena selain orangutan, BKSDA Kaltim juga hendak membawa satu ekor beruang madu yang disita dari lokasi yang sama.

Jodet kemudian dievakuasi dari WPS. Dia kemudian dibawa ke WRC di Yogyakarta untuk menjalani perawatan.

“Jadi sebenarnya, kami mendapat penyerahan dari BBKSDA Jatim. Kami ambil ke sana. Setelah kami ambil transit dulu di Yogyakarta untuk medical check up dan tes DNA,” ungkap Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Berau Dheny Mardiono, Jumat (26/8/2022).

Saat dilakukan uji asam deoksiribonukleat (DNA), hasilnya mengejutkan. DNA Jodet menunjukkan kedekatan dengan orangutan Sumatra.

Jodet pulang ke Sumatra

Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke SumutOrangutan sumatra Jodet yang tiba di Bandara Kualanamu, Deliserdang, Kamis (25/8/2022). (Istimewa)

Dari Maret hingga Agustus 2022, Jodet dirawat di WRC. Setelah menjalani assesmen, dia kemudian diantar pulang ke Sumatra Utara.

Tim BKSDA Kaltim membawa Jodet. Dia tiba di Bandara Kualanamu, Kabupaten Deli Serdang, Kamis (25/8/2022) petang. Jodet langsung diserahkan kepada BBKSDA Sumut. Dia kemudian dibawa ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Batumbelin, Deliserdang yang dikelola oleh YEL-SOCP. Dia akan menjalani karantina, sebelum akhirnya dilepasliarkan ke habitat.

“Kemungkinan akan dilepasliarkan ke Gunung Leuser atau lokasi lainnya,” kata Kepala BBKSDA Sumut Rudianto Saragih Napitu, Kamis.

Baca Juga: Sidang Perdana Remaja Penjual Orangutan, Pesan LBH Medan Menohok

Jodet disita dari WPS yang tidak punya izin Lembaga Konservasi

Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke SumutKondisi Jodet saat pertama kali ditemukan. (Dok: COP)

IDN Times melakukan penelusuran soal asal – usul Jodet. WPS, tempat Jodet ditemukan ternyata tidak memiliki izin sebagai Lembaga Konservasi.

Sumber yang tidak ingin disebutkan identitasnya mengatakan, Jodet disita dalam rangkaian operasi pada akhir Februari -  awal Maret 2022. “Ada sekitar 30 satwa yang disita dari WPS,” ujar sumber terpercaya itu.

Sementara itu, pihak BBKSDA Jatim juga menguatkan, lokasi tempat Jodet diambil tidak memiliki izin LK. Begitu juga dengan informasi dari BKSDA Kaltim. Lokasi itu disebut hanya sudah memiliki izin prinsip. Namun, sampai izin prinsip itu habis masa periodenya, lokasi itu tidak bisa melengkapi persyaratan Lembaga Konservasi (LK). Sehingga satwa-satwa yang ada di sana disita.

“Iyah, awalnya dia mau ngurus. Karena dia tidak mampu, makanya diserahkan,” ujar Kepala Seksi Perencanaan Perlindungan dan Pengawetan BBKSDA Jatim Nur Rohman, Sabtu.

‘Nyasar’ sampai Jatim, asal usul Jodet tidak diketahui

Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke SumutPetugas mengikat kandang yang berisi Jodet, orangutan sumatra (Pongo abelii) setibanya di Terminal Cargo Bandara Kualanamu, Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (25/8/2022). (ANTARA FOTO/Fransisco Carolio)

Jika tidak diselamatkan, besar kemungkinan Jodet akan menjadi peragaan. Bernasib sama dengan satwa lainnya yang sudah disita dan sempat dipamerkan.

Sayang BBKSDA Jatim tidak mendetail soal asal usul Jodet bisa ‘nyasar sampai di Jatim. Nur juga hanya menyebut jika satwa – satwa itu hanya diserahterimakan, bukan disita.

“Kalau (Jodet) dapatnya dari mana, saya tidak menjajaki sampai situ. Saya tidak punya informasinya,” ungkapnya.

Penelusuran asal Jodet tidak dilakukan, melemahkan penegakan hukum

Kisah Tragis Jodet, Orangutan ‘Nyasar’ ke Sumenep Pulang ke Sumut[ilustrasi] Sapto, Orangutan anakan yang berhasil dievakuasi oleh petugas Yayasan Orangutan Sumatera Lestari-Orangutan Information Centre (YOSL-OIC) dari pemukiman di kawasan Gampong Paya, Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Nanggroe Aceh Darussalam. Selasa (22/1/2019) lalu. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Penyitaan satwa-satwa yang ada di WPS justru menjadi pertanyaan. Termasuk Jodet yang tidak diketahui asal-usulnya bisa ‘nyasar’ sampai ke Jatim. Bisa saja Jodet adalah korban perdagangan ilegal.

Pertanyaan berikutnya, mengapa tempat yang belum memiliki izin Lembaga Konservasi justru sudah memiliki satwa dilindungi.

BBKSDA hanya menyebut jika Jodet diserahkan. Ketika ditanyai soal asal-usul Jodet, ini tidak diketahui.

Kasus-kasus penyerahan satwa ini sudah sering kali terjadi. Sebut saja orangutan Kaka, yang dipulangkan dari Bogor ke Sumut, Mei 2022 lalu. Kaka diketahui dipelihara dari sebuah gudang kertas salah satu perusahaan di sana. Kaka diduga menjadi korban perdagangan ilegal hingga bisa sampai ke Bogor. Setelah diserahkan, pemilik Kaka tidak diproses secara hukum.

Penyerahan satwa ini justru seolah menjadi tren. Bahkan dianggap prestasi meski penegakan hukum selalu diabaikan.

Nyaris tidak pernah ada penelusuran dari mana satwa-satwa itu bisa sampai dipelihara, dimiliki oleh orang-orang yang memulangkan. Penegakan hukum mentok karena menganggap orang-orang yang menyerahkan satwa secara sukarela dinilai sudah menyadari tentang konservasi.

Kondisi ini justru melemahkan upaya memutus rantai kejahatan kehutaan. Padahal sudah jelas, diamanatkan dengan tegas dalam pasal 21 ayat (2) huruf (a) Jo Pasal 40 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda Rp100 juta.

Kondisi ini pernah mendapat kritik dari Auriga Nusantara. Direktur Penegakan Hukum Auriga Roni Saputra menjelaskan, undang-undang konservasi tidak pernah mengenal proses kekeluargaan. Pun jika menggunakan dalih restorative justice, tindakan penyerahan sukarela oleh pemilik satwa tidak masuk sebagai prasyarat. Karena ancaman hukumannya, maksimal lima tahun.

Bagi Roni, pengembalian satwa dan penindakan hukum adalah dua hal berbeda. Justru aneh seolah ada pengampunan ketika pemelihara satwa dilindungi malah terbebas dari ancaman proses hukum. Apalagi, orangutan yang berstatus sangat terancam punah (Critically Endangered) itu diperoleh secara ilegal.

“Harusnya, BBKSDA sebagai otoritas terkait membuat laporan dugaan pelanggaran hukum itu kepada Gakkum KLHK atau kepolisian agar diproses. Bukan malah seolah melakukan pembiaran dan tutup mata dengan penegakan hukum,” ungkap Roni.

Kejadian seperti ini justru akan menjadi preseden buruk. Masyarakat bisa saja berpikir bahwa memelihara satwa dilindungi bisa terjerat dari hukum jika sudah mengembalikannya kepada negara.

Kehilangan satu satwa dari habitat akan berpengaruh sistemik pada kondisi ekologi. Apalagi orangutan yang dikenal sebagai pemencar biji. Bayangkan jika Jodet saat ini masih hidup di hutan, sudah berapa banyak biji yang disebarnya. Menjadi proses restorasi otomatis bagi habitat yang saat ini juga berada ditengah ancaman deforestasi.

Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN), dalam 75 tahun terakhir, populasi orangutan sumatera telah mengalami penurunan sebanyak 80 persen. Dalam IUCN Red List, Orangutan Sumatera dikategorikan Kritis (Critically Endangered).

Baca Juga: Statusnya Kritis, Tantangan Menyelamatkan Orangutan Semakin Besar

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya