Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus Mengalah

Citizen journalist harus ada untuk kawal hutan lindung

Medan, IDN Times – Sedianya, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Wiratno yang akan meresmikan organisasi nirlaba Sumatra Tropical Forest Journalism (STFJ). Kelompok jurnalis yang concern dalam isu-isu lingkungan di Sumatera. Namun apa boleh dikata, COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) membuat semua agnda STFJ harus tertunda.

Pertemuan dengan Pak Wir --sapaan akrab Wiratno-- hanya bisa dilakukan jarak jauh. Memanfaatkan teknologi. Sapaan hangat memulai diskusi STFJ dengan Pak Wir.

“Alhamdulillah saya sehat. Kita harus jaga diri, jaga kesehatan semuanya. Ini situasi yang tidak pernah kita alami seumur hidup. Sejarah dunia dirubah, semua teori tentang komunikasi, hubungan sosial dan globalisasi dirubah semua dengan adanya COVID-19 yang kita enggak pernah lihat bentuknya seperti apa, saking kecilnya. Tapi juga tidak menghilangkan bahwasannya manusia sebagai makhluk berkomunikasi,” ujar Wir kepada awak STFJ di Medan lewat diskusi daring, Kamis (9/4) lalu.

“Pasca Corona saya akan ke Medan, kita duduk bersama mendiskusikan tentang konservasi dan lingkungan,” imbuhnya.

1. Konservasi lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja

Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus MengalahOrangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) (IDN Times/Prayugo Utomo)

Wiratno pun menjelaskan, jika saat ini pemerintah terus melakukan upaya konservasi  terhadap lingkungan. Khususnya wilayah hutan yang didalamnya terdapat keanekaragaman hayati.

Mantan Kepala Balai Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ini juga menegaskan jika urusan konservasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Berbagai kelompok masyarakat (civil society) juga harus andil.

Karena, kata dia, yang merasakan manfaat kebaikan lingkungan adalah masyarakat. Sehingga keterlibatan masyarakat sangat penting,

“Konservasi Indonesia harus jadi mainstream dalam pengelolaan yang berkelanjutan,” katanya.

Baca Juga: Kampanye Soal Konservasi Lingkungan, STFJ dan PFI Medan Gelar Diskusi

2. Pak Wir juga beberkan daerah penopang penting untuk satwa langka di Sumatera Utara

Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus MengalahBonbon mengintip dari ventilasi peti yang membawanya dari Bali (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sepanjang diskusi, Wiratno juga bercerita pengalamannya selama bertugas di Sumatera. Khususnya di bagian utara.

Kata dia, bagian Utara Sumatera adalah bagian penopang penting. Terutama untuk satwa liar yang kini nyaris punah seperti gajah, badak, Harimau Sumatra dan orangutan.

Wilayah ini dimulai dari hulu Aceh, yang membentang mulai dari Singkil, Lawe Bengkung, Lawe Mamas hingga jajaran Hulu Masin sampai ke Sumut.

“Pertama penting karena di sini ada empat mamalia besar yaitu orangutan, gajah Sumatra, harimau Sumatra dan badak. Untuk badak, Indonesia merupakan wilayah paling penting ada di Leuser kondisinya sangat kritis. Lalu Gajah Sumatra 50 persen ada di Aceh,” bebernya.

“Kemudian yang kedua penting dari segi air di mana hampir seluruh daerah hutan di Sumatra bagian utara sangat berperan penting dalam memproduksi air untuk menjamin hidrologis dan keseimbangan iklim mikro, termasuk kontrol terhadap banjir di wilayah tersebut. Keseimbangan musim hujan dan musim kemarau serta daerah tangkapan air, daerah aliran sungai dan seterusnya,” lanjutnya.

3. Manusia harus mengalah jika berkonflik dengan satwa

Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus MengalahInstagram/@orangutaninformationcentre

Konflik antara satwa dengan manusia kerap terjadi belakangan ini. Perambahan kawasan hutan menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik. Tak sedikit manusia yang masih mengambil kawasan hutan, masuk dalam area jelajah satwa. Langkah-langkah mitigasi juga dilakukan untuk meminimalisir konflik.

“Saya kemarin baru dari Benar Meriah dan melihat bagaimana masyarakat membangun paret, lalu dipagar listrik karena daerah jelajah satwa besar tersebut berbenturan dengan wilayah-wilayah pertanian. Jika terjadi konflik antara satwa dan manusia, maka yang harus mengalah adalah manusia. Itu bisa diatasi dengan melakukan overlay antara peta jalur jelajah dengan manusia dan jika berbenturan, maka manusia yang harus mundur dengan solusi translokasi,” ungkapnya.

Baru-baru ini dia juga baru menemui kasus harimau yang terjerat di kawasan Riau. Untungnya, di Belang berhasil dievakuasi. “Ada harimau di-rescue dari jerat. Ia kita beri nama Korina, itu pada 28 Maret kebetulan hari ulang tahun saya. Kasihan sekali, untung kaki kanannya tidak sampai kena seling baja, dia sekarang diselamatkan dan dibawa ke pusat rehabilitasi harimau Sumatra di Dalmas Raya. Problem kita salah satunya masyarakat asal pasang jerat di hutan, nah jerat ini kena gajah, kena harimau, kena beruang dan ini dampaknya sangat mengerikan.” tukasnya.

4. Citizen journalist bisa menjadi pengawal kawasan hutan

Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus MengalahBonbon dalam kondisi baik saat tiba di kargo Bandara Kualanamu, Deliserdang, Sumatera Utara, Selasa (17/12) (IDN Times/Prayugo Utomo)

Kemajuan teknologi, kata Wiratno, bisa dimanfaatkan dalam upaya konservasi. Pelibatan masyarakat untuk menjadi citizen journalist (jurnalis warga) bisa menjadi salah satu caranya. Karena dalam beberapa kasus seperti perambahan hutan atau perburuan, bisa terngkap karena memanfaatkan citizen journalist.

Dia berharap STFJ bisa memberikan pendidikan jurnalistik kepada warga. Selain melakukan kerja-kerja jurnalistik yang menyoal lingkungan.

“Dengan membina citizen journalism, berarti membangun jejaring komunikasi sampai ke tingkat bawah. Selain itu perlu juga fokus membina citizen journalism sejak usia dini dengan datang ke sekolah-sekolah atau kelompok-kelompok pengajian,” ujar laki-laki yang sudah menulis beberapa buku tentang lingkungan itu.

5. STFJ bakal jadi sumber data untuk pegiat lingkungan

Dirjen KSDAE: Berkonflik dengan Satwa Liar, Manusia Harus MengalahDua ekor gajah di Barumun Nagar Wildlife Sanctuary (BNWS), Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatera Utara. Gajah-gajah yang ada di BNWS merupakan satwa yang diselamatkan dari konflik (Prayugo Utomo/IDN Times)

Rahmat Suryadi, Direktur STFJ yang juga ikut dalam pertemuan jarak jauh itu mengatakan, organisasinya bakal ikut mengawal konservasi lingkungan di Sumatera Utara. STFJ bakal lebh getol lagi menyuarakan isu-isu lingkungan.

STFJ sendiri dibentuk jadi wadah konsolidasi para jurnalis, pegiat, mahasiswa yang fokus pada isu-isu lingkungan. Dengan kemampuan para jurnalis di dalamnya, STFJ optimis jadi sumber data untuk isu-isu konservasi.

 “Niat kami membentuk lembaga ini agar bisa menjadi fasilitator untuk kawan-kawan yang eksis liputan di lingkungan, kemudian juga bisa jadi sumber data. Bersama-sama kita menyepakati agar konservasi di Sumatra Utara dan Aceh bisa berjalan dengan baik,” ujar Rahmad Suryadi Direktur STFJ.

Rahmat juga mengatakan jika STFJ dibentuk sebagai upaya regenerasi jurnalis lingkungan yang jumlahnhya masih sedikit.

Sejalan dengan itu, Bim Harahap Fasilitator Wilayah Sumatera Utara dan Aceh, Tropical Forest Conservation Action (TFCA) for Sumatera memberi dukungan penuh karena menurutnya jurnalis lingkungan di Sumatera Utara masih sangat minim dibandingkan daerah lain seperti Aceh.

Baca Juga: HUT Ke-16 PFI Medan, Foto Kelas Dunia Mejeng di Merdeka Walk

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya