Aparat Diduga Represif saat Eksekusi D’Caldera, KontraS: Berlebihan!

KontraS sebut polisi harusnya bisa lebih humanis

Medan, IDN Times – Bentrokan pecah saat proses eksekusi lahan yang ditempati D’Caldera Coffee di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan, Rabu (13/7/2022). Eksekusi dilakukan oleh juru sita dari Pengadilan Negeri  Medan berdasarkan gugatan  perkara nomor 79/perdata gugatan/2006/PN Medan. Meski pun, John Robert Simanjuntak disebuts ebagai pemilik sah dan memiliki sertifikat.

Para pendukung John Robert yang mempertahankan lahan itu kemudian harus berhadapan dengan kepolisian saat proses eksekusi. Di lokasi, aparat yang diturunkan, jumlahnya tidak sebanding dengan para pendukung. Ditambah beberapa armada taktis yang juga  bersiaga. Massa mendukung John Robert karena dia memiliki sertifikat.

Terjadi aksi tolak menolak antara pasukan polisi dan massa yang berjumlah kurang  dari 50 orang. Kondisi di lokasi memanas. Para pendukung John dan keluarganya tetap menolak. Polisi memecah konsentrasi massa. Pendukung yang kalah jumlah tidak bisa berbuat banyak. Mereka kemudian ditangkapi. Salah seorang massa mendapat luka. Giginya sampai copot karena diduga dipukuli oleh polisi. Belakangan, 32 orang yang ditangkap dilepas polisi. Mereka ke luar dari Mapolrestabes Medan pada Rabu malam. 

Tindakan represif yang diduga dilakukan aparat kepolisian mendapat sorotan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara. “Ini sangat berlebihan,” ujar Adinda Zahra Noviyanti, Kepala Operasional KontraS Sumut, Kamis (14/7/2022).

1. Pengerahan pasukan dan kendaraan taktis dinilai tidak proporsional

Aparat Diduga Represif saat Eksekusi D’Caldera, KontraS: Berlebihan!Polisi menangkapi massa pendukung D'Caldera Coffee saat proses eksekusi lahan, Rabu (14/7/2022). (Istimewa)

KontraS menilai, tindakan represif itu disinyalir telah menabrak asas nesesitas dan proporsionalitas. Dua asas ini yang seharusnya menjadi dasar kepolisian dalam menggunakan kekuatan.

“Asas nesesitas dan proporsionalitas mengamanatkan aparat penegak hukum hanya boleh menggunakan kekuatan jika benar-benar dibutuhkan, atau dengan kata lain kekuatan digunakan bila tidak ada cara lain. Selain itu takaran penggunaan kekuatannya juga harus disesuaikan antara kekuatan dan besarnya ancaman yang dihadapi,” ungkap Dinda.

Baca Juga: 32 Pembela D’Caldera Coffee yang Ditangkap Polisi Dibebaskan

2. Cara represif kerap terulang jika berkaitan dengan konteks eksekusi lahan

Aparat Diduga Represif saat Eksekusi D’Caldera, KontraS: Berlebihan!Polisi menangkapi massa pendukung D'Caldera Coffee saat proses eksekusi lahan, Rabu (13/7/2022). (Istimewa)

Amatan KontraS selama ini menunjukkan, aksi represif cenderung dilakukan saat berkaitan dengan konflik lahan. Padahal harusnya, polisi bisa melakukan pendekatan humanis.

“Pendekatan kepolisian dalam menyelesaikan masalah cenderung menggunakan cara represif, mengandalkan senjata dan wewenang penegakan hukum yang dimiliki. Bukan memilih langkah lain yang lebih humanis dan menjunjung tinggi martabat manusia,” tegas Adinda.

Menurutnya, proses eksekusi sejatinya dilakukan oleh juru sita dari Pengadilan Negeri Medan. Kepolisian hanya berperan mengamankan. Apalagi eksekusi pengosongan bangunan itu seharusnya bisa dilakukan dengan persuasif dengan tetap memperhatikan nilai kemanusian dan keadilan sesuai dengan Surat keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 40/DJU/SK/HM.02.3/1/2019 tentang Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri. Tapi situasi dilapangan menunjukkan gelagat, aparat kepolisianlah yang justru menjadi aktor utama dalam eksekusi. Hingga terjadi aksi saling dorong antara pihak kepolisian dan massa yang menolak eksekusi bagunan.

“Dalam kasus-kasus eksekusi lahan, Kepolisian kerap memilih untuk dihadap-hadapkan langsung dengan masyarakat. Pada akhirnya kepolisian juga yang mendapat sorotan karena diduga melakukan kekerasan,” kata Adinda.

3. Jika terus berulang, citra kepolisian akan terus memburuk di mata publik

Aparat Diduga Represif saat Eksekusi D’Caldera, KontraS: Berlebihan!Polisi menangkapi massa pendukung D'Caldera Coffee saat proses eksekusi lahan, Rabu (13/7/2022). (Istimewa)

Aksi – aksi represifitas tentu berdampak pada memburuknya citra kepolisian dimata publik. Padahal disisi lain, terdapat begitu banyak instrumen hukum serta aturan yang bisa menghindarkan kepolisian dari praktek serupa. Sebut saja Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian atau Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam kerja-kerja kepolisian.

“Segudang aturan itu pada dasarnya mendorong kepolisian untuk selalu mengutamakan pendekatan persuasif dan menjunjung tinggi HAM, bukan sebaliknya. Mengambil langkah represif untuk secepatnya mengakhiri persoalan dan membungkam protes orang,” tambah Adinda.

Sorotan lain juga diberikan KontraS terhadap korban yang mengalami luka dalam peristiwa ini. Adinda mendorong akses keadilan bagi korban harus dibuka selebarlebarnya. Mengingat saluran hukum untuk melaporkan tindakan kekerasan aparat sesungguhnya sudah terbuka lebar.

“KontraS secara kelembagaan pada prinsipnya siap untuk mengawal korban mencari keadilan. Bukan semata-mata untuk mencari-cari kesalahan, tapi untuk memastikan proses hukum yang tegas bisa menjadi pelajaran agar peristiwa serupa tidak berulang,” tutup Adinda.

Baca Juga: 33 Orang Ditangkap saat Eksekusi D'Caldera Coffee di Medan

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya