Aksi Global Climate Strike 2022: Oligarki Kuat Rakyat Makin Sekarat

Pegiat di Medan desak transisi energi berkeadilan

Medan, IDN Times - Poster bertuliskan ‘Global Climate Strike’ sepanjang sekitar tiga meter diarak massa keliling sisi luar Lapangan Merdeka Medan, Jumat (23/9/2022) petang. Massa lainnya juga membawa poster kampanye tentang perubahan iklim dan bahayanya kepada kehidupan manusia. Selain ada juga yang membentang poster kritik terhadap pemerintah yang dinilai masih abai terhadap mitigasi perubahan iklim.

Panas terik sore itu tidak membuat massa patah arang. Setelah berkeliling dan berorasi, mereka kemudian berhenti di titik nol Kota Medan. Aksi Global Climate Strike atau jeda iklim global itu, dilanjut dengan berbagai orasi, hingga pentas kreatif berisi kritik pedas kepada pemerintah.

Aksi ini digalang oleh kelompok mahasiswa dan lembaga yang fokus pada isu-isu lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kian petang, massa aksi bertema ‘Oligarki Kuat Rakyat Makin Sekarat’ itu terus berdatangan satu per satu. Mereka membuat lingkaran di bekas tugu titik nol Kota Medan.

1. Keadilan iklim masih menjadi mimpi

Aksi Global Climate Strike 2022: Oligarki Kuat Rakyat Makin SekaratAksi Global Climate Strike digelar sejumlah pegiat di Kota Medan, Jumat (23/9/2022). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Satu per satu perwakilan massa berorasi. Mereka sepakat, Indonesia sudah masuk dalam darurat iklim. Mereka juga sepakat, upaya pemerintah dalam melakukan mitigasi perubahan iklim masih sebatas wacana saja.

Mimi Surbakti, perwakilan massa dari Yayasan Srikandi Lestari menegaskannya. Misalnya saja di Sumatera Utara, Mimi masih melihat keadilan iklim masih menjadi mimpi. Masyarakat menjadi korban, bobroknya pemerintah dalam melakukan pencegahan.

“Penyumbang terbesar dari krisis iklim adalah energi fosil. Seperti misalnya, masih banyaknya pembangkit listrik yang menggunakan energi dari batu bara. Dampak penggunaan batu bara langsung dirasakan masyarakat yang ada di sekitar pembangkit,” ujar Mimi disela aksi.

Harusnya, kata Mimi, pemerintah mengurangi penggunaan energi fosil untuk pembangkit listrik. Sesuai dengan komitmen pemerintah, untuk menertibkan pembangkit listrik yang sudah melakukan pencemaran lingkungan.

“Komitmen pemerintah sama sekali belum terlihat. Padahal kita tahu, dampak dari penggunaan fosil sangat dirasakan masyarakat di tingkat tapak. Banyak anak-anak menderita penyakit gatal-gatal, sesak nafas. Pertanian mereka juga hancur. Rakyat semakin sekarat,” ujar Mimi.

Baca Juga: UMKM di Sumut Jumlahnya 2,8 Juta, Tapi Ini Kendalanya

2. Pemerintah harus transisi ke energi bersih berkeadilan

Aksi Global Climate Strike 2022: Oligarki Kuat Rakyat Makin SekaratAksi Global Climate Strike digelar sejumlah pegiat di Kota Medan, Jumat (23/9/2022). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Mimi mendesak pemerintah untuk segera melakukan transisi penggunaan fosil ke energi baru terbarukan. Ini menjadi alternatif yang baik, untuk menekan laju perubahan iklim.

“Pemerintah harus beralih kepada energi bersih berkeadilan. Pengelolaannya harus memikirkan kepada keadilan terhadap masyarakat,” ungkapnya.

Dia mendesak, pengelolaan energi terbarukan juga memikirkan dampak. Sebut saja, kata Mimi, PLTA Batangtoru yang dinilai justru menyebabkan degradasi pada ekosistem di sana.

“Dampaknya merusak hutan, merusak habitat satwa yang ada di sana. Itu tidak berkeadilan. Jadi harapan saya demokratisasi energi dipegang oleh rakyat secara penuh,” tukasnya.

Mimi juga memaparkan dampak nyata perubahan iklim yang ada di Sumut. Misalnya, banjir rob yang terjadi di kawasan pesisir. Ketinggian air yang masuk ke daratan semakin tinggi. Kemudian, kondisi cuaca yang saat ini sangat sulit diprediksi.

“Kerusakan ini akibat dari pengalihfungsian kawasan hutan. Sehingga peran untuk menahan laju perubahan iklim kian berkurang,” ungkapnya.

Kata Mimi, aksi ini juga digelar sebagai upaya penyadaran kepada masyarakat terhadap darurat iklim yang terjadi. Tak bisa dipungkiri, belum banyak masyarakat yang menyadari soal dampak serius perubahan iklim.

Upaya penyadaran ini, bagi Mimi, harus terus dilakukan. Sehingga semakin banyak orang yang tahu akan bahaya perubahan iklim.

“Karena bumi adalah satu-satunya tempat yang bisa kita tempati untuk hidup. Kita dalam kondisi darurat saat ini. Seruan untuk menjaga lingkungan, harus terus digalakkan,” ungkapnya.

3. Negara belum serius dalam upaya membatasi kenaikan suhu global 1,5º Celsius

Aksi Global Climate Strike 2022: Oligarki Kuat Rakyat Makin SekaratAksi Global Climate Strike di Kota Medan, Jumat (23/8/2022). (IDN Times/Prayugo Utomo)

Krisis iklim menjadi masalah serius di seluruh negara di dunia. Aksi-aksi protes terhadap perubahan iklim terus terjadi di sejumlah negara.

Extinction Rebellion Medan juga memberi kritik keras terhadap pemerintah. Saat ini pemerintah dinilai belum menjalankan langkah konkret dalam menekan laju perubahan iklim. Padahal dampaknya begitu fatal bagi kehidupan.

“Ini adalah kondisi darurat. Krisis iklim ini merupakan pelanggaran HAM karena belum ditangani serius oleh pemerintah,” ujar Cindy Silviana dari Extinction Rebellion (XR) Medan.

XR mempertanyakan sekaligus mendesak pemerintah dalam upayanya menekan laju perubahan iklim.

“Perlu ada kebijakan dan komitmen serius untuk menahan laju perubahan iklim. Pemerintah harus komitmen dalam upaya  menekan kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat celcius sesuai dengan perjanjian Paris,” pungkasnya.

Baca Juga: PPATK Telusuri Aliran Uang Judi Online di Sumut Milik Apin BK

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya