Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli Selatan

Ratusan petani ikut sekolah lapang dan berharap dapat ISPO

Tapanuli Selatan, IDN Times - Rinai membasuh bumi Angkola Sangkurnur. Dedaunan dari pohon sawit maupun karet ikut kuyup. Aroma tanah basah di Desa Simataniari mulai mengudara dan menembus indra penciuman.

Sepeda motor bebek ditumpangi seorang pria dan wanita, berhenti di sebuah warung kopi. Mereka turun dan masuk ke dalamnya. Bukan untuk berteduh, namun menepati janji. Berbincang dan membahas kehidupan ekonomi yang sedang dialami.

Senyuman dihantarkan keduanya ketika menyambangi IDN Times yang telah menunggu dan menikmati seperempat gelas teh hangat. Mereka telat tiba dikarenakan ada urusan yang harus dikerjakan. Pria dan wanita itu adalah Berlin Sihombing dan Tota Simanungkalit.

Tepat pukul 11.00 WIB, IDN Times pun membuka perbincangan untuk mendapatkan informasi dari warga yang berprofesi sebagai petani di salah satu desa di Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara tersebut.

1. Tota adalah satu dari ratusan petani sawit mandiri yang berjuang mengelola lahan sendiri

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanTota Simanungkalit, 58, satu dari ratusan petani sawit mandiri yang berjuang mengelola lahan sendiri di Tapanuli Selatan. (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Tota mulai mengutarakan keluh kesahnya sebagai petani sawit yang telah ditekuninya selama delapan tahun terakhir. Ia adalah satu dari ratusan petani sawit mandiri yang berjuang mengelola lahan sendiri.

Bukan tanpa sebab, Tota yang tergabung di Kelompok Tani Dosroha ini mengubah lahan miliknya dari persawahan seluas tiga hektar menjadi perkebunan sawit pada tahun 2012 silam. Alih fungsi lahan di sekeliling tanahnya, membuat ia harus ikut menyesuaikan. Lahan persawahan yang telah ia kelola selama 12 tahun, kini beralih menjadi lahan sawit.

“Karena di kawasan sawah saya sudah menanam sawit, ikutlah menanam sawit karena lahannya sudah gak bagus untuk menanam padi. Banyak penghalang, burung dari sawit payah menjaganya,” kata Tota, kepada IDN Times, Kamis (17/9/2020).

2. Bermodalkan pemahaman yang minim, Tota mulai menanam ratusan bibit pohon sawit di lahan miliknya

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanPuluhan petani sawit mengikuti Sekolah Lapang yang merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Bermodalkan pemahaman yang minim, Tota mulai menanam ratusan bibit pohon sawit di lahan miliknya. Ia pun mengakui bahwa proses merawat dan penaburan pupuk sesuai pengetahuannya yang ala kadar. Meski pohon yang ditanam berbuah, namun kualitas buah sawit dari perkebunan kecilnya tidak menjanjikan.

“Sebelumnya menanam sawit biasa, asal memilih bibit sawit. Memupuk juga sembarangan. Apalagi memanen. Kalau sudah butuh duit langsung dipanen saja, padahal kan hasilnya juga tidak bagus, ya kalau dijual jadi murah,” kata Tota menceritakan.

Selama delapan tahun dengan pemahaman seadanya mengenai pengelolaan sawit, Tota hanya menghasilkan 1,5 ton per hektare dari panen yang dilakukan setiap dua minggu sekali. Hasil dari penjualan itu, tidak langsung bisa dinikmati, namun sebagiannya harus kembali dikeluarkan karena untuk membayar upah bagi pekerja yang memanen sawit miliknya.

“Biasanya sekali panen 1,5 ton dalam dua minggu. Itupun bukan diambil sendiri, menggunakan tenaga orang lain,” ungkapnya.

3. Menjadi seorang petani sawit mandiri masih sulit jika bergantung pada hasil sawit

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanGuslan, 35, fasilitator Sekolah Lapang memberikan modul terkait pengelolaan sawit berkelanjutan di Tapanuli Selatan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Untuk memenuhi keperluan rumah tangga dan membiayai dua anak yang masih sekolah, ia mengaku tak bisa lagi bergantung dengan hasil panen sawit. Belum lagi, sejak suaminya meninggal, ia menjadi orangtua tunggal. Katanya, untuk menambah pemasukan setiap bulan, ia akan bekerja di lahan warga yang membutuhkan tenaganya.

Diakuinya menjadi seorang petani sawit mandiri masih sulit jika bergantung pada hasil sawit. Menurutnya dengan memiliki sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), petani sawit mandiri bisa sejahtera.

Dengan berharap mendapatkan ISPO, Tota ikut tergabung di Sekolah Lapang (SL) untuk mendapatkan ilmu cara bertani sawit berkelanjutan. Sekolah Lapang (SL) merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan yang diselenggarakan Conservation International Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan UNDP-GGP nantinya mendampingi petani kelapa sawit swadaya melalui kegiatan sekolah tersebut.

“Ikut Sekolah Lapang setahun lalu,” ungkapnya.

Sebelum mengikuti SL, ia menanam sawit dengan memilih bibit sembarangan dan memupuk asal-asalan. Belum lagi, kebiasaan memanen sawit muda saat keadaan mendesak.

“Kalau sudah butuh duit langsung dipanen saja. Ya kalau dijual jadi murah,” ceritanya.

4. Kendala lain menjadi petani sawit mandiri adalah tingginya harga pupuk

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanTingginya harga pupuk membuat hasil sawit sedikit (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Kendala lain menjadi petani sawit mandiri pun timbul. Jika sebelumnya ia belum memahami bagaimana mengelola kebun sawit dengan baik, kali ini kebutuhan bertani berupa pupuk menjadi masalah baru.

Tingginya harga pupuk diakui perempuan 58 tahun ini sangat menyakitkan. Padahal uang yang dihasilkan dari panen sawit tidak seberapa atau terbilang pas-pasan untuk digunakan membiayai kebutuhan sehari-hari. Sehingga tidak cukup untuk membeli pupuk.

“Sawit ini kan harus banyak perawatannya, kalau kurang ya hasilnya sedikit. Kalau kitakan menanam sendiri, merawat sendiri. Karena tenaga kurang terkadang dibantu anak kalau pulang sekolah,” ujar Tota.

“Kegiatan menyemprot (penaburan pupuk) ke ladang kalau ada uang saja, kalau gak ada uang gak ke ladang.”

Menjadi petani sawit mandiri, ia mengaku tidak ada tantangan selain biaya perawatan. Untuk itu, ia berharap bisa segera mendapatkan RSPO (Roundtable Sustanaible Palm Oil) atau ISPO.

“Itulah yang kita harapkan untuk kehidupan yang lebih enak.”

Baca Juga: Gak Susah Kok! Begini Cara Bikin Cokelat dari Minyak Sawit

5. Petani sawit cari kegiatan lain untuk menambah penghasilan selama adanya pandemik COVID-19

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanBerlin Sihombing, 44, ketua Kelompok Tani (Gapoktan) Sawit Jaya Lestari Saseba Kelapa Sawit Berkelanjutan Kecamatan Angkola Sangkurnur. (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Dalam empat bulan terakhir, untuk menambah penghasilan selama adanya pandemik COVID-19, Tota menanam padi di lahan pinjaman dan berhasil menghasilkan 10 goni padi.

Hasil panen sawit yang sedikit juga dialami Berlin Sihombing. Ia mengatakan, sudah lama tidak berharap dari hasil sawit karena harganya juga tidak stabil.

Pria yang juga menjabat sebagai ketua Kelompok Tani (Gapoktan) Sawit Jaya Lestari Saseba Kelapa Sawit Berkelanjutan Kecamatan Angkola Sangkurnur itu pun kemudian memfokuskan diri untuk berbisnis perkebunan karet pada tahun 2009.

Alhasil bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah lebih, beberapa tahun belakangan harga karet pun, diakui pria berusia 44 tahun, mengalami penurunan. Hal itu membuatnya mulai enggan untuk memanen getah karet.

 “Sejak harga karet turun, tidak diambil lagi. Ditinggal saja gak diolah lagi. Harganya per kilo Rp 6 ribu bervariasi,” ujar Berlin, petani yang juga berprofesi sebagai guru ini.

Ia mengakui, selama ini yang dilakukannya dalam mengelola perkebunan sawit, salah total, sehingga kemudian berdampak terhadap hasilnya. Pemahaman yang diberikan selama mengikuti SL, dianggap berperan besar.

“Kurombak lah, maksudnya kukurangi batangnya. Sebelumnya, kalau memupuk main semprot semua, mulai dari piringan semua disemprot akhirnya sawit stress. Sekarang gak lagi, sudah sesuai aturan yang dipelajari di SL,” jelas Berlin.

“Sebelum mengikuti Sekolah Lapang, pendapatan Rp 900 ribu. Sekarang kalau puncak buah bisa Rp 2,3 juta tapi tetap harus rajin dipupuk,” imbuhnya.

Usai berbincang mengenai kendala dalam mengelola sawit dengan Tota dan Berlin, IDN Times meminta izin untuk pamit. Keluhan ekonomi para petani ini gambaran kecil dari sejumlah kasus yang dialami oleh petani sawit lainnya.

6. Sekolah Lapang (SL) merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanAsbron P. Limbong, Agroforestry & Livelihood Coordinator Conservation International Indonesia (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Asbron P. Limbong, Agroforestry & Livelihood Coordinator Conservation International Indonesia mengatakan, Sekolah Lapang (SL) merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan dan UNDP-GGP, Conservation International (CI) Indonesia nantinya mendampingi petani kelapa sawit swadaya melalui kegiatan sekolah tersebut.

SL yang diikuti para petani ini biasanya dilangsungkan sembilan kali pertemuan dengan mendapatkan materi yang berbeda. Mulai dari pelatihan teknik budidaya sawit terbaik yang mencakup panen, penyortiran dan pengangkutan, penilaian perkebunan, pemupukan, pengendalian hama, materi ISPO serta konservasi.

Kini jumlah petani yang tergabung di SL, Siklus 1 dan 2 sebanyak 706 petani yang memiliki areal kebun di kawasan APL (Areal Penggunaan Lain). Peserta terdiri dari 27 kelompok tani yang tersebar di empat kecamatan sentra perkebunan sawit. Di antaranya, Kecamatan Angkola Selatan, Angkola Sangkunur, Batang Toru, dan Muara Batang Toru.

Sementara itu, pembentukan Gapoktan dijelaskan Limbong, dilakukan untuk mendorong percepatan petani menerima sertifikat RSPO. Hingga 2019, 706 petani yang tergabung dalam SL telah membentuk dua Gapoktan, yakni Gapoktan Sawit Maju Bersama di Kecamatan Muara Batangtoru dan Gapoktan Sawit Jaya Lestari Saseba di Angkola Sangkunur.

Sedangkan SL Siklus 3 yang direncanakan pada bulan Maret, baru bisa dilaksanakan pada bulan September karena kendala pandemik COVID-19. Kegiatan SL Siklus 3 diikuti sebanyak 348 petani.

7. Gapoktan Sawit Maju di Kecamatan Muara Batang Toru memiliki anggota 454 petani. Sedangkan Gapoktan Sawit Jaya Lestari berjumlah 261 anggota petani di Kecamatan Angkola Sangkurnur

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanPuluhan petani sawit tergabung dalam kelompok tani siklus 3 yang mengikuti Sekolah Lapang di Tapanuli Selatan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Gapoktan Sawit Maju di Kecamatan Muara Batang Toru memiliki jumlah kelompok sebanyak 17 unit dengan jumlah anggota 454 petani. Sedangkan Gapoktan Sawit Jaya Lestari berjumlah 10 kelompok dengan 261 anggota petani di Kecamatan Angkola Sangkurnur.

“Perlu dilakukan pembentukan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) tingkat kecamatan dengan anggota berasal dari kelompok tani yang mengikuti Sekolah Lapang,” jelas Limbong.

Sehubungan dengan itu, guna mendukung jalannya program Sekolah Lapang, pembangunan pembangunan demo plot berupa kebun percontohan bagi para petani dikatakan Limbong, juga dilakukan.

Selama kurun waktu 2018-2019, telah dibangun tujuh unit kebun percontohan. Lokasinya tersebar mulai dari Desa Bandar Tarutung dan Desa Malombubukkas di Kecamatan Angkola Sangkurnur, Desa Muara Huta Raja, Desa Terapung Raya, Desa Muara Manompas, dan Desa Muara Ampolu di Kecamatan Muara Batang Toru, serta Desa Sihuik-Huik di Kecamatan Angkola Selatan.

8. Komitmen Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan akan sawit berkelanjutan tertuang dalam Keputusan Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan No 188 45/92/KTPS/2018 dengan membentuk FoKSBI

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanPetani sawit yang bekerja di tengah pandemik COVID-19 di Tapanuli Selatan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Dedy Iskandar, Senior Policy Coordinator Conservation International Indonesia, mengatakan komitmen Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan akan sawit berkelanjutan tertuang dalam Keputusan Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan No 188 45/92/KTPS/2018 dengan membentuk Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Kabupaten Tapanuli Selatan (FoKSBI).

“Banyak pihak yang terlibat dalam sektor sawit, seperti pemerintah, swasta, petani, LSM, hingga akademisi,” tuturnya. Hal ini dilakukan untuk memaksimalkan koordinasi dalam mengimplementasikan program sawit berkelanjutan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Hasilnya, pada Februari 2018, FoKSBI berhasil merumuskan pedoman pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dalam Rencana Aksi Kelapa Sawit Berkelanjutan Kabupaten Tapanuli Selatan.

9. Bupati Tapanuli Selatan, Syahrul M. Pasaribu melalui Peraturan Bupati No.22 Tahun 2019 telah menyetujui RAK-KSB sebagai acuan pembangunan sawit berkelanjutan di Kabupaten Tapanuli Selatan

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanPuluhan petani sawit mengikuti Sekolah Lapang yang merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Bupati Tapanuli Selatan, Syahrul M. Pasaribu melalui Peraturan Bupati No.22 Tahun 2019 telah menyetujui Rencana Aksi Kelapa Sawit Berkelanjutan Kabupaten Tapanuli Selatan sebagai acuan pembangunan sawit berkelanjutan di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Rencana aksi yang ditetapkan oleh Bupati Tapanuli Selatan, pada 27 Agustus 2019, berisi rencana strategis, arah kebijakan yang akan diambil, serta kegiatan yang akan dilakukan oleh FoKSBI hingga 10 tahun ke depan.

Katanya, anggota FoKSBI juga telah melakukan berbagai pertemuan FGD dan lokakarya tematik mengenai minyak sawit berkelanjutan, aspek hukum lahan (PERPRES 88/2017 tentang penyelesaian penguasaan lahan di kawasan hutan), serta sertifikasi petani seperti ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable Sustanaible Palm Oil).

Melalui RAK, diharapkan industri kelapa sawit dapat memberikan manfaat sosial ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan bagi masyarakat dengan tetap menjaga lingkungan hidup, sesuai dengan visi yang tertuang di dalamnya.

“Target utamanya adalah 100 persen kebun sawit petani swadaya di Tapanuli Selatan memenuhi standar dan tersertifikasi ISPO pada tahun 2028,” ujar Dedy.

10. Pada Februari 2018, FoKSBI berhasil merumuskan pedoman pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dalam RAK-KSB di Tapanuli Selatan. RAK-KSB yang dilakukan sudah menuju RAN-KSB

Perjuangan Petani Dapatkan Standar Sawit Hijau di Tapanuli SelatanPuluhan petani sawit mengikuti Sekolah Lapang yang merupakan program upaya menerapkan sawit berkelanjutan (IDN Times/Masdalena Napitupulu)

Faisal Simamora S.Pt, M.Si, Kepala Bidang Penyuluhan Dinas Pertanian Tapanuli Selatan menyampaikan komitmen Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan akan sawit berkelanjutan tertuang dalam Keputusan Bupati Kabupaten Tapanuli Selatan No 188 45/92/KTPS/2018 dengan membentuk Forum Kelapa Sawit Berkelanjutan Kabupaten Tapanuli Selatan (FoKSBI).

Pada Februari 2018, FoKSBI berhasil merumuskan pedoman pembangunan kelapa sawit berkelanjutan dalam Rencana Aksi Kabupaten Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAK-KSB) di Tapanuli Selatan. RAK-KSB  yang dilakukan sudah menuju Rencana Aksi Nasional  Kelapa Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB) sebanding dengan Rencana Aksi Provinsi (RAP).

“Kita sudah maju selangkah, artinya saat pada pertemuan provinsi ataupun nasional, kita senantiasa jadi rujukan. Masukan-masukan dan hal-hal yang kita buat di kabupaten menjadi acuan dan masukan ke proses penyusunan RAP maupun RAN”.

Kata Faisal, seperti yang tertuang di PERBUP 2018, ia yakin akan banyak menggunakan hal tersebut sebagai acuan dalam pelaksanaan nantinya. Dengan harapan, keterlibatan seluruh stakeholder terutama perusahaan-perusahaan.

“Sampai sekarang kan yang paling utama kita serahkan itu adalah bentuk bagaimana kita membuat database petani. Lalu, bagaimana kita menyelesaikan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang sudah berjalan saat ini dan bagaimana kita menyukseskan program PSR di Tapanuli Selatan. PSR juga bagian dari RAK-KSB,” jelasnya.

Selain PSR, ia menuturkan Sekolah Lapang adalah bagian dari tahapan RAK-KSB. SL merupakan bagian dari keseluruhan tindakan yang ada di FoKSBI.

“Setelah pandemik COVID-19, SL sempat vakum. Kita kan masih ada di tengah-tengah Pandemik COVID-19, saya lihat kawan-kawan petani sudah antusias bertanya kapan lagi ada SL karena melihat petani kita yang sudah berhasil di tahap 1 dan 2,” ucap Faisal.

“Karena kelihatannya mereka sudah paham dari sosialisasi bahwa gambaran sawit berkelanjutan seperti itu. Kebun sawit yang baik itu tidak hanya sebatas sawit-sawit biasa saja. Nah, karena mereka sudah merasa itu (SL) suatu kebutuhan, banyak petani kita bertanya kapan lagi ada SL. Infonya SL sudah dimulai kembali awal September,” pungkasnya.

Baca Juga: New Normal, Konsumen Minta Lebih Banyak Produk Sawit Berkelanjutan

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya