Teater Rumah Mata Gelisah Melihat Stagnasi Kreatifitas di Kota Medan

Medan, IDN Times - Teater Rumah Mata memang sudah lama berdiri, ya, sejak tahun 2004. Teater ini awalnya hanya sebuah komunitas seni di kampus bernama Lentera.
Agus Susilo, Founder Teater Rumah Mata (TRM) mengatakan awal terbentuknya komuniats seni ini bermula dari sebuah pergolakan di kampus yang membuat komunitasnya tak bisa latihan hingga larut malam karena kesulitan birokrasi.
Nah, berawal dari permasalahan tersebut Agus dan Timnya sepakat untuk membuat teater di luar kampus yang fungsinya untuk mengembangkan diri lebih luas lagi.
Tak hanya itu, TRM juga terkenal dengan seni teater yang sering mengkritik keadaan sosial saat ini. Salah satunya adalah Situs Kotta China.
Kata Agus tempat tersebut adalah ikon Kota Medan yang sudah ada sejak abad 10 dan juga berpotensi menjadi wisata heritage pusat kesenian dan kebudayaan Kota Medan.
Salah satu karya yang mengkritik hal itu adalah reproduksi tanda yang dimainkan di Kota Medan hingga Jakarta.
Berikut informasi yang dikumpulkan IDN Times terkait perjalanan karier TRM!
1. Kegelisahan hati melihat Kota Medan yang mengalami stagnasi proses kreatif dan stagnasi karya

Selain itu, ada juga beberapa kegelisahan hati melihat Kota Medan yang mengalami stagnasi proses kreatif dan stagnasi karya.
"Di Medan pertunjukan seni gitu-gitu aja dan hanya sekadar saja," ujarnya.
Melihat hal tersebut, Teater Rumah Mata menghadirkan warna baru untuk seni teater di Kota Medan dan juga menyadari bahwa masyarakat banyak yang tak suka dan tak tertarik pada seni teater ini.
"Teater Rumah Mata lebih konsen kepada teater-teater yang lebih komedian dan banyak dialog agar masyarakat tertarik," pungkasnya.
2. Perubahan nama menjadi Teater Rumah Mata

Kemudian, pada tahun 2005 kembali terbentuk seni teater dengan perubahan nama menjadi Teater Rumah Mata (TRM).
Agus mengenang, naskah awal yang ditampilkan oleh TRM adalah metamorfosa darah aurat yang bersinergi dengan monolog pohon tanpa daun.
3. Pernah berhenti hingga bangkit kembali

Setelah kembali berhasil mendirikan TRM, teater ini juga pernah mengalami goncangan-goncangan di dalam tim selama lima tahun. Permasalahan itu membuat teater ini tak aktif dalam berkarya.
Tak mau berhenti terlalu lama dalam dunia seni, perjuangan mereka berhasil bangkit pada tahun 2009, TRM kembali hadir untuk menghibur masyarakat.
4. TRM panggungnya adalah alam semesta

Kali ini, mereka hadir dengan tampilan yang berbeda, Agus menyampaikan TRM membentuk teater yang tidak terjebak pada satu wilayah panggung.
"Jadi dalam setiap karya kita memasukkan bagaimana karya tersebut bisa dimainkan di mana saja, di TRM panggungnya adalah alam semesta," katanya.
5. Berkarya tanpa modal dan fokus pada sejarah

Agus menjelaskan bahwa komunitas seni ini murni berkarya dan berjuang tanpa modal.
"Setiap buat kegiatan kita berangkat dari nol tanpa dana karena kita yakin apa yang kita buat bermanfaat untuk masyarakat dan lingkungan," ujar Agus.
Sejak aktif kembali melalui berbagai program 2018, TRM fokus untuk membuat karya yang mengandung unsur histori dari sejarah situs.
Alasannya, melihat di Sumatera Utara terdapat ribuan situs sejarah yang tidak diperdulikan.
Nah, project tahun 2019 ini berangkat dari Situs Kotta China untuk menggali kembali artefak-artefak. "Benda purbakala yang ada di sana bisa dijadikan inspirasi dalam berkarya," ujarnya.
6. Melibatkan masyarakat untuk bergabung dalam seni teater

Sementara, untuk membuat sebuah tatanan yang baik dalam masyarakat, TRM melibatkan masyarakat untuk bergabung dalam seni teater ini.
"Jadi memang TRM sering bergerak ke wilayah-wilayah kampung, pinggiran, kemudian pentasnya pun keliling, satu titik ke titik lain tidak bergantung pada panggung yang besar," tuturnya seraya tersenyum.
Untuk jumlah anggota TRM sekarang ini ada 15 orang. Mengusung konsep dasar untuk mengedukasi masyarakat agar bisa terkait dengan seni teater dan mengembangkan potensi-potensi masyarakat agar lebih sejahtera juga terdidik.
"Untuk anggota TRM yang melibatkan masyarakat terdiri dari 12 orang yang aktif berusia 8-20 tahun," ujarnya.
7. Tak hanya sekadar menghibur, teater juga bentuk kritik sosial

Teater tak hanya sebatas seni yang sekadar menghibur saja, melainkan suatu bentuk kritik sosial untuk memberikan bentuk penyadaran baru melalui seni teater.
Salah satu bentuk kritik sosial yang dihadirkan TRM yakni mengkritik proses pembuangan sampah dari Kota Medan dan danau yang diganti menjadi jalan tol.
Lalu, lokasi yang biasa digunakan untuk festival layang-layang kini sudah dihancurkan dan akan diganti menjadi pabrik.
"Jadi pembangunan masif yang menghancurkan itu kita kritik, sementara dibawah sana masih ada peninggalan yg sangat berharga. Nah, penggalian selama ini masih sedalam empat meter, jika lebih dalam lagi maka lebih banyak lagi," kesalnya.