Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota Pekanbaru

Ditolak Keluarga, merantau hingga berakhir di penjara

Pekanbaru, IDN Times - Hidup sebagai transpuan di Indonesia jelas tak mudah. Cercaan dari tetangga bahkan penolakan dari keluarga menjadi sesuatu yang dihadapi. Hal ini dialami narapidana transpuan di Pekanbaru, Riau, diikat di pohon nangka hingga diusir dari rumah, akhirnya memilih merantau.

Kini dua transpuan ini mendekam di tahanan karena terjerat kasus narkoba. Yuk simak kisah Dewi dan Yance ditolak keluarga hingga berakhir di penjara:

1. Tertangkap pakai daster hingga disuruh pangkas rambut panjang

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruKegiatan Pendistribusian Bantuan Untuk Waria di Jakarta Barat (Dok. QLC Jakarta dan Sanggar Teater Seroja)

Senyum sumringah terpancar dari wajah dua transpuan yang mengenakan baju kaos biru muda bertuliskan Tahanan Rutan Pekanbaru. Sambil berjalanan beriringan, mereka yang berstatus tahanan di Rutan Klas IIB Pekanbaru, Riau tersebut memasuki ruang kunjungan.

Mereka langsung duduk dan tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. Yang satu berbadan gempal dan tinggi mengaku bernama Dewi, sedangkan temannya berbadan kurus bernama Yance.

Beberapa saat kemudian, Dewi tampak melamun sejenak sambil memandang keluar jendela ke arah parkiran Rutan. Matanya tampak berbinar-binar. "Bagus ya cuacanya," ungkapnya sambil tersenyum lirih kepada reporter IDN Times.

"Kapan ya bisa lihat dunia luar. Rindu rasanya," kata transpuan yang memiliki kulit sawo matang.

Dewi yang kini berusia 28 tahun itu mengaku, sudah setengah tahun lebih ia menjalani hidup di balik jeruji besi. Ia ditangkap Satuan Reserse Narkoba Polresta Pekanbaru pada November 2019 lalu karena kasus penyalahgunaan narkoba. Saat itu dia ditangkap bersama teman sekamar di indekos.

"Saat saya ditangkap sedang pakai daster, saya belum makai (menghisap sabu) tapi sedang pegang mancis (korek api). Teman saya sudah makai dua kali isap," ungkap Dewi.

Kalau mengingat kejadian itu, Dewi merasa lucu. Karena ketika dibawa ke Mapolresta, polisi sempat terkecoh. Mereka menyangka Dewi ini adalah perempuan 'tulen. "Saat ditangkap pakai short (celana pendek ketat). Mereka gak tahu aku bencong (transgender), rambut aku panjang," sebutnya.

Polisi berulang kali bertanya kepada Dewi karena merasa ragu apa dia benar perempuan atau tidak. "Kamu cewek kan? Bukan bencong (transgender)? Ditanya 3 kali sama mereka (polisi). Terus aku disuruh buka baju, waktu itu aku pakai dalaman perempuan warna merah," katanya sambil tersenyum lebar.

Setelah yakin Dewi berjenis kelamin pria, polisi pun tertawa. Akhirnya mereka menyuruh Dewi untuk memotong rambut panjangnya. Sebenarnya Dewi merasa sayang jika rambut tebal dan panjangnya dipangkas saat itu. Karena sudah bertahun-tahun ia merawatnya. Tapi akhirnya ia ikhlas karena menurut ketentuan apabila narapidana berjenis kelamin laki-laki haruslah berpenampilan rapi.

2. Dipindahkan ke Rutan dan jadi 'idola'

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota Pekanbaru(Pembuat konten YouTube bantuan 'sampah' untuk transpuan) IDN Times/Azzis Zulkhairil

Kemudian, setelah proses penyidikan perkara di kepolisian selesai, Dewi dipindahkan ke Rutan untuk proses lebih lanjut. Di Rutan, Dewi mengaku menjadi pusat perhatian atau 'idola' para warga binaan. Dalam artian menjadi pusat perhatian para warga binaan lain dan sering digoda, namun ia tak pernah merasa dilecehkan.

"Laki-laki masih suka godain aku, orang (warga binaan) itu lihat aku kayak nengok artis, teriak-teriak. Pertama kali aku masuk, banyak yang nanya-nanya ke aku. Nanya asal aku darimana dan ya kasusnya apa. Jadi kenal banyak orang aku disini," katanya.

Sebenarnya, sebelum dijebloskan ke penjara, Dewi sempat bekerja sebagai biduan. Dia sering menyanyi di acara-acara pernikahan. Oleh karena itu, pihak Rutan menyarankan Dewi untuk bernyanyi guna menghibur para pengunjung yang datang dan mengembangkan bakatnya.

"Bahkan ya, kalau ada orang besuk, mereka bilang gak mau pulang kalau Dewi belum nyanyi. Ya udah lah, tiap ada besuk tahanan aku nyanyi aja," tuturnya.

Tetapi, belakangan Dewi sudah tidak dapat lagi menghibur para pengunjung. Karena adanya pandemi COVID-19 yang merebak ke seluruh Indonesia dan aturan yang memang tidak memperbolehkan lagi keluarga membesuk para warga binaan untuk mencegah terjadinya penularan virus tersebut di Rutan.

"Ya sebenarnya pengen sih menghibur pengunjung lagi. Karena mereka senang kalau aku yang nyanyi dan akupun senang bisa menghibur mereka. Tapi karena COVID-19 inikan udah gak ada yang dibolehin lagi datang ke Rutan," keluhnya.

Terkadang dari hasil menghibur pengunjung yang datang, Dewi diberikan rokok, kue atau bahkan uang. "Itulah enaknya. Walaupun gak banyak tapi kalau yang namanya udah di dalam penjara udah senang kali lah itu dikasih kayak gitu," tuturnya.

Selama di Rutan, tiap pagi setelah bangun tidur Dewi dan warga binaan lainnya di absen oleh pegawai. Kemudian diberi pembinaan agar ketika bebas nanti bisa produktif. Selain itu, siraman rohani juga diberikan baik yang beragama Islam, Kristen maupun Buddha dan Hindu.

Baca Juga: Jerit Transpuan Saat Pandemik, Tak Bekerja dan Kesulitan Akses Bansos

3. Tidak diterima keluarga, disiksa hingga diikat di pohon nangka

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruBekas sayatan pisau yang membekas di tangan Ika. Istimewa

Sebenarnya, masuknya Dewi ke dalam penjara belum diketahui oleh orangtua dan saudaranya yang tinggal di Sumatera Utara. Dewi mengaku memang tidak ingin memberitahu keluarganya. Sebab, ia tak mau menyusahkan mereka dan merasa bersalah terlebih karena sudah terlibat dalam kasus narkoba.

"Gak ada keluarga yang tahu. Hanya keponakanku saja. Itupun aku larang dia buat ngasih tahu keluarga karena aku takut keluargaku bakal kepikiran," ucapnya sambil meneteskan air mata.

Orangtua Dewi tak pernah menerima perubahan sikap dan penampilannya yang mirip perempuan. "Bagi mereka kalau aku seperti ini, aku diharamkan pijak rumah. Kadang aku melihat kawan yang sudah diterima keluarganya, terpikir sama aku kapan sih aku bisa seperti dia," kata Dewi mengusap air matanya.

Kebimbangan Dewi mengenai orientasi seksualnya itu sudah dirasakan sejak ia kelas 3 Sekolah Dasar (SD). "Aku pakai rok ke sekolah. Guru agama dan kepala sekolah sampai datang ke rumah bilangin sama orangtua aku. Tapi aku tidak mau ke sekolah kalau tidak pakai rok," tuturnya.

Karena hal itu, Dewi selalu dimarahi oleh orangtuanya. Meski begitu, Dewi tak pernah dendam. Hingga umur 14 tahun, Dewi tetap membantu orangtuanya bekerja seperti menanam padi dan menggembala kambing.

Pernah suatu waktu, Dewi menghadiri pesta tetangganya. Di sana ia melihat seorang transgender yang menjadi perias pengantin. Dewi terkesan melihat transgender yang tak menutupi jati dirinya dan bisa menghasilkan rupiah dari kemampuannya.

"Jadi di kampung aku itu ada juga bencong (transgender) kerjanya rias pengantin, bahkan dia udah ganti kelamin. Aku tertarik, ya udah aku ikutin lah dia," katanya.

Semenjak itu, Dewi sering mendatangi transgender tersebut dan membantunya merias pengantin. Di sanalah Dewi mendapatkan kemampuannya. Selain itu, karena suaranya yang cukup merdu, Dewi kemudian ditawarkan untuk menyanyi. Jadi, selain merias pengantin, Dewi juga bersenandung.

Di saat itulah Dewi mulai merasa nyaman menjadi seorang transpuan dan menemukan jati dirinya yang sebenarnya. Ia mulai memanjangkan rambutnya, menggunakan make up dan mengenakan pakaian perempuan.

"Ada orgen di kampung, jadi pemilik orgen ngajak aku nyanyi digaji Rp50 ribu. Di sana aku mulai panjangin rambut. Ketahuan sama mendiang bapak, sebenarnya bapak aku welcome (terbuka) orangnya, hanya dia malu. Asal aku nyanyi, bapak aku di bawah jualan es serut. Sebenarnya dia sempat bilang tak masalah, tapi karena dia orang kampung ya malu aku begini," sebutnya.


Karena keputusannya mengubah penampilan menjadi perempuan itulah orang tua Dewi jadi naik pitam. Bahkan ia mengaku pernah disiksa oleh orangtuanya supaya ia kembali berpenampilan laki-laki. Ia mengaku pernah diikat orangtuanya di pohon nangka berhari-hari agar ia bisa bersikap 'jantan'. Tapi batinnya tetap mengatakan tidak.

"Aku tetap menolak dipaksa menjadi lelaki. Aku sempat berusaha, main dengan teman cowok dan diajak kenalan dengan cewek. Saat cewek itu suka sama aku, tapi aku malah suka dengan temanku yang cowok ini," ucapnya.

Hingga akhirnya, Dewi memutuskan untuk merantau keluar dari kampung halamannya saat ia berumur 18 tahun. Dewi bekerja di orgen tunggal keliling kampung sebagai pemandu lagu di acara perkawinan.

"Aku merantau ke Riau tujuh tahun lalu. Selain nyanyi, aku juga bisa make up pengantin. Aku belajar make up itu ya lihat dari medsos (media sosial). Bekerja sama dengan wedding organizer," ujarnya.

Dari pekerjaannya tersebut Dewi dapat bertahan hidup di perantauan. Sekali merias pengantin, ia diberi upah 500 ribu hingga Rp1,5 juta. Begitu juga kalau dia menjadi pemandu lagu.

4. Terjerat narkoba karena salah pergaulan

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruBNN Temukan Sabu Dalam Karung Jagung di Tangerang (Dok. BNN Kota Tangerang)

Semula, hidup Dewi berjalan lancar tetapi mulai tak terkendali saat ia mengenal narkoba dari temannya yang juga seorang transpuan. "Ada teman satu panggung dia bencong juga, dia yang ngasih. Awalnya punya cincin, kalung emas tapi lama-lama habis. Perhiasan itu dapat tabungan dari menyanyi," ungkapnya.

Semenjak mengenal barang haram tersebut, hidup Dewi mulai amburadul. Uangnya habis untuk berfoya-foya dan menghidupi mantan kekasihnya. Sampai ia tertangkap dan masuk penjara.

Dewi sempat down dan stres saat ditangkap polisi. Tapi dia mencoba berpikir positif. Menurutnya, Allah masih menyanyanginya karena telah memberikan ujian seperti ini. Dia akan menjadikan hal ini sebagai pelajaran dan pengalaman hidup.

5. Kerja keras karena tulang punggung keluarga

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruInstagram.com/kebebasanrakyat

Kisah Dewi sedikit berbeda dari Yance. Kalau Dewi tak pernah merubah bentuk tubuhnya. Namun Yance pernah memasang implan payudara. Hingga kini, implan payudara itu ternyata masih terpasang di dada pria berusia 32 tahun tersebut walaupun tak terlihat jelas saat ia mengenakan baju kaos.

Keluarga Yance juga sudah bisa menerima sosoknya yang seperti itu. Meski dilahirkan sebagai laki-laki, tapi Yance yang juga terlibat kasus narkoba ini, tak pernah merasa benar-benar menjadi seorang lelaki. Hal itu juga dirasakannya sejak dia kecil. Dia suka bermain boneka dan mengenakan gaun perempuan.

Perjuangan Yance supaya diterima oleh keluarga juga cukup berat. Dia pernah dipukul bahkan diusir dari rumah. Meski begitu Yance tidak marah kepada orang tuanya. Dia terus berusaha mendekatkan diri ke keluarganya dan memberikan pengertian bahwa ia tidak akan menyusahkan keluarga.

Sejak remaja Yance sudah 'banting tulang' untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya, ketika itu transpuan ini berjualan keripik dan kue keliling kompleks karena ayahnya sudah tiada. Bahkan dia telaten mencuci piring, baju, memasak, menggosok hingga membersihkan rumah.

"Dulu suka juga main ke salon-salon. Sambil jualan singgah ke salon. Kalau ketahuan mamak ya kena seret, gak boleh main ke salon," ungkapnya.

Yance mulai tertarik mendandani perempuan dan mempermak rambut. Sambil berjualan, ia belajar bagaimana cara kerja di salon. Merasa sudah mahir, Yance memberanikan diri membuka salon sendiri pada tahun 2005 hingga akhkrnya memiliki 6 orang pegawai.

Kepiawaian Yance bahkan sudah diakui di kalangan istri pejabat. Yance mengaku sering dipanggil untuk merias istri-istri pejabat baik untuk acara resmi maupun di hari biasa.

Terjerumusnya Yance ke dunia kelam ketika ia diajak oleh teman-temannya karaoke. Dari sana, ia mulai mengenal namanya narkoba dan menjadi pengguna aktif. "Aku ketangkapnya di salon. Tapi sekarang (salon) sudah tutup karena gak ada yang ngejalanin," ujar transpuan berkulit kuning langsat tersebut.

6. Dipercaya jadi tukang pangkas rambut di Rutan Pekanbaru

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruIDN Times/Patiar Manurung

Di Rutan, Yance dipercaya untuk mengelola tempat pangkas rambut di sana. "Ya alat-alatnya sudah disediakan. Tinggal pangkas aja lagi. Biasanya aku dibayar Rp 5ribu atau ada juga yang bayar dengan rokok atau kasih mi instan," katanya.

Memang bayaran yang diterimanya sangat jauh bandingannya dengan penghasilannya sewaktu diluar. Namun, Yance merasa inilah kesempatannya untuk tetap mengasah kemampuannya memermak rambut.

Tidak sama dengan Dewi, setelah bebas nanti Yance tetap akan melanjutkan usahanya membuka salon. Karena menurutnya, disanalah ladang rejekinya. Terlebih lagi, selama ini dialah yang menjadi tulang punggung keluarga.

Selama mendekam di sel besi, kedua transpuan ini mengaku belum pernah menerima pelecehan maupun kekerasan."Baik-baik orang (warga binaan) dan petugas disini. Alhamdulillah juga belum pernah dilecehkan. Malahan mereka yang takut sama kita kalau mau macam-macam," kata keduanya sambil tertawa.

Hal ini juga dibenarkan oleh Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) Riau. Hariadi selaku admin finance OPSI Riau menyebutkan, bahwa hingga kini pihaknya belum pernah menerima keluhan atau laporan soal kekerasan atau pelecehan seksual warga binaan transpuan dan transpria di dalam Rutan ataupun Lapas di Pekanbaru.

"Kami belum menerima keluhan atau laporan dugaan pelecehan atau kekerasan. sel khusus untuk mereka dan mesti digabungkan dengan yang lain. Tapi itu kan wajar saja karena kalau transpuan kan masih laki-laki dan belum mengubah bentuk kelamin. Selain itu kapasitas Rutan juga tidak mencukupi," jelasnya.

Begitu pula dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Mulai dari proses penyidikan di kepolisian hingga putusan, pihaknya belum mendengar adanya hal tersebut. Seperti apabila transpuan memiliki rambut yang panjang kemudian disuruh pangkas, hal ini menurutnya bukanlah termasuk pelanggaran HAM.

"Ya selama mereka (transpuan) mau dan sukarela melakukannya itu bukan pelanggaran HAM. Kan seperti yang kita tahu kalau di dalam penjara itu mereka dididik. Jadi, kalau rambutnya dipangkas itu mengajarkan mereka untuk rapi. Kecuali kalau napi tadi adalah napi transgender yang sudah berganti kelamin. Maka harus diperhatikan juga hak-haknya," ujarnya.

7. Over kapasitas sebabkan berbagai masalah krusial di penjara

Kisah Transpuan di Balik Jeruji Besi Kota PekanbaruJoko Tjandra di Rutan Bareskrim Polri (Dok. Istimewa)

Sementara itu, Kasi Pelayanan Tahanan Rutan Sialang Bungkuk, Yopi Febrianda mengaku tidak ada blok pemisah antara narapidana transpuan dengan yang lain karena Rutan sudah over kapasitas. Sehingga harus bergabung dengan napi laki-laki yang lain. "Mereka tidak di blok khusus, karena blok kita terbatas dan digabung dengan napi yang lain," ungkapnya.

Untuk saat ini, tahanan dan narapidana yang mendekam di Rutan ada sekitar 1.487 orang. Semula ada sekitar 1.900an. Namun karena adanya COVID-19, sebanyak 388 narapidana diberikan asimilasi untuk mencegah terjadinya penyebaran di dalam Rutan.

Hingga kini, Yopi yang sudah setahun lebih menjabat posisi Kasi Pelayanan Tahanan Rutan mengaku belum pernah mendapatkan laporan terkait pelecehan. Tapi, jika ada sesama warga binaan yang kedapatan berhubungan intim akan diberikan sanksi berupa trap sel atau ditempatkan di sel kecil.

Hal ini pernah terjadi. Pengakuan seorang mantan narapidana transpuan yang enggan disebutkan namanya dan baru saja keluar dari salah satu penjara di Pekanbaru mengakui kalau warga binaan transpuan memang menjadi idola di dalam penjara. Sebab warga binaan transpuan dinilai memiliki perawakan seperti perempuan dan dianggap bisa dijadikan sasaran untuk melampiaskan kebutuhan biologis.

Selain warga binaan transpuan, warga binaan yang memiliki kulit putih dan masih muda juga jadi incaran mereka yang haus akan kebutuhan biologis. "Biasanya napi yang hukumannya tinggi dan sudah beristri. Makanya jadi suatu hal yang lumrah di dalam sana," sebutnya.

Dia juga bercerita kalau ia pernah di trapsel oleh petugas karena ketahuan berhubungan intim dengan teman satu selnya. Hal itu dilakukannya saat dini hari di dalam toilet, ketika teman-teman satu selnya sudah tertidur lelap.

"Waktu subuh. Jadi ketahuan sama pegawai yang lagi patroli. Jadi kena trapsel aku. Malahan disuruh pindah blok. Ya akunya gak mau lah, udah nyaman di sana dan lagian kan mau gimana lagi juga," ungkapnya.

Selain hukuman trapsel, warga binaan binaan tersebut bisa dipindahkan ke UPT lain. "Aku dengar sanksinya lumayan berat. Ya kalau aku pernah di trapsel itu aja. Tapi ada juga yang dipindahkan ke penjara lain," ujarnya.

Kembali lagi ke Kasi Pelayanan Tahanan Rutan, menegaskan bahwa, untuk mencegah terjadinya sesama warga binaan berhubungan badan, petugas jaga rutin melakukan patroli keliling sel. Baik di pagi, siang, malam hingga dini hari.

Memang di sejumlah Lapas dan Rutan di Pekanbaru, belum tersedia fasilitas bilik asmara. Ini dikarenakan adanya permasalahan yang lebih krusial yaitu kelebihan kapasitas. Pemerintah memamg sudah lama mencanangkan fasilitas ini agar tersedia di seluruh Lapas di Indonesia. Namun, diketahui baru 3 Lapas yang memiliki fasilitas ini yaitu di Lapas Ciangir, Lapas terbuka Kendal dan Lapas Nusa Kambangan yang sudah mulai dipraktekkan sejak setahun yang lalu.

Selain sanksi kurungan isolasi, para warga binaan juga akan diberikan pembinaan rohani atau keagamaan sesuai agama yang dianutnya. Begitu pula, agar warga binaan tetap produktif, maka diberikan pembinaan sesuai dengan bakatnya masing-masing.

"Kalau pembinaannya tidak ada yang membedakan. Pembinaannya sama saja, tapi kita arahkan ke kemampuan yang mereka miliki. Biasanya transpuan memiliki kemampuan potong rambut jadi kita arahkan ke sana. Kita juga ada pembinaan menjahit, hiburan pembinaan grup musik atau penyanyi untuk mereka," bebernya.

Bukti adanya pembinaan itu kata Yopi, seperti diadakannya kegiatan hiburan. Dimana yang mengisi kegiatan grup musik tersebut adalah para tahanan maupun narapidana, kegiatan berkebun, kerajinan tangan dan lain-lainnya.

Bahkan, kerajinan tangan dari para tahanan dan napi yang terbuat dari koran bekas ini sering dipamerkan dan dijual saat hari-hari besar dan ada kunjungan. "Jadi kalau kerajinan tangan itu sering dijual mereka. Lumayan juga dapatnya. Selain itu, pembinaan diberikan supaya para tahanan dan napi ketika keluar bisa lebih produktif lagi," tutupnya.

Baca Juga: Transpuan Sumut Berharap Gak Ada Lagi Prank Seperti Ferdian Paleka

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya