[WANSUS] Menag Fachrul Bicara Masa Kecil Hingga Melawan Radikalisme

Menag juga menanggapi isu tsunami Aceh akibat ganja

Jakarta, IDN Times - Fachrul Razi, tokoh militer yang dipercaya Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjabat sebagai Menteri Agama (Menag) dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Pengangkatan mantan Wakil Panglima TNI ini menuai kritik dari sejumlah pihak. Selain karena latar belakangnya dari militer, selama ini kursi Menag kerap diamanahkan pada kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU).

Beberapa hari belakangan, menteri kelahiran Banda Aceh, 26 Juli 1947 itu juga menjadi sorotan media lantaran kritik kerasnya terhadap gaya berpakaian umat Islam. Lulusan Akademi Militer 1970 itu mengatakan, “(penggunaan niqab atau cadar dan celana cingkarang) bukan indikasi bahwa ketakwaan seseorang sudah tinggi.”

Menurut Fachrul, dua hal itu adalah budaya Arab bukan anjuran dalam Islam. Namun, dia juga menyebutkan Islam tidak melarang umatnya berpakaian seperti itu, tanpa memperhatikan latar belakang etnis.

Selama ini memang muncul stereotip di kalangan masyarakat bahwa perempuan yang mengenakan niqab dan lelaki yang menggunakan celana cingkrang adalah penganut Islam konservatif. Bahkan, tidak sedikit yang mengidentikkan mereka sebagai penjunjung khilafah.

Pada Kamis, 31 Oktober 2019 lalu, IDN Times berkesempatan berbincang dengan Menag Fachrul selama 20 menit. Kami bertanya tentang latar belakang pendidikan keagamaan dia, hingga langkah konkretnya dalam memerangi radikalisme di Indonesia.

Di tengah-tengah wawancara tersebut, Mantan Kepala Staf Umum ABRI itu juga menjelaskan dasar pernyataannya tentang niqab.

“Bukannya saya melarang, itu bukan kewenangan saya,” kata Fachrul. “Kita (Kementerian Agama) gak bisa melarang, kenapa? Karena Islam juga tidak melarang. Tapi kalau mengambil kebijakan dari aspek keamanan, ya logis saja.”

Yuk simak wawancara IDN Times bersama Menag Fachrul Razi selengkapnya.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh

Kira-kira sudah satu minggu lebih dilantik jadi Menteri Agama, bagaimana kesibukannya, pak?

Kalau sibuk ya kita senang sibuk ya. Tapi memang lebih sibuk sedikit karena banyak yang minta waktu, waktu mau wawancara, misalnya macam kalian (media), waktu untuk undangan datang, tapi biasa-biasa saja.

Jadi sibuk sudah passion ya, pak?

Ya, passion. Silaturahmi tambah luas.

Kita agak sedikit kilas balik ke belakang. Boleh dong pak diceritakan detik-detik ketika ditelepon Istana, itu gimana?

Kalau sebelumnya isu-isu sudah ada ya, ya biasa. Di lingkaran Istana juga banyak teman-teman. Ada Pak Wiranto, Pak Luhut, Pak Pramono, banyak teman-teman. Sudah ada isu-isu, biasalah. “Sepertinya bapak mau diajak gabung sama Pak Jokowi”. "Wah gitu". Tapi waktu saya menghadap Pak Jokowi, ya biasa, waktu dipanggil menghadap, saya kan hormat, biasanya ngadep presiden gak boleh seenaknya. Siap Bapak Presiden, siap menghadap. Tapi biasalah Pak Jokowi, dulu kami punya jokes, kita tidak pernah berhasil ketemu presiden. Karena kalau minta menghadap Pak Presiden, yang ketemu Pak Jokowi lagi. Maksudnya Pak Jokowi dengan gaya dulu aja. Tidak berubah, sederhana, senyum, tawa. Saya menghadap begitu, Beliau bilang “Pak Fachrul”. Jadi waktu itu Beliau ngomong, pembukaan-pembukaan, cerita, salam dari teman-teman. Setelah itu baru Beliau mulai ngomong tentang masalah situasi bangsa, pendidikan, keamanan, kemudian menyinggung juga masalah radikalisme, pembinaan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Sudah ngomong begitu. Langsung Beliau berbicara bahwa, "Pak Fachrul akan saya ajak untuk membantu kabinet ini.”

"Siap, pak!"

“Banyak masalah yang harus diselesaikan”

"Siap, pak!" Itu challenge buat saya.

Ya gitu lah. Sudah gitu selesai, keluar. Nah besoknya (ketika pelantikan) baru dipanggilkan menjadi Menteri Agama.

Jadi memang belum tahu ya sampai hari pelantikan?

Belum, belum. Tapi clue-nya sudah dibayangkan dekat-dekat situ.

Teman-teman wartawan sudah dapat kabar kalau nama Menteri Agama itu Bapak Fachrul Razi. Itu memang Bapak masih belum tahu sampai hari pelantikan?

Kalau dibilang belum tahu berarti tahunya tebak-tebakkan. Tapi kan gak bisa bilang kita tahu. Pada saat mau pelantikan baru Beliau panggil secara tajam.

Persiapan menuju Istananya bagaimana tuh, pak?

Saya punya banyak sekali baju putih. Dan kebetulan saya hobi pakai baju putih. Kalau pakai baju putih waktu datang itu memang disampaikan Pak Pratikno, “nanti pakai baju putih”, "oh siap pak". Tapi kan buat saya baju putih sudah biasa saja. Kalau dibilang baju hijau, itu baru agak, oh. (Sebelum ditelepon) Pak Pratik WA dulu dengan gaya Jawanya. Karena Beliau itu kan, meskipun saya orang Aceh, kalau ngomong dengan saya bahasa Jawa aja. Anu, nggeh. Sesuk, nggeh. Pakai baju putih ya, nggeh.

Sedikit bicara masalah keagamaan pak. Ada yang bilang bapak ini Purnawirawan TNI tapi rasa ulama. Kita penasaran nih pak, kalau role model tokoh Islam bapak itu siapa sih, pak?

Siapa ya, ya mungkin Muhammad Hatta. Dia tokoh yang lengkap sih ya. Selain ilmu agamanya tinggi, dia juga negarawan, ahli tata negara, pemerintahan. Dia bagus ya. Tapi saya selalu bilang, gak ada contoh manusia yang bisa dijadikan contoh untuk segala hal. Tapi kalau di bidang itu boleh lah saya bilang Muhammad Hatta.

Kalau sahabat-sahabat Nabi, Pak?

Rasulullah kalau saya. Betul, kalau itu saya gak bohong. Memang gaya kepemimpinan Rasulullah itu luar biasa. Dia kalau pemimpin itu biasanya, kalau sudah jadi pemimpin, gak mau menerima saran. Beliau banyak sekali menerima saran dari sahabat dan Beliau ikuti. Pada sisi lain, kapan Beliau mengambil keputusan, meskipun para sahabat menentang, kalau ini yang baik akan dia lakukan. Misalnya, yang saya maksudkan Perjanjian Hudaibiyah. Itu kan luar biasa, para sahabat menentang semua. Tapi ternyata itu perjanjian yang luar biasa hebatnya. Betul-betul sangat ampuh. Sehingga dalam waktu setahun saja kafir Quraisy meminta supaya perjanjian itu dihentikan, dicabut.

Termasuk dengan Piagam Madinah ya, pak?

Piagam Madinah luar biasa.

Bapak lahir di Aceh, wilayah dengan nilai-nilai Islam yang kuat. Boleh dong pak cerita dulu pendidikan agama dari orang tua kayak gimana?

Ya ada, pendidikan kami kan di pengajian. Pengajian biasa lah, di asrama ada guru ngaji. Kebetulan ngajinya karena di rumah saya agak sedikit luas, kami mengaji di rumah saya, di halaman depan, ya biasa mengaji sama dengan kenakalan anak dulu kalau ngaji, kadang-kadang bercanda-canda, mana tangan, diketok-ketok pakai rotan. Iya ustaz, diam lagi, mendengarkan. Nanti kalau meleng bercanda lagi, biasa gitu lah.

Sering dihukum dulu pak?

Ya gitu-gitu dihukum, tapi bukan dihukum yang kayak gitu.

Pernah gak sih bapak kebayang jadi Menteri pas sudah besar?

Menteri Agama sih tidak. Tapi memang saya suka kehidupan agama. Karena saya selama menjabat pun (ketika militer), banyak penyelesaian atau kontak-kontak katakan lah benturan-benturan, gesekan-gesekan vertikal, saya selesaikan dengan pendekatan agama. Biasa aja lah. Apalagi kalau tiap bertugas selalu ada kelompok-kelompok yang benturan, katakan lah yang satu pemeluk agama lain, yang sini pemeluk agama Islam, nah selalu bisa diselesaikan dengan pendekatan agama.

Tapi kalau cita-cita sebenarnya apa nih pak pas kecil pengennya?

Tentara, meskipun saya diomongin ayah saya sama teman-teman. Kamu badan kecil mau jadi tentara.

Masa dulu kecil badannya, pak?

Kecil, dulu kecil saya. Sampai sekarang juga kecil, makannya yang besar.

Tapi masih tegap gitu, pak?

Iya kalau tegap iya karena banyak makan. Kalau tegap itu kan karena memang kita gak pernah berhenti olahraga ya. Meskipun lama-lama porsinya mengecil.

Apa olahraga favorit, pak?

Kalau sekarang tinggal treadmill sama beban. Kalau beban tetaplah supaya badannya jangan loyo.

Dulu ketika masih berkiprah di militer, ada gak sih pak pengalaman relijius?

Saya punya kenangan pertama naik haji tahun 1975. Bayangkan berapa puluh tahun yang lalu itu ya, 30-40 tahun. Waktu itu saya tugas di United Nations. Itu betul-betul saya haji ke tempat yang suasana nya dulu. Kan belum ada bom minyak waktu itu, jadi ya Saudi itu tanda petik masih miskin lah. Jadi Masjidil Haram itu betul-betul belum seindah, sebagus sekarang, kotor, jelek, bau, mohon maaf ya. Kemudian apalagi di Nabawi sama saja. Saya salatnya masih di masjid dengan kubah hijau, yang masjid kecil, tahun 1975 itu. Sehingga kemudian kalau saya datang lagi, naik haji kedua tahun 90, wah sudah beda. Umrah-umrah apalagi. Sehingga kalau orang bilang Masjid Nabawi, Ka’bah, saya kebayang dulu. Dulu kalau teman-teman ngalami ya mungkin punya kenangan yang lebih indah.

Kita agak sedikit beralih ke visi-misi kerja bapak. Pak Presiden juga mengamanatkan bapak untuk menghalau radikalisme di Indonesia, strategi besar bapak apa nih?

Satu, yang beliau tunjukkan bukan kepada saya saja saya, kepada semua menteri tentang radikalisme itu. Kalau saya gak ada sikap yang aneh gitu ya. Mengimbau, bahwa satu tetap. Kedua, kalau seandainya dia sudah melewati batas-batas hukum, ya kita rekomendasi ke aparat hukum untuk mengambil langkah. Jadi gak ada kemudian Menteri Agama pernah tentara main nangkep-nangkep, ya gak ada kewenangan nangkep.

Kalau menurut bapak radikalisme itu apa?

Kalau radikal itu secara umum begini, orang yang berpikir untuk menyelesaikan sebuah masalah dengan cara kekerasan bukan dengan cara musyawarah, pendekatan manusiawi, gitu saja. Dan itu bisa datang dari mana saja. Tapi kalau belakangan karena kita lihat ada beberapa yang kaitannya membawa nama-nama agama, seolah-olah radikalisme cuma itu (identik dengan satu agama), padahal tidak.

Beberapa hari terakhir bapak agak keras dengan radikalisme, termasuk yang menegaskan kalau cadar atau niqab itu cuma budaya dan melarang itu di instansi pemerintahan?

Bukan melarang, itu bukan kewenangan saya. Cuma mungkin saya bisa kasih rekomendasi bahwa itu bukan indikasi bahwa ketakwaan seseorang sudah tinggi. Karena itu tiada kaitannya dengan ajaran Islam. Sebetulnya kaitannya dengan budaya setempat. Kalau ajaran Islam, kalau saya baca yang paling terakhir kan, yang diharuskan Nabi, pada saat Nabi mengatakan, menyarankan supaya wanita pun ikut Salat Id, nah ada orang langsung mengambil (kesimpulan), oh kalau karena Rasul menyuruh Salat Id, saya kira wanita itu boleh membuka, boleh saat salat dan telapak tangan bisa terbuka, sampai situ saja. Ya sebelumnya ada ayat-ayat tentang memanjangkan hijabnya dan sebagainya, tapi gak ada lho tentang niqab atau cadar itu.

Termasuk yang celana cingkrang juga ya, pak?

Ya, tapi saya bilang, gak ada kewenangan kita melarang itu. Kenapa? Karena memang Islam tidak mengatakan juga dilarang. Tapi kalau orang mengambil kebijakan dari aspek keamanan, ya logis saja. Anda bayangkan kalau ada orang bertamu ke saya, saya gak kenal tiba-tiba masuk pakai lengkap, saya biang “jangan, jangan masuk. Siapa kamu ini?” kan begitu. Nah mungkin kalau suatu saat instansi pemerintah mengeluarkan aturan, mungkin ya, bahwa yang masuk instansi pemerintah tidak boleh pakai helm, mukanya harus kelihatan jelas, pasti dari aspek keamanan dong. Bahaya dong tiba-tiba ada yang masuk ketemu menteri, “siapa tamu ini?” “Gak tahu pak, mukanya ketutup”. Loh gimana?

Jadi dipertegas ya pak, Kementerian Agama bukannya melarang?

Tidak melarang kalau itu. Memang Islam juga gak melarang.

Kabar yang beredar, gara-gara Menteri Agamanya background-nya TNI nih, asal main larang aja gitu?

Tidak. Cuma kalau beberapa hal, di TNI, di Polri, di PNS kan ada aturan. Misalnya, ada PNS yang pakai niqab atau cadar, ya pasti gak bolehlah. Atau mohon maaf, celana cingkrang begini, di tentara ya pasti gak boleh. Kan ada aturannya, celananya harus sampai mata kaki. Itu masalah peraturan kedinasan bukan berarti pakai celana cingkrang gak boleh, silakan saja di mana-mana. Tapi kalau anda menjadi pegawai PNS atau anda anggota TNI, polisi, pasti gak boleh.

Salah satu akar radikalisme adalah intoleransi. Pernah ada wacana, untuk menghalau intoleransi ini, misalnya orang Islam dia mempelajari dasar-dasar agama lain, artinya harus ada pembenahan kurikulum. Menurut bapak, kurikulum keagamaan kita hari ini bagaimana?

Baik, kalau cuma itu gak harus, gak harus kalau kita toleransi itu kita belajar agama lain gak usah seperti itu. Kecuali kalau orang itu ingin mendalami perbandingan agama. Jadi gak mesti, pak itu orang Kristen harus belajar Islam. Oh ndak begitu. Al-Kafiruun juga tidak mengatakan itu. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Aku tidak akan menyembah Tuhan yang kau sembah, kau pun bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Itu aja, gak dibilang kamu mesti belajar agama sama. Tidak. Enteng-enteng saja. Hidup enteng jangan dibikin susah.

Wapres kita ulama, sedangkan bapak di Kemenag. Ada terbantu gak pak dengan sosok wapres ulama?

Ada, saya pernah awal-awal, tapi belum jadi menteri sih. Biasa kan kalau ketemu Beliau, pak menurut Bapak itu khilafah itu gimana pak? Saya bilang. Saya juga sudah banyak baca tentang khilafah. “Kan gini Pak Fachrul, khilafah itu sistem pemerintahan, NKRI itu sistem pemerintahan. Orang kita sudah punya sistem pemerintahan NKRI yang pimpinannya presiden, kok kita bangun sistem pemerintahan yang lain, ya salah lah. Khilafah itu kalau diterjemahkan ke situasi kekinian, ya Indonesia ini, sekarang dipimpin Presiden, mungkin ada yang dipimpin Sultan, ada yang dipimpin Perdana Menteri, itu dia. Bukan kemudian kita sudah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di negara lain yang berdaulat, kita mau bikin taat ke pemerintahan yang lain yang namanya khilafah. Wah itu salah.” Nah kira-kira begitulah Beliau ngomong sambil makan pagi, sambil breakfest di tempat Beliau. Beliau lihat, Pak Fachrul kok tambah terus (makannya) ini haha.

Apakah nanti akan lebih intens untuk diskusi agama dengan Beliau?

Beliau suka banget. Ngomongnya juga lembut. Enak. Tenang gitu orangnya. Dan Beliau ngomong runtun dengan sangat baik.

Kemudian pak, ada suara-suara tanda petik kecewa dengan pengangkatan bapak, bagaimana bapak merangkul suara-suara itu pak?

Kalau Anda peduli orang kecewa, Rasulullah pun diangkat menjadi rasul ribuan orang yang kecewa. Tapi bukan itu, bukan saya selevel rasul. Tapi maksud saya, orang-orang yang kecewa itu pantas menurut pertimbangan dia. Tapi kan kewajiban kita melakukan tugas sebaik mungkin, memberikan penjelasan-penjelasan sehingga yang mereka bayangkan itu, oh ternyata gak begitu Pak Fachrul. Misalnya bahaya tuh dari tentara, nanti main hantam-hantam, ya tidak, Pak Fachrul polanya malah mengimbau. Jadi dia gak main langsung larang, itu kan bukan urusan Pak Fachrul, itu urusan aparat hukum. Pak Fachrul ya merekomendasi, gitu aja, semua sistem jalan.

Kalau misal Allah mengizinkan bapak hingga paripurna tugasnya, Indonesia seperti apa sih yang bapak bayangkan nanti lima tahun ke depan?

Yang jelas pembangunan lebih maju. Karena Pak Jokowi menempatkan pembangunan infrastruktur menjadi prioritas pertama juga. Jadi memang kita bermimpi sebetulnya, negara lain kalau kita kemana-mana kadang kita sedih, ini kok maju sekali ya, kok kita gak. Tapi belakangan kita lihat selama lima tahun ini luar biasa pembangunan, pesatnya bukan main. Kita senang banget. Jadi mungkin pandangan saya, lima tahun ke depan jauh lebih maju lagi, kemudian mudah-mudahan lagi, orang ibadah di masjid akan lebih tenang, tidak akan ada isu yang teriak-teriak radikal, tidak ada lagi yang mengadu domba satu sama lain. Ya mudah-mudahan seperti itu.

Termasuk tidak ada penghalang-halangan terhadap pembangunan rumah ibadah ya pak?

Nah kalau itu menurut saya dia case by case. Karena dilihat dulu masalahnya apa. Dan kami punya tekad di sini, kalau ada pembangunan rumah ibadah yang tolak maka kami harus datang, menanyakan apa alasannya apa, mungkin kita bisa musyawarahkan. Sebagai contoh, iya pak dia di sini cuma 5 KK (kartu keluarga), tapi dia ingin bangun gereja sebesar ini, nah boleh gak kalau gerejanya dikecilkan. Misalnya seperti itu. Meskipun dialog gak semudah itu, tapi paling gak ada upaya kita membuat situasi semakin lebih enak. Itulah juga gunanya kita bertoleransi satu sama lain. Kalau memang akhirnya dia tolak, harus ada reasoning dengan jelas.

Pesan buat milenial, bapak kariernya sudah panjang nih, sampai di kursi menteri, apa nih saran untuk milenial?

Ke depan, kita merindukan anak-anak muda yang iman taqwanya tinggi tapi ilmunya juga tinggi. Nah itu penting. Karena memang, mohon maaf, kalau kita lihat dari aspek Islam saja, bagaimana kita mau memimpin dunia misalnya kalau ketakwaan iman kita rendah. Iman kita mungkin ya tergoda korupsi, korupsi. Atau sebaliknya, iman takwa misalnya, bagus tanda petik, tapi ilmu pengetahuannya rendah, kan ndak bisa seperti itu. Dan itu saya gak suka kalau ada penceramah-penceramah itu memberikan ceramah membodohi umat. Contohnya, saya selalu bilang, ada gempa di Aceh. Keluarga saya kan kena tsunami banyaknya bukan main. Tiba-tiba banyak penceramah yang ngomong, “itu karena rakyat Aceh banyak dosanya, banyak maksiatnya, dibalas oleh Tuhan, penanaman ganja di sana” Loh tahu dia gak, ganja itu adanya di gunung sana, itu hanya segelintir manusia, yang mati ini kan ahli ibadah semua di tepi laut. Kenapa dia gak bilang misalnya, kalau dia cerdas, “karena Aceh itu tidak jauh dari lempengan-lempengan bumi yang tumpang tindih di laut, sehingga kalau terjadi pergeseran sedikit timbul gempa, timbul tsunami. Tapi bagaimanapun karena semua diatur Tuhan, kita selalu berdoa kepada Tuhan, semoga tidak terjadi lagi.” Itu cerdas. Tapi kalau ngomong, itu karena maksiat, karena tanam ganja, lho ganjanya di gunung sana, gak apa-apa dia yang nanam, tenang-tenang, ketawa-ketawa.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Menag Fachrul Razi, Dihukum oleh Guru Ngaji

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya