Virus Corona, Para Ahli Ajarkan Berislam di Era Pandemik

Ini perjuangan kolektif umat

Jakarta, IDN Times - “Kami lebih takut sama Allah. Karena setiap manusia pasti mati, kami takut dengan sakit, kematian. Tapi ada sesuatu yang lebih penting daripada jasad, yaitu jiwa kami,” ujar Mustari Burhanuddin, salah satu panitia Ijtima Ulama Dunia 2020 di Gowa, Sulawesi Selatan, sebagaimana dikutip dari Reuters.

Imbauan pembatasan fisik (physical distancing) di tengah pandemik COVID-19 tidak mengendurkan semangat ribuan umat Islam untuk berkumpul di Gowa, Sulawesi Selatan. Pada Rabu, 18 Maret 2020 itu, diperkirakan lebih dari 8.956 orang dari 12 negara dan 29 provinsi sudah berada di Gowa untuk menghadiri Ijtima Ulama Dunia 2020.

Pemerintah daerah berupaya menunda acara tersebut mengingat sifat penyebaran virus corona yang begitu cepat. Kepolisian daerah juga dituntut untuk tidak mengeluarkan surat izin keramaian. Kendati begitu, panitia penyelenggara bersikukuh untuk mengadakan acara yang diagendakan berlangsung pada 19-22 Maret dengan dalih tidak sepatutnya umat Islam takut terhadap penyakit yang juga ciptaan Allah SWT.

Atas permintaan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo, lewat kepala daerah dan kepolisian, akhirnya panitia menunda acara tersebut. Tetapi kerumunan ribuan orang di Gowa dan sekitar Makassar tak bisa terhindarkan. Kekhawatiran menjadi nyata ketika satu orang asal Balikpapan dinyatakan meninggal dunia akibat virus corona setelah kembali dari Gowa.

Kini, Ijtima Ulama di Gowa menjadi salah satu klaster COVID-19 yang paling mematikan di Indonesia. Bukan hanya Kalimantan yang merasakan imbasnya. Hasil penelusuran pasien positif virus corona di Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, bahkan Thailand, kebanyakan dari mereka memiliki riwayat pernah mengunjungi Gowa.  

Pemerintah daerah tentu tidak ingin kecolongan. Sejak acara resmi ditunda pada Kamis, 19 Maret 2020, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah telah memerintahkan jajarannya untuk mengambil langkah-langkah pencegahan. Mulai dari penyemprotan disinfektan di titik-titik keramaian, penyediaan tempat karantina, hingga fasilitas transportasi untuk pemulangan peserta.

Sayangnya, ikhtiar tersebut belum cukup untuk meminimalisir jumlah penderita virus corona imbas kerumunan di Gowa.

Menjadikan sejarah pandemik sebagai pelajaran

Virus Corona, Para Ahli Ajarkan Berislam di Era PandemikInfografis Wabah dalam Islam/Arief Rachmat

Kejadian di Gowa patut disayangkan karena banyak peserta dan panitia yang tidak mengambil ibrah dari tabligh akbar di Malaysia yang berlangsung pada 28 Februari hingga 1 Maret 2020. Otoritas setempat memprediksi jumlah peserta yang hadir mencapai 16 ribu orang. Dari angka tersebut, per 15 Maret 2020 atau 4 hari sebelum Ijtima Ulama Dunia di Gowa, lebih dari 190 orang terinfeksi virus corona. Angkanya berlipat menjadi 1.290 orang pada 30 Maret 2020. Seharusnya, empat hari adalah waktu yang cukup bagi panitia untuk mempertimbangkan keberlangsungan acara tersebut di tengah pandemik.

Pertanyaannya, kenapa patut disayangkan? Karena mereka yang merasa beriman, lantaran menghadiri forum-forum keagamaan, justru menunjukkan perilaku yang bertentangan dengan seruan Allah SWT. Salah satu ciri orang beriman adalah belajar dari kejadian masa lalu untuk diambil hikmahnya. Sebagaimana Allah SWT berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ 

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Al-Hasyr:18)

Guru besar bidang Tafsir Alquran, Muhammad Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Mishbah memaknai ayat tersebut sebagai kewajiban seorang muslim untuk menyambut hari yang akan datang dengan perbaikan dan penyempurnaan.

Lebih lanjut, dengan mengutip pernyataan ulama Muhammad Husayn Tabataba'I, mantan Menteri Agama Republik Indonesia itu menyarankan seluruh umat muslim untuk berkaca pada tukang bangunan dalam urusan evaluasi diri.

“Tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya dituntut untuk memperhatikan kembali agar menyempurnakannya bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tampil sempurna. Setiap mukmin dituntut melakukan hal itu,” tulis Quraish.

Keterkaitan sejarah dengan virus corona adalah tidak seharusnya umat Islam panik atau “kehilangan arah” di tengah situasi pandemik ini. “Kehilangan arah” dalam arti mengabaikan segala anjuran pemerintah dan ulama.

Sebagai contoh, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk meniadakan salat Jumat di tengah pandemik virus corona merupakan pertimbangan dari para ahli medis yang menjelaskan bahwa penyebaran COVID-19 rentan terjadi di kerumunan orang. Salat Jumat pasti berkerumun karena minimal harus 40 orang.

Sayangnya, banyak umat Islam yang justru tidak mengindahkan fatwa tersebut dengan dalih tawakkal. Belum lagi narasi tanda-tanda kiamat karena umat Islam sudah dilarang beribadah. Tidak kalah meresahkan, pemerintah dan ulama dituding berkonspirasi dengan Yahudi untuk melarang ibadah. Kok ujuk-ujuk Yahudi yang disalahkan?

Kejadian-kejadian di atas tidak sepatutnya terjadi jika umat Islam melihat bagaimana umat-umat terdahulu menghadapi pandemik. Sejarawan Michael W Dols dalam tulisannya berjudul Plague In Early Islamic History (1974) menerangkan bahwa peradaban Islam pernah berurusan dengan tiga macam pandemik, yaitu The Plague of Justinian (pertengahan abad ke-6), The Black Death (pertengahan abad ke-14), dan Bombay Plague (penghujung abad ke-19).

Sebagai gambaran betapa mengerikannya penyakit-penyakit di atas, sejarah mencatat lebih dari 50 juta orang atau 60 persen dari penduduk Eropa meninggal akibat The Black Death.

Jika ingin melihat sejarah lebih jauh, maka penyakit menular juga pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad di Madinah. Wabah serupa juga terulang di Syam ketika masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, sekitar 25 ribu orang meninggal dunia. Apa yang ingin dikatakan adalah sesungguhnya umat Islam tidak kekurangan contoh perihal bagaimana seharusnya menyikapi COVID-19.

Salah satu ulama terkemuka yang memaparkan dengan gamblang soal pandemik adalah Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab karangannya berjudul Badzl al-Ma’un fi Fadhl al-Tha’un. Kitab yang tebalnya melebihi 450 halaman itu dijadikan sebagai referensi utama oleh banyak sarjana yang hendak menelaah penyakit menular dari masa sahabat Nabi hingga tabi’in

Al-Asqalani memberi sumbangsih besar ketika dia membedakan terma tha’un dan waba’. Sejarawan dari University College London, Lawrence I Conrad, dalam Ta’un and waba’ Conception of Plague and Pestilence in Early Islam menjelaskan, tantangan terberat untuk mempelajari sejarah penyakit menular di dalam peradaban Islam adalah penggunaan istilah tha’un dan waba’ yang sering disamaartikan. 

Dalam epidemiologi, dikenal istilah wabah, epidemi, endemik, dan pandemik untuk menggambarkan skala penyebaran suatu penyakit. Al-Asqalani menjelaskan bahwa tha’un berada satu tingkat di atas waba’. Setiap waba pasti tha’un, namun tidak setiap tha’un pasti waba’. Penyebab tha’un lebih khusus, sedangkan waba adalah penyakit menular secara umum.

“Tapi waba’ dan tha’un sama-sama menyebabkan kematian, maka sering kali disamaartikan,” ungkap guru besar bidang filologi, Oman Fathurrahman, melalui akun YouTube Ngariksa ketika membahas Tha’un dan Waba’ dalam manuskrip Arab dan Nusantara pada 6 April 2020 lalu.

“Membaca tha’un belum tentu seperti COVID-19. Tapi, secara umum yang disebut sebagai tha’un adalah jenis penyakit menular yang sampai menimbulkan pandemik atau menimpa banyak manusia, tanpa membedakan latar belakangnya,” tambah dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga dipercaya sebagai juru bicara Kementerian Agama Republik Indonesia. 

Terlepas dari perdebatan terma penyakit menular yang digunakan oleh ulama klasik atau kontemporer, tujuan artikel ini adalah melihat bagaimana al-Asqalani menggambarkan tindak-tanduk umat Islam di tengah pandemik pada masanya. Supaya apa? Supaya kita bisa mengambil langkah yang baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Berdasarkan penjelasan Oman, al-Asqalani menulis kitab tersebut ketika pandemik The Black Death menyerang Eropa dan Timur Tengah. Di antara jutaan orang yang meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh kutu tikus itu adalah tiga putri al-Asqalani.

Salah satu kisah menarik yang ia tuliskan adalah ternyata kebebalan umat Islam juga pernah terjadi di masa pandemik The Black Death. Kala itu, pada hari Jumat, muncul seruan di Damaskus agar seluruh muslim dan non-muslim berkumpul di Masjid Qodam. Mereka diminta berdoa kepada Allah SWT agar tha’un segera diangkat.

“Caranya dengan berkumpul. Akibatnya manusia berkumpul dari berbagai pelosok. Mereka bertebaran di jalan, mereka berdoa dan menangis meminta kepada Allah agar tha’un dihilangkan. Apa yang terjadi? Justru penyebaran tha’un semakin masif dan kematian justru semakin banyak,” papar Oman.

Kenapa umat tersebut dikatakan bebal? Karena sedari awal Nabi Muhammad SAW sudah mengingatkan untuk menjaga jarak dari mereka yang terkena penyakit menular. Sabda Rasulullah yang belakangan populer di tengah pandemik corona adalah:

“Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari singa.”

Kisah yang juga terkenal adalah bagaimana Umar bin Khattab berdebat dengan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Syam, perihal wabah.

Di tengah perjalanan menuju Syam, Umar mendapat kabar bahwa kota tujuannya sedang dilanda penyakit menular. Dengan ijtihadnya, Umar akhirnya memutuskan untuk kembali ke Madinah. Abu Ubaidah tentu kecewa karena kedatangan amirul mukminin dibatalkan.

Dia sempat bertanya kepada Umar “apakah engkau hendak menghindari dari takdir Allah?”. Maksudnya adalah penyakit yang ada di Syam merupakan ciptaan Allah. Momentum wabah melanda juga ditentukan oleh Allah. Maka, ketika Umar berbalik arah, dia dianggap menghindari takdir Allah.

Umar justru menjawab, “kita lari dari takdir Allah yang satu untuk menuju takdir Allah lainnya.”

Melawan COVID-19, perjuangan kolektif umat

Virus Corona, Para Ahli Ajarkan Berislam di Era PandemikCSSE Johns Hopkins University.

Saat ini, kondisi pandemik virus corona semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data Johns Hopkins University, virus ini sudah menyerang 2,5 juta manusia dari seluruh negara, dengan 177 ribu di antaranya meninggal dunia.

Kondisi di Indonesia juga tak kalah mencemaskan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per Rabu (22/4) pukul 12.00 WIB, jumlah kasus positif mencapai 7.135, dengan 616 orang meninggal dunia. Tidak ada satu pun provinsi di Tanah Air yang terbebas dari virus ini.

Situasi pandemik menandakan bahwa perjuangan melawan virus corona adalah pergumulan kolektif, bukan lagi pergumulan individu. Satu-satunya jalan keluar untuk menghilangkan COVID-19 dari Indonesia adalah solidaritas dan sinergi antar-umat. Perkara tersebut sudah Allah SWT ingatkan melalui firmanNya yang berbunyi:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (Ar-Ra’d: 11). 

Melalui tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menafsirkan ayat tersebut sebagai keleluasaan yang Allah SWT berikan kepada manusia untuk mewujudkan perubahan sosial. Apa yang dimaksud perubahan sosial? Yaitu transformasi masyarakat yang sebelumnya terjajah menjadi merdeka, yang sebelumnya jahiliyah menuju kehidupan yang lebih baik, atau yang sebelumnya terpapar penyakit menuju kesehatan.

Tidak seperti tumbuhan, hewan, atau bahkan malaikat, manusia adalah makhluk yang istimewa karena memikul “amanat” yang tidak dimiliki, bahkan tidak ditawarkan, kepada makhluk lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُ ۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًا

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh” (Al-Ahzab: 72).

Apa yang dimaksud amanat dalam ayat tersebut? Menurut ulama Ayatullah Murtadha Muthahhari dalam karangannya berjudul Inna ad-Din ‘inda Allah al-Islam, amanat berarti manusia diberi kebebasan dalam memilih. Kebebasan inilah yang membuat manusia merdeka namun mereka harus mempertanggungjawabkan kemerdekaan tersebut.

Apabila disederhanakan dalam sebuah contoh, pakar hukum Islam Nadirsyah Hosen sempat menulis soal bagaimana kematian adalah ketetapan dari Allah tapi bagaimana cara manusia meninggal bukanlah suatu hal yang sudah ditetapkan sejak lauhul mahfudz.

Mati sudah pasti. Tapi penyebab & caranya kita gak tahu. Kalau kena Corona, kamu malah berpotensi mati dan menulari keluarga & kawanmu untuk mati juga. Mau?” demikian cuit lelaki yang karib disapa Gus Nadir melalui akun Twitternya pada Minggu, 22 Maret 2020.

Jika Surat Al-Ahzab ayat 72 dikaitkan dengan penggalan Surat Ar-Ra’d ayat 11, maka bisa dipahami bahwa manusia memiliki kuasa, dalam batas tertentu karena Allah juga memiliki kuasa, untuk mewujudkan suatu perubahan. Jika dikontekstualisasikan dalam pandemik COVID-19, untuk memusnahkan virus ini, maka setiap individu harus mengubah dirinya terlebih dahulu, barulah nanti Allah akan membantu mengangkat corona dari Indonesia.

Ar-Ra’d ayat 11 menggunakan kata  الأنفس (al-anfus) yang berarti “sisi dalam manusia”. Menurut Quraish Shihab, “sisi dalam manusia” dalam konteks ayat ini terbagi menjadi tiga, yaitu nilai-nilai, ilmu, dan kemauan.

“Ada orang yang mau mengubah (menghilangkan) korupsi, tapi anda tidak punya pengetahuan (nilai dan keinginan), maka tidak (tidak akan bisa mewujudkannya). Allah mau mengubahnya asal anda mau mengubah yang ada di dalam dulu,” papar Quraish ketika menerangkan tafsir dari ayat tersebut pada acara Tafsir Al-Mishbah. 

Adapun kata قوم‎ (qaum) merujuk kepada “kaum atau masyarakat”, tidak hanya mereka yang muslim, tapi juga non-muslim.

“Kalau menurut ayat ini, kalau satu atau dua orang (yang mengubah sisi dalamnya) gak bisa (mengubah nasib suatu bangsa), harus mayoritas masyarakat itu yang ingin berubah, baru Allah ubah,” tambah pendiri Pusat Studi Al-Quran (PSQ) itu.

Terkait peran kolektif untuk memberangus COVID-19, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat? Menurut Ayatullah Murtadha, relasi antar-manusia tidak seperti pepohonan di tengah hutan yang mana setiap pohonnya memiliki alam dan dunianya sendiri. Kehadiran satu pohon tidak mempengaruhi kehidupan pohon lainnya.

Menurut ulama kelahiran Iran ini, masyarakat manusia menyerupai anggota tubuh yang setiap individu saling tergantung dan memiliki perannya masing-masing. Setiap pengambil kebijakan dan masyarakat bergerak dalam koridornya masing-masing atau mereka harus membenahi “sisi dalamnya” sebagai langkah awal untuk mewujudkan perubahan sosial, menuju masyarakat Indonesia yang bebas COVID-19.

Perkara optimalisasi ilmu, sebagai salah satu “sisi dalam” yang harus dibenahi, sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan para ahli, apakah ahli medis atau ahli ekonomi. Hal ini juga Allah SWT ingatkan dalam firmanNya yang berbunyi:

فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (an-Nahl: 43). 

Quraish Shihab juga menyampaikan, kata اَهْلَ الذِّكْرِ (ahl adz-Dzikr) bisa diartikan sebagai orang-orang yang memumpuni, ahli, atau memiliki pengetahuan akan sesuatu. Kita diperintahkan untuk bertanya kepada siapa pun yang lebih paham terkait hukum suatu perkara.

Dalam kasus corona, sebagaimana sudah disinggung di atas, sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan masukan dari para ahli, apakah itu ahli ekonomi atau medis.

Pertanyaannya, apakah para pemangku kepentingan sudah mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi para ahli?

Sejak COVID-19 melanda banyak negara, para ahli medis sudah mengingatkan pemerintah tentang bahaya virus ini. Ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah membuat model perhitungan kasus positif corona jika peran pemerintah tidak optimal. Sejumlah organisasi dokter juga menyarankan pemerintah segera memperbanyak alat tes Polymerase Chain Reaction (PCR), bukan memperbanyak alat rapid test.

Pada bidang ekonomi, ilmuwan Universitas Indonesia (UI) dan banyak peneliti independen menyarankan pemerintah memberikan bantuan tunai alih-alih membungkusnya dalam kemasan Kartu Prakerja.

Jika melihat kebijakan yang hari ini diambil pemerintah, bisa dikatakan belum semuanya saran dari para ahli telah diakomodir. Sekalipun sudah diakomodir, apakah benar kebijakan yang dihasilkan sudah berlandaskan prinsip atau nilai-nilai kemanusiaan? Di sinilah aspek kemauan pemerintah juga diuji.

Kemudian, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat? Sama seperti anjuran untuk bertakwa, setiap masyarakat memiliki caranya masing-masing dalam upaya memutus rantai penyebaran COVID-19. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا وَاَنْفِقُوْا خَيْرًا لِّاَنْفُسِكُمْ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu” (at-Taghabun: 64).

Di tengah pandemik ini, banyak gerakan sosial yang melibatkan masyarakat. Bagi mereka yang memiliki kecukupan harta, maka sangat dianjurkan untuk menginfakkan hartanya kepada mereka yang terdampak atau kepada para tenaga medis, sebagaimana anjuran ayat di atas. Bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan harta, setidaknya menuruti saran para ahli dengan berdiam diri di rumah.

“Intinya adalah ikuti saran ahli medis, physical distancing, jaga jarak aman, jangan salaman, jangan cipika-cipiki. Ini yang disarankan oleh para ahli,” tambah Oman.

Poin yang tidak kalah penting adalah lakukan mulai diri kamu sendiri.

Sebagaimana Quraish Shihab menjelaskan, “memang boleh saja perubahan bermula dari seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding ke masyarakat. Di sini bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat.”

Pandemik bisa menjadi ladang pahala di tengah musibah

Virus Corona, Para Ahli Ajarkan Berislam di Era PandemikInfografis Wabah dalam Islam/Arief Rachmat

Di akhir sesi Ngariksa, Oman mendapat pertanyaan dari warganet, “bagaimana tha’un bisa diklasifikasikan sebagai ujian, azab, atau musibah?”

Adapun jawaban Oman adalah “memang bencana itu bisa dilihat dari perspektif yang berbeda. Ada yang melihat tha’un sebagai musibah. Tapi dalam keterangan al-Saqalani, seorang muslim harusnya melihat segala sesuatu adalah kebaikan, karena Tuhan gak menciptakan keburukan. Kalau dapat kesenangan bersyukur, itu kan kebaikan. Kalau mengalami sesuatu yang mematikan, bersabarlah, itu kan kebaikan.”

Allah SWT juga mengingatkan hambanya pada Surat al-Baqarah ayat 155 yang berbunyi:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar” (al-Baqarah: 155).

Pandemik virus corona merupakan salah satu ujian yang Allah SWT berikan kepada umatnya. Terkait beban ujiannya, Allah SWT juga memastikan bahwa cobaan yang Ia berikan tidak akan melebihi kemampuan setiap individu. Sebagaimana Ia berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (al-Baqarah: 286).

Jadi, seberat apapun badai COVID-19, sesungguhnya Allah SWT telah memastikan bahwa umat Islam, begitu pula umat manusia, pasti bisa melewati ujian ini.

Lantas, bagaimana mereka yang gugur akibat tha’un? Apakah itu berarti bahwa mereka tidak bisa melewati cobaan ini?

Kita tentu sering mendengar bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Adil. Bagi mereka yang meninggal akibat virus corona, kedudukannya sama dengan mati syahid atau mereka bisa masuk surga tanpa hisab

Al-Asqalani menuliskan dalam kitabnya, sebagaimana dijelaskan Oman, lima kategori mati syahid berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, yaitu:

  1. Mati di medan perang
  2. Mati akibat sakit perut yang tidak tertahankan
  3. Mati karena tenggelam
  4. Kematian yang menyebabkan kerusakan fisik/jasad
  5. Mati akibat penyakit menular

Al-Asqalani menggunakan dua istilah untuk menjelaskan kematian di masa pandemik, yaitu با الطاعون (bit tha’un) dan في الطاعون (fit tha’un). Istilah yang pertama digunakan untuk mereka yang meninggal akibat tha’un, atau mereka yang meninggal setelah dinyatakan positif COVID-19. Adapun istilah kedua digunakan untuk mereka yang meninggal di masa-masa tha’un, atau mereka yang meninggal dalam kategori pasien dalam pemantauan (PDP). Menurut dia, keduanya tergolong sebagai mati syahid.

Bagi mereka yang diberi umur panjang dan kesehatan, al-Asqalani juga mengingatkan tentang hadis yang juga populer belakangan ini tentang karantina wilayah. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

“Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi, jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.” (HR. Bukhari).

Bukankah mengikuti sunnah Nabi adalah kebaikan yang berhadiah pahala bagi kita? Keutamaan bagi mereka yang mengikuti anjuran ahli medis dipaparkan oleh Oman, sebagaimana dikutip dari tulisan al-Asqalani, adalah sebagai berikut:

“Orang yang diam mengikuti anjuran untuk tinggal di rumah, karantina, dengan penuh kesadaran, kesabaran, ikhlas, ia bahkan mendapatkan pahala syahid. Ini bukan hanya demi kepentingan diri sendiri, tapi demi kepentingan sesama, tidak menularkan. Itu esensi dari agama yaitu mementingkan kemanusiaan, tidak mementingkan diri sendiri,” ujar Oman.  

Satu hal yang Oman tekankan adalah sabar tidak bermakna pasrah. Artinya, umat Islam dituntut untuk berjuang menghadapi pandemik ini kendatipun dari dalam rumah.

Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan oleh umat muslim ketika mengarantina diri di rumah di tengah pandemik virus corona? Al-Asqalani memiliki dua anjuran pada bidang fisik dan spiritual.

Adapun anjuran fisik yang ditulis olehnya, sebagaimana mengikuti anjuran ahli medis, adalah:

  1. Keluarkan makanan-makanan basah yang berpotensi menimbulkan bakteri sehingga menjadi sasaran tikus (karena ia menulis kitab ini di tengah pandemik The Black Death)
  2. Jangan mengurangi asupan makanan dan nutrisi
  3. Jangan tinggalkan olahraga
  4. Jangan berdiam diri terlalu lama di kamar mandi karena sarangnya bakteri
  5. Jangan menghirup udara yang polutif

Selain itu, kegiatan spiritual yang ia maksud adalah menjauhi perbuatan aniaya atau zalim, bertobat atas segala dosa dan meminta ampunan kepada Allah SWT, serta memperbaiki kesalahan yang dulu pernah dilakukan.

Pada akhirnya, tulisan panjang ini akan ditutup dengan penggalan ayat Alquran yang sarat akan makna.

فَاعْتَبِرُوْا يٰٓاُولِى الْاَبْصَارِ

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!” (al-Hasyr: 59)

Selamat memasuki bulan Ramadan, bulan penuh berkah Allah SWT. Yuk, kita jalani ibadah #RamadanDiRumah.

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya