Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli Alamnya

Agama solusi efektif mengatasi krisis iklim

Medan, IDN Times – Selama pandemik COVID-19 tidak bisa dipungkiri ada penurunan polusi. Namun angkanya tidak signifikan. Perubahan iklim masih juga menjadi ancaman. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Bahkan sudah puluhan tahun mungkin sudah dilakukan. Kampanye demi kampanye juga sudah dilakukan. Baik perorangan hingga lembaga-lembaga yang concern di bidang lingkungan. Hasilnya, belum juga efektif.

Tren kampanye lingkungan pun terus berinovasi. Langkah pelibatan agama dalam pelestarian lingkungan kembali digaungkan. Apa lagi di tengah krisis iklim yang terus mengancam. Peran agama dinilai sangat efektif. Karena agama mana pun pasti mengajarkan kebaikan dan memuliakan bumi.

IDN Times melakukan bincang-bincang via live streaming dengan #NgobrolSeru bertema yakni, Bisakah Agama Jadi Solusi Krisis Islam? Pimpinan Redaksi IDN Times Uni Lubis berdiskusi dengan dua narasumber yang cukup kompeten. Keduanya yakni Fachruddin Mangunjaya, Chairman Center For Islamic Studies Universitas Nasional dan Nana Firman, Co. Founder Global Muslim Climate Network.

1. Manusia belum ramah terhadap alam

Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli AlamnyaANTARA FOTO/Basri Marzuki

Fachruddin dalam penjelasannya mengatakan jika saat ini manusia semakin apatis dengan alam. Perambahan hutan semakin masif dilakukan. Sehingga berakibat pada bencana alam dan kepunahan satwa liar.

Kondisi hutan yang semakin tergerus juga menambah potensi ancaman krisis lingkungan. Harusnya kondisi ini menjadi refleksi umat manusia. Khususnya para pemeluk agama.

"Kalau kita ditanya siapa yang mengampanyekan soal lingkungan di dunia jawabannya adalah agama. Karena agama mencegah dari kerusakan akibat kerakusan manusia. Agama yang menganjurkan kelestarian di bumi," bebernya.

“Jadi alam dan manusia ini sedang bermasalah. Kita tidak ramah terhadap alam. Pesan-pesan moral agama itu sangat penting. Bagaimana kita menghargai alam,” kata Fachruddin.

2. Krisis iklim harusnya terus dikampanyekan secara masif, agama bisa jadi pintu masuk yang baik untuk menggerakkan kesadaran

Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli AlamnyaNgobrol Seru IDN Times (YouTube/IDN Times)

Nana berpendapat senada dengan Fachruddin. Pandemik COVID-19 harusnya menjadi refleksi penting untuk manusia.

“Kalau kita gk belajar apapun dari kejadian ini, artinya sia – sia saja. Banyak pihak sudah membicarakan, bahwa kita melihat krisis di pandemik ini adalah belajar ke depan menghadapi krisis iklim,” ujarnya.

Di Amerika, tempat Nana tinggal saat ini, ketidakadilan untuk lingkungan hidup selalu menjadi diskursus menarik. Khsusnya di kalangan generasi millennial.

Ditambahkan Fachruddin, agama harus berperan dalam upaya konservasi lingkungan. Agama bisa menjadi pengingat para pemeluknya untuk terus berbuat baik dengan alam.

“Terkait agama dan lingkungan ini. Kita akan selalu melihat bahwa, iklim dan agama itu bagaimana kita mengubah perilaku. Agama itu tuntunan, dengan kitab sucinya. Agama yang mengampanyekan soal lingkungan. Karena di dalamnya sudah ada nilai yang mengatur. Agama menganjurkan pelestarian di bumi ini. Semua agama,” ujarnya.

Baca Juga: Bisa Mengancam Kehidupan, 5 Bukti Perubahan Iklim yang Terjadi di Bumi

3. Para tokoh agama harus andil dalam pelestarian lingkungan

Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli AlamnyaIlustrasi (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah)

Masing-masing agama, sesungguhnya bisa memulai upaya konservasi lingkungan. Misalnya dimulai dari komunitas kecil di rumah ibadah. Misalnya menerapkan green building dalam proses pembangunannya.

“Kalau berbicara perubahan iklimnya, kalau tokoh agama mau, ini rumah ibadah bisa kita jadikan green building. Kemudian ada rumah sakit, lembaga pendidikan. Bagaimana semua ini bisa berpartisipasi menularkan isu isu green. Seperti kita punya pesantren 27 ribu. 4,27 santrinya. Itu sudah satu negara eropa. Kalau memang mau umat Islam menularkan green life style ini bisa,” katanya.

Seperti di Aceh misalnya, terdapat hutan wakaf yang terus dijaga sampai sekarang. Masyarakat juga memfungsikannya sebagai tempat bercocok tanam. Namun tetap dengan aturan supaya lingkungan tidak rusak.

Para penceramah juga harus menularkan wacana lingkungan dalam kesempatannya berbicara di depan umat.

4. Krisis iklim sama dengan krisis moral

Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli Alamnyaunsplash.com/John Cameron

Agama punya potensi besar sebagai sarana kampanye krisis iklim. Namun potensi ini belum banyak digunakan dan dimaksimalkan. Selama ini, krisisi iklim cenderung hanya dibahas dalam sisi keilmuan, kebijakan, ekonomi dan bisnis.

Kata Nana, harus ada sinergi dari semua lini. Karena agama bisa menjadi penjaga nilai dan moral bagi penganutnya. “Kita melihat, krisis iklim krisis moral. Jadi ajaran agama berperan. Pemuka agama harus ikut memperjuangkan ini,” ujarnya.

Wacana soal lingkungan harus bisa dimasukkan hingga ke sekolah, pesantren dan komunitas millennials lainnya.

 “Kita mulai bergeliat bareng-bareng. Ramai-ramai bahwa kiat punya potensi dari para pemeluk agama. Kalau bicara dengan lingkungan, bumi, rata-rata kita sepakat. Bagi semua agama bumi itu sakral. Yang paling gampang itu kerjasama lintas agama itu dari isu itu yakni krisis lingkungan dan iklim. Merekatkan kita bersama," bebernya. 

5. Menjaga lingkungan harus dimulai dari diri sendiri sehingga terjadi perubahan yang sistemik

Tokoh Agama Punya Peran Penting Ingatkan Masyarakat Peduli AlamnyaMasjid Raya Baiturrahman, Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Kata Fachruddin, pihaknya terus melakukan upaya konsolidasi dengan para ulama. Dalam ceramah-ceramah para ulama hingga ke masyarakat bawah. “Di MUI itu sudah ada Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Itu punya program eco Masjid dan lainnya. Dan sudah jadi trendsetter juga,” ungkapnya.

Sementara itu, kata Nana, upaya menjaga iklim harus dimulai dari diri sendiri. Kemudian berlanjut ke anggota keluarga lalu ke lingkungan terdekat. Konsistensi untuk melakukannya juga harus tinggi hingga menjadi kebiasaan.

 “Ini yang lagi kita bentuk. Kumpulan kecil ini yang di seluruh dunia, kalau mereka bergerak, bisa saling belajar, diskusi. Di situ kita bisa membuat perubahan sistemik,” pungkasnya.

Baca Juga: Tetap Peduli Alam, Ini 5 Cara Rayakan Hari Bumi meski #DiRumahAja

Topik:

  • Doni Hermawan

Berita Terkini Lainnya