Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19

Lawan hoax dan ketahui kebenarannya di sini!

Setelah berjibaku dengan COVID-19 kurang lebih setahun, akhirnya vaksinasi massal dilakukan juga. Di Indonesia, sekarang vaksinasi memasuki tahap kedua. Indonesia sendiri memiliki target vaksinasi kurang lebih sebesar 170 juta jiwa.

Sayangnya, banyak beredar informasi yang salah atau kurang tepat seputar vaksin. Disinformasi dan hoax ini bisa menghambat kesuksesan vaksinasi COVID-19.

Berangkat dari isu tersebut, IDN Times mengadakan Health Talk episode keempat yang disiarkan secara live di Instagram @idntimes pada Kamis (4/3/2021) dengan tema "Vaksinasi COVID-19, Siapa Takut!".

Ada dua narasumber yang dihadirkan, yaitu Riza Arief Putranto, PhD, DEA, peneliti genomika molekuler dan relawan edukator COVID-19, serta dr. RA Adaninggar, SpPD, edukator dan praktisi kesehatan.

Kupas tuntas mitos dan fakta seputar vaksinasi COVID-19 di sini, yuk!

1. Bagaimana cara kerja vaksin di tubuh kita?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19Ilustrasi Penyuntikan Vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Sebelum beranjak lebih jauh, pertama-tama kita harus mengetahui cara vaksin bekerja. Riza menjelaskan bahwa vaksin bekerja dengan cara menginduksi atau melatih tubuh untuk menghasilkan antibodi.

Menurutnya, sistem imun ada banyak, tetapi salah satu yang berperan untuk mengenali virus adalah antibodi. Ketika sudah dikenali, maka antibodi akan menetralisasi virus tersebut.

Riza menjadikan vaksin Sinovac sebagai gambaran. Komposisi vaksin Sinovac adalah virus yang sudah dimatikan, yang mana material genetik di dalamnya telah diambil dan dihancurkan.

"Vaksin akan mendorong tubuh menghasilkan antibodi. Setelah disuntik vaksin dua kali, sistem imun akan menghasilkan antibodi dengan titer (kekuatan) yang baik, kira-kira setelah satu bulan," Riza menjelaskan.

Pada intinya, vaksin adalah untuk melatih tubuh mengenali virus. Jadi, jika terinfeksi virus, tubuh sudah memiliki mekanisme untuk melawannya. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, vaksin bisa meminimalkan dari sakit parah.

2. Berapa lama antibodi bertahan setelah divaksinasi?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19Ilustrasi sistem imunitas tubuh melawan penyakit. freepik.com/freepik

Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa sekali divaksin, kita akan kebal selamanya dari virus corona. Apakah benar demikian? Riza mengutip sebuah penelitian yang menyatakan bahwa antibodi alami terhadap COVID-19 hanya bertahan 3-9 bulan.

Bagaimana dengan antibodi yang terkait vaksin? Untuk saat ini masih belum diketahui karena program vaksinasi baru berjalan. Perlu menunggu sekitar 3-6 bulan untuk mengetahui berapa lama antibodi bertahan.

Sementara, menurut dr. Ninggar, yang tak kalah penting dari antibodi adalah sel memori. Meski suatu saat antibodi habis atau tak terdeteksi, belum tentu sel memori itu hilang.

"Ketika sel memori atau yang (bertugas) mengingat virus itu masih ada, kalau ada virus yang masuk, ia akan mengenali dan langsung bikin antibodinya. Jadi antibodi akan naik kalau ada paparan lagi. Itu kalau kita masih punya sel memori," dr. Ninggar menerangkan.

Berdasarkan penelitian, untuk infeksi alami, sel memori dapat bertahan hingga 8 bulan. Namun, menurut dr. Ninggar, Sinovac belum meneliti efek vaksinnya terhadap sel memori, sehingga belum bisa dipastikan sel memori yang terkait dengan vaksin tahan berapa lama.

3. Apakah orang dengan komorbid bisa mendapat vaksinasi?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19freepik.com/vectorjuice

Sering terdengar desas-desus yang menyatakan orang dengan komorbid tidak boleh divaksinasi. Padahal, sebenarnya boleh, asalkan komorbid tersebut terkontrol dan pengidapnya dalam kondisi stabil, ucap dr. Ninggar.

Namun, ia menegaskan bahwa harus lebih berhati-hati dalam menangani orang yang memiliki komorbid. Yang dikhawatirkan bukan efek samping, melainkan efektivitasnya. Ini karena orang-orang dengan komorbid memiliki daya tahan tubuh lebih rendah, mereka harus divaksinasi dalam kondisi stabil. Misalnya, gula darah harus terkontrol bagi diabetesi (orang dengan diabetes) atau tekanan darah terkontrol bagi orang dengan hipertensi.

Jika dipaksa vaksinasi dalam kondisi tidak terkontrol, antibodi yang terbentuk tidak akan optimal. Efektivitas vaksin bisa turun dan menyebabkan kegagalan vaksin.

"Meskipun ia memiliki komorbid, ia harus dalam kondisi yang stabil dan sedang terkontrol. Artinya, sistem imunnya berada di posisi paling baik. Karena kalau dipaksakan pada orang-orang yang belum stabil, vaksinnya percuma dan efektivitasnya bisa jauh turun," jelas dr. Ninggar.

Baca Juga: Daftar Komorbid yang Layak dan Belum Layak Divaksinasi COVID-19

4. Benarkah tidak ada efek samping berat pasca vaksinasi?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19Ilustrasi vaksin atau jarum suntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Banyak orang tidak mau divaksinasi karena takut mengalami efek samping yang parah. Padahal, seperti vaksin Sinovac yang sudah melalui uji klinis, hasilnya tidak ada yang dilaporkan mengalami efek samping berat.

Lantas, mengapa harus menunggu 30 menit setelah divaksin? Kata dr. Ninggar, dalam beberapa menit hingga 30 menit setelah vaksinasi, reaksi alergi bisa muncul pada beberapa orang.

"Makanya itu setelah divaksin tidak boleh langsung pulang. Karena kalau terjadi alergi bisa langsung ditangani. Tiga puluh menit adalah waktu yang cukup cepat untuk mengawasi reaksi alergi pada orang-orang," tuturnya.

Yang menarik, para psikiater menemukan kondisi yang disebut sebagai reaksi stres pasca imunisasi. Ini adalah reaksi yang cukup berat yang terjadi akibat tekanan psikis.

Kondisi ini rentan dialami oleh orang-orang dengan gangguan kecemasan atau kecenderungan takut dengan jarum suntik. Setelah divaksinasi, mereka mungkin akan mengalami gejala seperti mual, muntah, bahkan hingga pingsan dan kejang!

5. Apakah vaksin bisa mengatasi mutasi baru virus corona?

Membedah Mitos dan Fakta seputar Vaksinasi COVID-19Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Riza, sampai detik ini, ada 859 varian SARS-CoV-2 di seluruh dunia. Akan tetapi, yang paling banyak dibicarakan hanya 6. Dari enam varian baru hasil mutasi tersebut, ada 4 varian yang perlu dikhawatirkan. Dua di antaranya adalah varian asal Afrika Selatan dan varian B117 asal Inggris.

Apakah vaksin yang ada saat ini bisa mengatasi mutasi baru virus corona? Menurut dr. Ninggar, hampir semua vaksin yang dikembangkan selalu update. Jika ada mutasi, vaksin akan di-update supaya efektif melawan varian baru tersebut.

Sebagai seorang ilmuwan, Riza menegaskan bahwa semua varian SARS-CoV-2 tidak ada yang superpower. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Contohnya, B117 yang menyebar 54-70 persen lebih cepat, tetapi hanya mengubah protein spike sebanyak 5-6 persen.

Sementara itu, varian Afrika Selatan penyebarannya tidak secepat itu, tetapi mampu mengubah protein spike hampir 20 persen. Yang jelas, Riza mengatakan bahwa mutasi baru virus corona tidak membuat sakit lebih parah.

Jadi, tidak ada yang perlu ditakutkan dari vaksinasi COVID-19, karena manfaatnya jauh lebih besar. Bila sudah mendapat jadwal untuk vaksinasi, jangan menundanya. Selain itu, baik belum maupun sudah divaksinasi, tetapi patuhi protokol kesehatan dengan memakai masker, mencuci tangan pakai sabun dan air mengalir, menjaga jarak, menjauhi kerumunan, serta membatasi mobilisasi dan interaksi.

Baca Juga: Pertanyaan tentang Vaksin COVID-19 Paling Umum beserta Jawabannya

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya