Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat Tsunami

Orangtua dan 7 saudara tewas digulung tsunami 15 tahun silam

Banda Aceh, IDN Times - “Lari saja duluan. Tinggal (saja) kami ini. Biar kami jalan pelan-pelan. Tapi jangan lihat ke belakang, lari terus.”

Kalimat itu terus terngiang di telinga Miftach Cut Adek. Itu adalah kalimat yang didengar Cut Adek dari mulut ayahnya beberapa saat sebelum diterjang tsunami Aceh 26 Desember 2004.

Meski sudah 15 tahun berlalu, ia tak bisa melupakannya. Bencana tsunami menewaskan kedua orangtuanya dan tujuh saudaranya.

Saat ditemui IDN Times, ayah dua anak ini pun langsung mempersilakan duduk dan menghentikan pekerjaannya. Ia begitu bersemangat menceritakan pengalaman yang dialami dirinya serta desanya 15 tahun silam.

Wakil sekretaris jenderal Panglima Laot Aceh itu pun langsung menceritakan peristiwa bencana yang meluluhlantakkan Gampong Lambada Lhok, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh pada 26 Desember 2004.

1. Burung bangau di hutan bakau tak seperti biasa, seolah memberi isyarat bakal ada bencana hebat

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMuseum PLTDA Apung, bukti keganasan tsunami Aceh 26 Desember 2004 (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Cut Adek memiliki satu kebiasaan. Setiap usai menjalani Salat Subuh berjamaah di masjid, ia akan selalu berjalan mengitari kampungnya. Termasuk saat itu, ketika Minggu pagi, 26 Desember 2004 silam. Ia berjalan hingga ke wilayah perbatasan dengan desa lainnya yang hanya dibatasi dengan sungai. Sebab, di seberang sungai dari posisi ia berdiri, terdapat hamparan hutan bakau.

Di hutan bakau itu, dikatakan Cut Adek, biasanya selalu didiami oleh ratusan bangau. Pemandangan alam seperti itulah yang selalu dinikmatinya setiap pagi. Akan tetapi, pagi itu, ratusan bangau yang biasa bisa dikatakan hampir memutihkan hutan tersebut, tak tampak. Cut Adek hanya melihat beberapa ekor saja serta hanya terdengar kicauan suara bayi bangau di antara batang bakau.

“Rupanya bangau itu bukan duluan pergi, tapi sepertinya memang sudah dari kemarin sudah berangkat. Pagi itu memang tidak ada, yang ada palingan hanya satu atau dua ekor tok saja yang menjaga bayi-bayi burung itu,” kata Cut Adek menceritakan.

2. Sudah melihat tanda alam yang janggal, Cut Adek tidak menduga akan terjadi gempa dan tsunami

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMuseum PLTD Apung I, bukti keganasan tsunami Aceh 26 Desember 2004 (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Saat itu, ayah dua anak ini sempat merasa heran. Karena tidak seperti hari-hari biasanya. Namun, ia tidak memiliki firasat apapun pagi itu. Bahkan tak pernah memikrikan bakal terjadi bencana besar yang selanjutnya meluluhlantakkan tanah kelahirannya tersebut.

“Artinya, di luar kebiasaan. Apa yang bakal terjadi? Ini pasti akan ada sesuatu.” Tanya Cut Adek ketika itu dalam hati. “Tetapi tidak menduga akan terjadi gempa dan tsunami.”

Tak mau terlalu memikirkannya, ia pun memutuskan untuk pulang ke rumah.

Baca Juga: Kenang Tsunami, Pegawai Diliburkan dan Kibarkan Bendera Setengah Tiang

3. Warga berteriak air laut naik, Cut Adek yakin air takkan sampai ke rumahnya

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiWarga berziarah ke kuburan massal korban tsunami 2004, di Ulee Lheue, Kota Banda Aceh (IDN Times/Saifullah)

Usai pulang ke rumah, Cut Adek langsung mandi karena pagi itu ia berencana pergi menghadiri sebuah acara. Beberapa saat kemudian, dirasakan bumi bergetar. Anak kedelapan dari 12 bersaudara itu pun bergegas kembali ke rumahnya karena teringat dengan keadaan orangtua serta saudara-saudaranya.

“Kuat gempanya. Tidak pernah saya mengalami gempa yang sebegitu kuat sebelumnya. Walaupun ada gempa tetapi di bawah itu,” ujar Cut Adek.

Beberapa menit kemudian, terdengar teriakan dari warga sambil berlari-lari. Mereka menyampaikan bahwa air laut naik. Saat itu, Cut Adek masih belum percaya bahwa air laut takkan sampai ke daratan. Apalagi hingga ke tempat ia tinggal yang jaraknya lebih kurang 500 meter dari bibir pantai.

4. "Jangan lihat ke belakang, lari terus,” ujar orangtua kepada Cut Adek

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMuseum Tsunami Banda Aceh (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Meski demikian, Cut Adek tak mau mengambil risiko. Ia pun masuk ke rumah dan mencoba membawa kedua orang tua dan saudaranya untuk ke luar dan pergi mengungsi.

Suar gemuruh air sudah terdengar saat itu dikatakan Cut Adek, meski belum terlihat oleh mata. Sementara, warga tampak berhamburan, lari berduyun-duyun mencari tempat untuk menyelamatkan diri.

Dilema. Perasaan itu yang dirasakan oleh Cut Adek ketika kedua orangtuanya menyuruhnya untuk terus lari menyelamatkan diri. Sebab, ayah dan ibunya tidak mampu lagi untuk berlari. Sementara sanak saudaranya yang lain, telah terlebih dahulu disuruhnya menyelamatkan diri.

“Lari saja duluan. Tinggal (saja) kami ini. Biar kami jalan pelan-pelan. Tapi jangan lihat ke belakang, lari terus,” tiru Cut Adek menceritakan.

“Tapi jangan lihat ke belakang, lari terus.” Tiga kali kalimat itu diucapkan oleh sang ayah menyuruh Cut Adek untuk pergi menyelamatkan diri.

Dengan berat hati, Cut Adek pun meninggalkan kedua orangtuanya tersebut dan terus langsung berlari menyelamatkan diri ke kawasan yang dianggapnya lebih aman. Sayang, upayanya untuk lari sia-sia.

Usai sudah berlari sekitar 700 meter, ia tetap digulung gelombang air laut dan terombang-ambing. Namun ia masih bersyukur, jika gelombang yang membenamkannya belum membawa sampah bangunan maupun batang pohon.

5. Selamat usai mendapatkan batang kelapa dan berbagi pohon jamblang dengan semut

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMuseum Tsunami Aceh (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Cut Adek baru bisa kembali menghirup udara setelah digulung gelombang setinggi lebih enam meter selama 10 detik. Ia pun kemudian meraih batang pohon kelapa yang telah tumbang dan hanyut bersamaan. Ketika memerhatikan keadaan sekitar, ia baru sadar bahwa dia telah diseret gelombang sejauh satu kilometer.

Tubuh pria yang saat itu berusia 31 tahun itu, sempat terbawa ke laut sebelum dihempas lagi pada gelombang kedua yang datang. Syukurnya, ia selanjutnya bisa menggapai batang pohon jamblang atau jambu keling dan bertengger sejenak di sana hingga air surut.

“Di pohon jamblang itu, ada semut banyak sekali saat itu. Ya mau tidak mau harus naik ke pohon itu menyelamatkan diri.” Ungkap Cut Adek. “Mungkin semut juga mau menyelamatkan diri,” guraunya.

Setelah itu ia melihat mayat bergelimpangan di mana-mana. Sedangkan pemandangan di kawasan Gampong Klieng Cot Aron, tempat Cut Adek tak ada bangunan lagi. Semuanya rata dengan tanah setelah disapu oleh ombak ganas yang menerjang daratan Aceh. Ia lalu berjalan mencari tempat yang lebih aman lagi, yakni ke kawasan Lambaro Angan dan dievakuasi di masjid setempat.

6. Tujuh saudara dan kedua orangtua hilang disapu tsunami

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMiftach Cut Adek (IDN Times/Dokumen Pribadi Miftach Cut Adek)

Peristiwa gempa dan tsunami telah menghilangkan tujuh saudara dan kedua orangtua Cut Adek. Di keluarganya, hanya ia, seorang adik dan abangnya, serta satu orang keponakan yang selamat.

Habis, seluruh keluarganya telah habis menjadi korban. Bahkan, ia tak menemukan jasad semuanya pasca kejadian tersebut.

“Setelah kejadian itu kita sempat mencari anggota keluarga. Terus mencari namun tidak ketemu. Bila bertemu dengan tetangga lain, lalu saya tanya mengenai keluarga saya. Ada yang bilang bahwa ayah saya sudah meninggal. Mayatnya sudah dibawa.”

Cut Adek mengaku, bila jasad sang ibu tidak ia temukan karena dianggap susah. Sebab saat itu, mayat wanita hampir semuanya sama. Sedangkan sang ayah bisa dikenali karena berdasarkan ciri fisiknya.

Tiga hari pasca tsunami, Cut Adek baru bisa bertemu salah seorang abangnya yang selamat. Namun kondisi kesehatannya saat itu sangat buruk, sehingga beberapa hari kemudian meninggal dunia ketika menjalani perobatan ke salah satu rumah sakit di Kota Medan.

“Beliau meninggal di Medan, kemudian dikebumikan di Langsa karena tidak sempat lagi dibawa ke sini. Selain itu karena tidak ada yang urus.”

Kini, Cut Adek hanya tinggal bertiga, bersama dua orang saudaranya, yakni adik dan abangnya. Adiknya selamat ketika itu karena menyelamatkan diri menggunakan sepeda ke daerah yang lebih tinggi.

Sementara sang abang selamat karena saat kejadian tidak ada di Aceh, tepatnya sedang berada di Denmark. Satu orang lagi yang selamat adalah anak dari almarhum abangnya.

Cut Adek merupakan anak ke-10 dari 12 bersaudara. Dua saudaranya telah lebih dahulu meninggal sebelum peristiwa 26 Desember 2004 silam. Sedangkan 7 orang lainnya meninggal dalam bencana tsunami.

7. Mencoba menghidupkan kembali desa yang luluhlantak diterjang tsunami

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiKawasan Kajhu, Kabupaten Aceh Besar, yang hancur diterjang tsunami 26 Desember 2004 (IDN Times/Saifullah)

Posko pengungsian di kawasan Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, sempat menjadi tempat yang didiami oleh Cut Adek bersama warga lainnya. Ia mengungsi di sana selama sebulan sebelum akhirnya memutuskan kembali ke desanya.

Gampong Lambada Lhok yang telah luluh lantak kembali didatangi oleh warganya setelah sekian lama ditinggal mengungsi. Halaman masjid yang ada di kampong tersebut, disulap menjadi posko pengungsian warga sekitar.

Sejak saat itu, penduduk kampung yang didominasi para nelayan ini pun mulai kembali berbenah. Salah satunya dengan mendirikan balai nelayan.

“Setelah itu, terus ramai-ramai membangun kampung dan telah ada juga NGO serta lembaga bantuan lainnya,” ujarnya.

8. Kalimat terakhir dari sang ayah yang selalu diingat

Kisah Cut Adek, Berbagi Pohon Jamblang dengan Semut saat TsunamiMiftach Cut Adek (IDN Times/Saifullah)

“Lari saja duluan. Tinggal (saja) kami ini. Biar kami jalan pelan-pelan. Tapi jangan lihat ke belakang, lari terus,” tiru Cut Adek menceritakan. Tiga kali kalimat itu diucapkan oleh sang ayah untuk menyuruh Cut Adek menyelamatkan diri.

Suruhan tersebut mungkin pada waktu itu adalah instruksi kepada Cut Adek agar terhindar dari bahaya tsunami tanpa harus menghiraukan kedua orangtuanya. Namun kata-kata yang telah melekat dipikirannya itu mulai memiliki arti lain.

Kalimat yang diucapkan berkali-kali oleh sang ayah pada pertemuan terakhir itu, telah dijadikan pegangan hidup. Meski harus kehilangan tujuh saudara kandung serta kedua orang tua, ia tidak mau berlarut dalam kesedihan dan duka.

Cut Adek mencoba mulai melihat ke masa depan dan mencoba bangkit dari keterpurukan yang dialami.

Ketika berbagai NGO kemanusiaan masuk membantu Aceh, Cut Adek coba memberanikan diri untuk ikut terlibat bekerja. Di awal tahun 2006, ia pun mulai bekerja di bidang riset sosial ekonomi masyarakat bersama lembaga Bank Dunia (World Bank). Bidang itu ia geluti lebih dari satu tahun.

“Kalau sekarang ini bisa kita terapkan. Kalau jalan, jalan lah ke depan dan jangan melihat lagi ke belakang. Artinya, memori yang lalu biarlah berlalu. Mari kita ciptakan sesuatu yang baru untuk masa akan datang,” pungkas Cut Adek

Baca Juga: Tewaskan 166.080 Orang, 5 Fakta Gelombang Tsunami Aceh 15 Tahun Lalu

Topik:

  • Arifin Al Alamudi

Berita Terkini Lainnya